Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Nutcracker And The Four Realms


“The future of the realms lies with you. Be careful who you trust.” 

Untuk sebagian warga bumi – well, dalam hal ini ialah Amerika Serikat, sosok prajurit mainan yang dikenal sebagai nutcracker lekat kaitannya dengan tradisi Natal. Bonekanya kerap dipergunakan untuk dekorasi Natal, sementara pertunjukkan baletnya yang disadur dari kisah rekaan E. T. A. Hoffmann yang berjudul The Nutcracker and the Mouse King merupakan tontonan wajib bagi keluarga tiap ekspresi dominan libur Natal datang. Saking populernya, versi adaptasinya dalam format film pun bejibun termasuk dua judul paling aku ingat: The Nutcracker rilisan tahun 1993 yang menampilkan Macaulay Culkin dalam tugas amat singkat dan errr… Barbie in the Nutcracker (please don’t judge me!). Upaya untuk melestarikan karya seni ini (atau lebih tepatnya, dimanfaatkan sebagai mesin pencetak uang) masih terus dilanjutkan secara terencana, bahkan Disney pun hasilnya tergoda juga untuk memvisualisasikannya ke dalam tontonan layar lebar. Tidak tanggung-tanggung, guna mewujudkan proyek yang diberi judul The Nutcracker and the Four Realms, sejumlah bintang besar pun direkrut. Beberapa yang menarik perhatian antara lain Morgan Freeman, Helen Mirren, serta Keira Knightley. Terdengar menjanjikan bukan? Ini belum ditambah keterlibatan dua sutadara, Lasse Hallstrom (The Cider House Rules, Chocolat) dan Joe Johnston (Honey, I Shrunk the Kids, Jumanji), dibalik kemudi yang menunjukkan isyarat bahwa saduran bebas versi kisah beserta pertunjukkan balet ini nyaris tak mungkin keliru. Tapi benarkah demikian? 

Dalam The Nutcracker and the Four Realms, hero utama kita ialah seorang gadis muda bernama Clara Stahlbaum (Mackenzie Foy) yang masih dalam suasana berkabung usai meninggalnya sang bunda. Guna menghibur hati Clara yang dirundung lara, sang ibu meninggalkan sebuah hadiah berupa kotak berwujud telur pada malam Natal. Sayangnya, hadiah yang disampaikan melalui perantara sang suami, Pak Stahlbaum (Matthew Macfadyen), ini tak dilengkapi kunci untuk membukanya meski terdapat sebuah pesan yang kurang lebih berbunyi: kamu akan mendapatkan segala jawabannya di dalam. Agak-agak ngeselin nggak sih? Kalau telur ini bukan hadiah dari sang ibu, mungkin udah langsung diretakin oleh Clara. Tapi tentu saja Clara yang pantang menyerah pun memutar otaknya untuk membuka telur tersebut, termasuk mendatangi si pembuat yang kebetulan merupakan ayah baptisnya, Drosselmeyer (Morgan Freeman). Ketimbang memenuhi usul ayahnya untuk menemaninya berdansa-dansi, Clara justru sibuk berdiskusi dengan Drosselmeyer guna mendapatkan solusi dalam membuka telur. Oleh ayah baptisnya, Clara disarankan mencari sendiri jawabannya yang lantas membawanya ke sebuah alam abnormal usai Clara mengikuti petunjuk yang diduga mengarahkannya pada kunci pembuka. Benar saja, ada kunci pembuka di alam tersebut yang baru bisa diklaim oleh Clara apabila beliau bersedia membantu warga setempat untuk melawan penguasa lalim, Mother Ginger (Helen Mirren), yang dicurigai sedang mempersiapkan perang saudara. 


Mengusung jalinan pengisahan berdasar kisah yang telah diakui dan disokong pemain beserta kru kompeten, The Nutcracker and the Four Realms sejatinya telah memenuhi persyaratan untuk tersaji sebagai tontonan penghibur seluruh anggota keluarga dikala libur Natal. Tapi mirip halnya A Wrinkle in Time tempo hari – ndilalah, diproduksi pula oleh Disney – yang hancur lebur sekalipun komposisinya sudah kelas premium, The Nutcracker and the Four Realms pun ternyata jauh di bawah pengharapan. Makara jangan bayangkan film yang penulisan naskahnya ditangani oleh pendatang gres Ashleigh Powell (belakangan direvisi oleh Tom McCarthy) ini akan semagis versi live action dari Cinderella (2015) atau Beauty and the Beast (2017), sebab perbandingan yang lebih mendekati yakni si wrinkle-wrinkle little star tadi beserta Alice in Wonderland: Through the Looking Glass (2016). Cantik buat dipandang sih – atau dipajang sebagai screensaver – tapi emosinya hampa bukan main. Saking hampanya, aku lebih suka menyebutnya “kisah pengantar tidur yang dibutuhkan oleh mereka yang mengidap sulit tidur”. Jika kau kesusahan dalam memejamkan mata, aku sih menyarankanmu untuk menjajal film ini. Sedari pertengahan durasi, saya benar-benar berjuang untuk tetap melek termasuk memesan kopi dari bar bioskop serta menepuk-nepuk pipi berulang kali. Sungguh, film ini sangat, sangat, sangat membosankan. Adegan pembukanya memang mengagumkan yang seketika mengingatkan pada A Christmas Carol (2009) dengan hamparan salju plus dekorasi Natal menghiasi jalanan kota London, begitu pula dengan pertikaian kecil balasan sulitnya berdamai dengan murung di ruang keluarga. Cukup menyentuh. 

Hanya saja, gempita yang telah terbangun ini perlahan mulai rontok saat Clara memasuki alam ajaib yang terdiri dari empat negeri: negeri bunga, negeri salju, negeri manisan, serta negeri taman bermain. Ya, visualnya memikat berkat kolaborasi apik antara departemen efek khusus, kostum, tata rias, serta desain produksi. Tapi selebihnya sedikit enggan untuk saya singgung demi menjaga nama baik film ini. Sungguh, siapa menyangka jika film keluarga yang tampak polos ini memiliki aneka macam aib bertebaran yang rasa-rasanya tidak anggun untuk dipergunjingkan? Satu malu yang bisa saya beberkan, hampir seluruh pelakon dalam The Nutcracker and the Four Realms menghadirkan performa yang datar. Dimulai dari Jayden Fowora-Knight yang bermain sangat kaku kolam kayu sebagai nutcracker hidup berjulukan Captain Philip (namanya boleh dicatut sebagai judul, tapi dia hanyalah supporting character di sini), lalu Morgan Freeman yang mengambil peran hanya demi membayar tagihan bulanan, kemudian Helen Mirren yang bisa digantikan oleh siapapun, hingga Keira Knightley sebagai pemimpin negeri manisan yang bunyi tikusnya membuat saya berharap bioskop dilengkapi fitur mute. Diantara jajaran pemain, Mackenzie Foy yakni satu-satunya yang bermain cukup baik meski naskah kerapkali membuat Clara terlihat mirip gadis manja yang perajuk ketimbang gadis cerdas yang pemberani. Jika ada aib lain yang patut dibeberkan, maka itu yakni naskah yang ditulis sesuka hati (saya masih tidak habis pikir dengan twist dan motivasi utama si villain) dan pengarahan yang tidak konsisten karena film digarap oleh dua sutradara berbeda (Joe Johnston mengomandoi syuting ulang selama 32 hari atau dengan kata lain bikin setengah film!) dengan style berbeda pula. 


Ditengah segala kekacauan yang menghiasi The Nutcracker and the Four Realms, hal positif yang tersisa selain visual adalah adegan balet yang diperagakan oleh Misty Copeland. Keberadaannya mampu menawarkan nyawa bagi film yang gersang di tengah sekaligus menciptakan aku balasannya mampu menyunggingkan senyum di end credit. Saya pun tak lupa mengucap, “Alhamdulillah…”, begitu lampu bioskop dinyalakan alasannya film telah menunjukkan pengalaman terkantuk-kantuk di dalam bioskop yang akan cukup sulit untuk aku lupakan.

Poor (2/5)


Post a Comment for "Review : The Nutcracker And The Four Realms"