Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Dolittle


“It’s okay to be scared.”

Saat memperbincangkan ihwal dokter bernama Dolittle yang mempunyai kapabilitas berbincang dengan binatang, ingatan sebagian besar dari kita mungkin eksklusif melayang ke film komedi bertajuk Dr. Dolittle (1998) yang dibintangi oleh Eddie Murphy. Maklum, selain cukup sering wara-wiri di televisi, film yang berlanjut sampai seri ketiga ini pun memiliki kandungan hiburan mencukupi untuk ditonton beramai-ramai bersama keluarga. Tapi jika berkenan buat menelusuri sejarahnya lebih lanjut, cerita Pak Dolittle ini sejatinya telah mencuat sedari tahun 1920-an berkat serangkaian buku kanak-kanak yang dicetuskan oleh Hugh Lofting. Popularitasnya yang melintasi zaman, membuat dongeng tersebut kerap menjadi incaran para pelaku di industri hiburan sehingga tak mengherankan versi adaptasinya dalam bermacam-macam format pun terus dibentuk. Upaya terbaru untuk melestarikan cerita ini seraya memperkenalkannya kepada generasi penerus abad kini (…dan tentunya memanfaatkannya guna meraup keuntungan sebesar-besarnya) berasal dari Universal Pictures dengan titel Dolittle. Berbeda dengan interpretasi di tahun 1998 yang cenderung lebih bebas lepas, film berjudul awal The Voyage of Doctor Dolittle ini mencoba untuk lebih patuh kepada materi sumbernya dengan tak saja menghadirkan karakter-huruf yang sudah dikenal baik oleh para pembaca bukunya, tetapi juga melempar penonton jauh ke Era Victoria alih-alih memodifikasinya menggunakan latar pengisahan modern.

Dalam Dolittle, kita dipertemukan dengan Dr. John Dolittle (Robert Downey Jr.) yang tengah dirundung sedih selepas sang istri tercinta menghadap ke Yang Maha Satu dalam satu perjalanan maut. Penyesalan yang teramat besar karena telah mengizinkan istrinya pergi sendirian dan ketidakmampuan dalam berdamai dengan kehilangan, membuat Dolittle menetapkan untuk mengasingkan diri dari peradaban luar. Dia menanggalkan profesinya dengan menutup daerah prakteknya, dia enggan bersosialisasi, dan beliau lebih menentukan untuk menghabiskan waktu dengan bercengkrama bersama hewan-hewan asuhannya di rumahnya. Selama bertahun-tahun memutus rantai komunikasi dengan insan, Dolittle kesudahannya terpaksa menampakkan diri lagi di hadapan masyarakat usai dua bocah dengan kepentingan berbeda datang-datang menyelinap masuk ke rumahnya. Bocah pertama, Tommy Stubbins (Harry Collett) meminta Dolittle untuk mempersilahkannya magang di tempatnya, sementara bocah kedua, Lady Rose (Carmel Laniado), memberikan pesan dari Ratu Victoria (Jessie Buckley) yang sedang sekarat. Pesan tersebut mengharuskan Dolittle untuk memeriksa sang ratu, dan jika dia menolak, kediamannya akan disita. Tak ingin kehilangan rumah, dokter yang sanggup berkomunikasi dengan binatang ini pun mengunjungi Ratu Victoria dimana dia seketika menyadari bahwa hanya ada satu flora yang bisa benar-benar menyembuhkan sang ratu. Ditemani Tommy beserta sobat-sobat hewannya, Dolittle lantas menempuh perjalanan panjang mengarungi samudra luas guna menemukan tumbuhan gila tersebut.


Diatas kertas, Dolittle tampak mirip produk hiburan untuk seluruh keluarga yang mengasyikkan. Ada petualangan besar untuk mencari benda magis di pulau mistis, ada binatang-binatang yang bisa bersenda gurau memakai bahasa insan, dan ada Robert Downey Jr. memerankan huruf eksentrik yang belakangan menjadi keahliannya semacam Tony Stark maupun Sherlock Holmes. Namun ketika mendengar fakta bahwa film ini mendapat respon buruk dari penonton dalam test screening sehingga memaksa pihak studio untuk merekrut sutradara gres demi mengeksekusi pengambilan gambar ulang selama tiga pekan, saya tahu bahwa saya tidak semestinya menaruh ekspektasi tinggi terhadap film ini. Yang lalu membuat diri luar biasa terkejut, menekan pengharapan serendah-rendahnya untuk Dolittle pun tidak lantas berbuah anggun. Saya tetap saja berujar, “kenapa tadi mesti maksain buat nonton film ini sih?”, berulang-ulang kali di sepanjang durasi karena terjangkit rasa jenuh yang mencapai stadium simpulan. Tidak ada kesenangan, tidak ada kebahagiaan, dan tentunya, tidak ada kepuasan. Satu-satunya penghiburan selama menonton Dolittle yaitu melihat para penonton cilik memperlihatkan reaksi-reaksi heboh nan menggemaskan periode menyaksikan para binatang beraksi. Saking hebohnya, saya hingga iri ingin kembali ke kurun kanak-kanak yang penuh dengan kepolosan sehingga perasaan tidak terus menerus sambat dan mumet setiap kali ada yang urung bekerja secara semestinya. Entah itu berasal dari narasi yang menjemukan, akting pemain yang tak bertenaga, maupun efek khusus yang terbilang kurang halus untuk ukuran film berbiaya 175 juta dollar.

Menilik premisnya, maka terasa ironis dikala Dolittle yang diorkestrai oleh Stephen Gaghan (Syriana, Gold) ini berjalan secara lempeng-lempeng saja. Tidak ada sedikitpun gairah untuk mengikuti petualangan membingungkan yang dijalani Dolittle sehingga menahan kantuk menjadi suatu usaha tersendiri. Tunggu, tunggu, membingungkan? Ya, film ini memiliki berbagai isu seperti planning pembunuhan terhadap Ratu Victoria, flora asing penyembuh segala penyakit, sampai mertua “gangster”, tapi kesemuanya hanya dijelaskan seiprit-seiprit tanpa ada upaya untuk memenuhi 5W1H (what-why-when-who-where-how). Yang penting tampak heboh, yang penting terlihat bombastis, yang penting penonton cilik girang. Penonton cukup umur? “Hah, tidak penting. Kalian kan datang cuma untuk menemani krucil-krucil itu,” mungkin begitulah aliran si pembuat film. Ditambah adanya penyuntingan yang acapkali melompat-lompat kolam tupai kegirangan beserta pengisian suara yang kerap terdengar tidak pada tempatnya, tentu tidak menciptakan keadaan menjadi lebih baik. Robert Downey Jr. yang tadinya aku harapkan mampu menjadi penyelamat dari kebosanan tak berujung ini pun mirip enggan berada di film ini. Performanya lebih ke “ya udahlah ya, yang penting gue udah akting” ketimbang benar-benar berubah menjadi sebagai si huruf tituler. Terasa begitu malas, terasa begitu lemas, layaknya laju pengisahan yang diaplikasikan oleh Gaghan. Jika ada yang terasa sedikit berenergi, maka itu yaitu para dubber kenamaan yang mencakup Emma Thompson, Rami Malek, John Cena, Kumail Nanjiani, Octavia Spencer, Tom Holland, Ralph Fiennes, Selena Gomez, hingga Marion Cotillard. Hanya saja, mereka dibekali naskah tak mumpuni yang urung menguatkan masing-masing abjad dan berisi humor teramat garing sehingga saya mampu meyakini tak akan ada yang mengenali bedanya andaikan mereka diganti oleh bintang-bintang kurang dikenal.

Sungguh hamba ingin menenggak paracetamol sehabis nonton film ini

Poor (2/5)



Post a Comment for "Review : Dolittle"