Review : Banda The Dark Forgotten Trail
“Melupakan kurun lalu sama dengan mematikan kurun depan bangsa ini.”
Dibandingkan dengan genre lain, dokumenter terhitung paling jarang dijamah oleh para sineas di perfilman Indonesia. Dari sisi kualitas bahu-membahu banyak pula yang bagus (dari beberapa tahun terakhir, dapat ditengok melalui Jalanan, Negeri di Bawah Kabut, serta Pantja-Sila), hanya saja khalayak ramai pada umumnya cenderung ogah-ogahan melahap film dokumenter disebabkan menempel kuatnya stigma yang menyatakan tontonan ini bersinggungan bersahabat dengan kata ‘membosankan’. Tentu saja tidak mampu sepenuhnya disalahkan mengingat saya sendiri masih sering menjumpai film dokumenter tanah air, utamanya non-komersil dan pendek, yang subjek materinya disampaikan dengan narasi amat sangat kaku mirip membaca buku teks dan pilihan gambar di latar belakang sebagai penguat narasi yang kurang hidup. Monoton. Baru berjalan beberapa menit saja, rasanya sudah ingin mengibarkan bendera putih. Di tengah kekeringan ini, produser Sheila Timothy bersama rumah produksi naungannya, Lifelike Pictures, berinisiatif menghadirkan sebuah menu dokumenter berbeda yang dibutuhkan mampu merangkul beragam pihak dari berbagai lapisan usia. Merekrut Jay Subyakto yang telah terlatih membesut video klip dan pagelaran konser sebagai sang sutradara, mereka menghadirkan Banda The Dark Forgotten Trail yang mengajak penonton untuk menelusuri sejarah perdagangan rempah, kepulauan Banda, serta Indonesia.
Gagasan pembuatan Banda The Dark Forgotten Trail sendiri tercetus pertama kali seusai Sheila Timothy bertandang ke sebuah pekan raya mengenai jalur rempah. Di sana, Sheila menjumpai satu kalimat yang menyebutkan bahwasanya jalur sutra terbentuk berkat pedagang-pedagang asal Tiongkok yang berburu rempah-rempah ke kepulauan kecil di Nusantara, yakni Banda. Kalimat tersebut menyadarkan sang produser bahwa ada banyak kisah yang mampu dikulik dari sini. Ada banyak kisah sejarah yang tak diperbincangkan secara mendetail dalam buku teks untuk para pelajar di Indonesia termasuk alasan utama mengapa rempah-rempah diperebutkan oleh bangsa-bangsa di Eropa. Sebagian besar dari kita tidak pernah tahu jikalau rempah-rempah, khususnya pala dan cengkeh, dianggap sebagai komoditi besar pada masa ekspedisi tersebut karena mempunyai banyak sekali macam khasiat. Bukan sembarang khasiat alasannya mereka yang mampu menguasai rempah-rempah, diklaim mampu menguasai dunia. Tak mengherankan kalau kemudian para pelaut dari Belanda, Spanyol, Portugis, sampai Inggris pun berbondong-bondong mengunjungi kepulauan Banda yang seketika menjadi pelabuhan utama di dunia demi bertransaksi untuk menerima biji pala berikut keluarganya. Sebuah transaksi yang memberikan efek luar biasa besar terhadap kehidupan masyarakat dalam kepulauan kecil di Indonesia bab timur ini hingga beratus-ratus tahun ke depan.
Dituturkan secara kronologis, penonton juga akan mengetahui bagaimana situasi Banda selepas diduduki Belanda, bagaimana nasib pala usai perdagangan bebas dihentikan, hingga bagaimana Banda di abad sekarang. Dengan bahan obrolan seberat dan sekompleks ini, nyatanya Banda The Dark Forgotten Trail tak pernah sekalipun menciptakan penonton merasa kelelahan sampai terkantuk-kantuk. Justru, menimbulkan keingintahuan lebih besar untuk menelusuri potongan-serpihan sejarah negeri ini. Mengikat dan memikat. Pemicunya, naskah racikan Irfan Ramli (Cahaya Dari Timur Beta Maluku, Surat Dari Praha) yang terus menerus menghujani kita dengan paparan-paparan memilukan pula mencengangkan terkait salah formasi pulau terpenting di Indonesia raya ini, serta pengarahan dinamis dari Jay Subyakto. Faktor penunjang lainnya tersusun atas musik pengiring gubahan Lie Indra Perkasa yang menghentak memberi kesan megah, penyuntingan gambar dari tiga editor yang bisa mengalirkan cerita dengan ritme tepat, polesan animasi dari rekan-rekan di SMK Raden Umar Said Kudus yang mempertajam narasi mengenai periode-kurun kegelapan di negeri ini, tangkapan gambar oleh enam DOP pimpinan Ipung Rachmat Syaiful tidak saja menghadirkan stok gambar melimpah ruah yang indah dipandang mata tetapi juga ‘berbicara’, dan Reza Rahadian selaku narator yang mampu menghembuskan ruh dalam setiap kalimat yang diucapkannya mirip tengah mendongengi anak kesayangannya sehingga tanpa sadar penonton pun tersihir untuk bersedia menambatkan atensinya pada film.
Yang juga menarik dalam Banda The Dark Forgotten Trail adalah pilihan narasumber dengan sudut pandang cukup beragam dan saling melengkapi satu sama lain. Jay emoh sebatas bergantung pada satu-dua sejarahwan yang diyakininya tak banyak menyumbang perspektif gres, kemudian memilih untuk juga melibatkan warga setempat. Beberapa orang yang turut dilibatkannya untuk menapak tilas masa lalu, membicarakan abad kini, dan memproyeksikan kala depan berasal dari pemilik perkebunan pala yang masih keturunan Belanda, pengamat sejarah, mahasiswa, dan pihak-pihak yang menyambung hidup melalui rempah-rempah. Lewat mereka, penonton mendapatkan informasi berharga kemudian menyadari bahwa kepulauan Banda sejatinya adalah aset berharga bagi Indonesia. Disamping kekayaan alamnya, beragam insiden sejarah yang membentuk negeri ini bercokol pula di Banda. Beberapa tokoh penting republik ini mirip Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri pernah mendiami Banda Neira selama masa pengasingan yang lalu mengilhami mereka dalam mencetuskan gagasan-gagasan untuk membangun Indonesia. Tak sulit memperoleh wangsit di kepulauan Banda mengingat status demografi masyarakatnya yang majemuk. Bisa dikatakan, hampir seluruh penduduk merupakan keturunan budak-budak yang dulu diciduk VOC dari pulau lain sedangkan penduduk orisinil hampir musnah dalam pembantaian.
Karena kemajemukan ini, tak pelak Banda The Dark Forgotten Trail juga memperbincangkan gosip kebinekaan yang belakangan membara. Kebetulan, salah satu narasumber pernah terseret menjadi korban dikala konflik agama mencuat di Indonesia pada tahun 1999 silam. Dituturkan tanpa tedeng aling-aling oleh si narasumber, penonton dapat merasakan kengerian dan kepiluan yang disisakan dari kejadian tersebut. Sejenak kita diminta untuk berkontemplasi; akankah kita mengizinkan peristiwa serupa terulang kembali? Jika ya, apa ada satu alasan yang amat mendesak hingga ini semestinya terulang? Adakah keuntungan yang dapat kita peroleh seandainya kejadian serupa terulang kembali? Serentetan pertanyaan tersebut memberi nilai tambah tersendiri bagi Banda The Dark Forgotten Trail alasannya penonton diajak untuk lebih aktif mendayagunakan fatwa alih-alih pasif sebatas mendapatkan isu. Keaktifan penonton diperlukan dapat diimplementasikan seusai menonton dengan menggelar rangkaian diskusi yang berlanjut ke tindakan kasatmata. Apalagi, Banda The Dark Forgotten Trail sebenarnya meninggalkan banyak pertanyaan lain. Mengingat durasi film amat terbatas sementara topik yang dicelotehkannya mencakup setumpuk peristiwa lintas kurun, bisa dimengerti jika film tidak memberi paparan selengkap seperti diharapkan. Bisa jadi, si pembuat film memang sengaja meninggalkannya demikian sehingga memberi kesempatan terciptanya ruang diskusi serta menggerakkan hati penonton untuk menambah rujukan bacaan terkait sejarah nusantara. Bagus!
Outstanding (4/5)
Post a Comment for "Review : Banda The Dark Forgotten Trail"