Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Selesai Cerita Cinta Si Doel


“Aku telah menyakiti hati tiga perempuan yang saya cintai. Zaenab, Enyak, Sarah. Setelah 27 tahun, aku harus memilih. Semoga pilihanku ini Kau ridhoi, Ya Allah.”

Saat Si Doel The Movie (2018) dirilis ke bioskop, saya sempat mengira bahwa tontonan ini bukan semata-mata dimanfaatkan untuk mereguk keuntungan dari nostalgia, tetapi juga dipergunakan sebagai konklusi bagi kisah cinta segirumit yang terjalin diantara para karakter utama di sinetron legendaris Si Doel Anak Sekolahan. Tapi perkiraan aku ternyata salah, alasannya adalah Rano Karno selaku kreator justru menentukan untuk menanamkan konflik baru yang seketika membentangkan film menjadi trilogi. Membuat para penggemar beratnya kian gregetan lantaran si huruf tituler tak kunjung memilih pilihannya, sementara kondisi di sekelilingnya sudah tak lagi aman. Sungguh menguji kesabaran memang laki-laki satu ini. Menilik babak pertama yang berjalan kelewat kalem nyaris tanpa ada letupan berarti, saya sebenarnya tak terlampau agresif mengikuti kelanjutan problematika asmara Doel (Rano Karno). Namun diluar dugaan, saya malah sangat bisa menikmati jilid keduanya yang bertajuk Si Doel The Movie 2 (2019) dimana masalah mulai benar-benar meruncing dan mampu pula tampil emosional. Kita menyaksikan pertemuan kembali Zaenab (Maudy Koesnaedi) dengan Sarah (Cornelia Agatha) sehabis satu dekade tak saling bertegur sapa, kita menyaksikan pula bagaimana dua wanita ini kesannya memberikan perlawanannya kepada sang suami yang masih saja plin-plan. Saking emosionalnya, aku pun berharap si pembuat film akhirnya menunjukkan satu keputusan niscaya di jilid ketiga alih-alih kembali mengombang-ambingkan perasaan para karakter maupun penontonnya.

Akhir Kisah Cinta Si Doel – begitulah instalmen ketiga dalam Si Doel The Movie disebut – seketika melanjutkan apa yang tertinggal di film kedua. Sarah menitipkan putra semata wayangnya, Dul (Rey Bong), di rumah suaminya selama liburan sekolah, sementara Doel mengantar Zaenab ke dokter untuk memeriksakan kandungan dimana Zaenab dinyatakan hamil. Dalam situasi yang normal, dua insiden ini akan disambut dengan penuh sukacita. Tapi berhubung si karakter tituler masih menggantung perasaan dua perempuan yang dicintainya, maka tentu saja konflik besarlah yang kemudian menyambut. Sarah enggan berpamitan kepada suaminya sebelum kembali bertolak ke Belanda, sedangkan Zaenab justru memilih untuk kembali ke rumah orang tuanya demi menenangkan pikiran. Cinta yang tadinya melingkungi hubungannya dengan Doel secara perlahan berkembang menjadi kebencian. Di satu sisi dia ingin mendapatkan cinta seutuhnya dari Doel, tapi di sisi lain beliau juga merasa bersalah kepada Sarah yang memutuskan untuk berkorban ketimbang terus bertahan dalam ‘pertempuran cinta’ tak berkesudahan ini. Ditengah serbuan amarah dari tiga wanita yang dicintainya – termasuk Mak Nyak (Aminah Cendrakasih) yang terus mendesaknya untuk bersikap tegas – Doel mencoba untuk menebus hilangnya waktu dengan Dul yang tak tumbuh bersamanya seraya berupaya mencari jawaban terbaik bagi semua pihak. Setelah 27 tahun, beliau tidak ingin lagi ada yang tersakiti alasannya ketidakmampuannya dalam menentukan pilihan hidup.


Selepas menonton Akhir Kisah Cinta Si Doel, satu hal yang mampu aku katakan kepada kalian, cerita percintaan segirumit ini memang telah mencapai ujungnya. Doel alhasil benar-benar memilih kepada siapa cintanya berlabuh. Tidak ada lagi kegamangan, tidak ada lagi pergolakan batin, dan hanya ada kemantapan hati di menit-menit terakhir. Penantian barisan penggemarnya yang terhitung kuat nan loyal selama 27 tahun hasilnya terbayarkan, meski aku meyakini pilihan Doel ini tidak akan mampu memuaskan semua penonton terutama bagi pendukung dari huruf yang “kalah”. Saya eksklusif – sebagai seseorang yang tidak pernah berpihak kepada salah satu huruf – dapat menerimanya, sekalipun proses menuju konklusi terasa kurang nikmat untuk disantap. Usai Si Doel The Movie 2 yang tergolong efektif dalam mempermainkan emosi, saya cukup terkejut mendapati Akhir Kisah Cinta Si Doel yang digadang-gadang sebagai babak pamungkas malah urung memperlihatkan sensasi gregetan apalagi grande. Ketimbang mengeksplorasi huruf Doel lebih jauh, termasuk memberi penonton kesempatan untuk mengintip “isi kepalanya” yang menjadi faktor penyebab ketidaktegasannya, film sebatas mengulang-ulang dilema dari film kedua yang membuat aku semakin yakin bahwa trilogi ini memang sebaiknya dipadatkan menjadi satu film saja. Bahkan ada pula momen-momen komedik tanpa signifikansi faktual ke plot utama dan selipan footage dari jilid terdahulu sebagai pengingat yang saking seringnya muncul, tak pelak menyita kuota durasi yang hanya disediakan terbatas. Alhasil, film terasa jalan di kawasan dimana kita lagi-lagi dibuat pasrah karena protagonis utama film tak bertindak apa-apa walau keadaan sudah terlihat sangat genting. Dia terus berkontemplasi, merenung, serta memandang kosong ke langit seolah berharap Tuhan berkenan menawarkan balasan. Pasif sekali sampai ingin menaboknya.

Kita tetap tidak mampu memahami jalan pikirannya, kita juga tidak dibuat mengerti alasan yang melandasi kebulatan tekad Doel era memilih pendamping hidup. Semua terjadi begitu saja dalam 20 menit terakhir yang berlangsung terburu-buru mirip ingin cepat-cepat tutup durasi. Malah, huruf Mandra (Mandra) yang lebih terlihat berproses di sini. Apakah narasi yang acapkali berputar-putar dengan laju pengisahan yang belakangan ngebut ini ialah imbas dari pemaksaan untuk menjadi trilogi? Atau semata-mata sebab Akhir Kisah Cinta Si Doel hanya memiliki sedikit waktu dalam hal persiapan maupun pengembangan cerita? Dugaan ini muncul, karena film terkesan kurang matang dengan serentetan kendala yang sebelumnya tak semencolok ini. Entah dari rasio gambar yang wagu, laju penceritaan tak stabil, sampai akting dari pemain drama pendukung yang teramat sangat kaku hingga-hingga hamba meringis berulang kali. Dan ngomong-ngomong soal meringis, aku pun meringis mendengar dialog-dialog yang bertebaran di sepanjang durasi maupun humor-humornya yang sekali ini terus menerus meleset dalam mengenai target. Mandra memang tak mengecewakan, tapi materi candaannya lah yang membuatnya kesulitan untuk mengundang gelak tawa renyah dari penonton. Pun demikian, beliau adalah salah satu pelakon yang berjasa dalam mengangkat Akhir Kisah Cinta Si Doel disamping Maudy Koesnaedi. Meletakkan fokus pengisahan kepada Zaenab yang kemarahannya tak lagi tertahan dan akhirnya meletus, film mempersilahkan sang aktris untuk mempertontonkan rentang emosinya yang luas. Melalui satu dua monolog yang menyuarakan isi hati Zaenab yang selama ini terpendam, Maudy memperlihatkan setidaknya satu alasan berpengaruh mengapa Akhir Kisah Cinta Si Doel masih layak simak meski sebagai babak epilog dari sebuah sinetron legendaris, film ini kurang mempunyai greget dan jauh dari kata memuaskan. Sungguh sangat disayangkan cerita yang dicintai oleh banyak orang ini harus berakhir demikian. Bahkan salam perpisahan berhiaskan foto di end credit pun tak mampu menciptakan mata berkaca-beling.

Acceptable (2,5/5)


Post a Comment for "Review : Selesai Cerita Cinta Si Doel"