Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Mile 22


“If you're chaos, I think I might be worse. I am a killer who looks like a pahlawan.” 

Berdasarkan pengamatan aku, setidaknya ada dua faktor yang mendorong sebagian masyarakat Indonesia untuk rela berbondong-bondong memenuhi bioskop demi menyaksikan Mile 22. Bukan, bukan sebab film ini menandai kolaborasi keempat antara Peter Berg selaku sutradara dengan Mark Wahlberg sesudah Lone Survivor (2013), Deepwater Horizon (2016), dan Patriots Day (2016), yang kesemuanya mampu tersaji menegangkan sekaligus emosional tersebut. Mereka bersedia merogoh kocek serta menghabiskan waktu selama 90 menit di dalam bioskop alasannya: a) Mile 22 memiliki bahan promosi menarik yang menjanjikan maraknya baku tembak di sepanjang durasinya, dan b) Untuk pertama kalinya Iko Uwais menerima tugas penting dalam film langgar buatan Amerika Serikat berskala cukup besar setelah sebelumnya lebih sering berlakon di film low profile dengan jatah tampil seimprit. Disamping ketiga faktor di atas (Oh ya, saya juga tertarik dengan kolaborasi Berg-Wahlberg sebab sejauh ini belum pernah mengecewakan), ada alasan lain yang membuat Mile 22 terlihat keren di atas kertas. Mile 22 mengusung jalinan pengisahan yang menempatkannya di jalur thriller spionase dan film turut merekrut atlet bela diri adonan, Ronda Rousey, untuk beradu akting dengan Iko yang dikenal mahir pencak silat. Jika sudah begini, siapa bisa menolak pesona yang ditawarkan oleh Mile 22 

Film dibuka dengan adegan operasi belakang layar yang menerjunkan biro James Silva (Mark Wahlberg) beserta anggota tim kecilnya yang dinamai Overwatch ke sebuah perumahan. Tampak asri dan tenang di permukaan, tanpa dinyana-nyana salah satu rumah dipergunakan sebagai markas Rusia untuk menyimpan sesium, elemen kimia penting bagi pembuatan senjata pemusnah massal. Overwatch berhasil melumpuhkan para penghuni rumah tersebut, meski ada beberapa sesium yang gagal untuk diamankan. Selama setahun ke depan, pencarian terhadap sesium yang menghilang terus dilakukan demi menghentikan kemungkinan terjadinya Perang Dunia III apabila elemen berbahaya ini jatuh ke tangan pihak yang salah. Di tengah misi perburuan ini, informan dari Alice Kerr (Lauren Cohan) yang merupakan anggota kepolisian di Indocarr – sebuah kota fiktif di suatu negara Asia Tenggara yang konon merujuk ke Indonesia – berjulukan Li Noor (Iko Uwais) menyerahkan diri ke Kedubes Amerika Serikat. Li Noor mengaku memiliki info mengenai lokasi sesium yang dicari oleh Overwatch dalam sebuah serpihan disc. Sebagai imbalan atas info yang diberikannya, Li Noor meminta sumbangan kepada para agen pemerintah ini dalam perjalanan menuju sebuah pesawat yang akan membawanya ke luar negeri. Mulanya James enggan, tapi ketika beliau menyadari bahwa Li Noor yakni aset berharga yang diperebutkan oleh banyak pihak, maka tak ada jalan lain kecuali mengawalnya menuju bandara yang berjarak 22 mil (sekitar 35 km) dari Kedubes. 


Di atas kertas, Mile 22 memang terlihat seperti menu laga yang nyaris tidak mungkin untuk terjerembab. Segala kebutuhan yang diperlukan oleh film untuk tampil solid telah dipenuhi, termasuk memasangkan Iko Uwais bersama Ronda Rousey, plus menghadirkan premis menarik yang di dalamnya diberi taburan bumbu berupa intrik politik. Tatkala Peter Berg memulai langkah secara enerjik melalui adegan pembuka mendebarkan yang memberi kesan bahwa Mile 22 akan mengaplikasikan nada penceritaan seperti demikian, aku cukup optimis bahwa film ini tidaklah seburuk dikatakan oleh kritikus negeri Paman Sam yang acapkali kejam terhadap tontonan eskapisme. Saya meyakini, bahan promosinya tidaklah membual. Rasa percaya yang telah tertanam ini perlahan mulai rontok begitu Mile 22 membawa kita ke Indocarr (mulanya diniatkan sebagai Indonesia di naskah awal). Dari sini, aku mulai mencicipi ketidakberesan dalam film yang ditandai menyurutnya ketegangan seiring dengan diberlakukannya keputusan Berg untuk mengurangi jatah aksi dan memperbanyak obrolan. Kala aku melontarkan keberatan ini di akun media umum, seorang warganet menyahut, “pasti kau sukanya film Marvel ya jadi nggak mampu menikmati film ini.” Sebuah komparasi yang terlampau jauh sehingga saya memilih untuk menggodanya ketimbang menanggapinya secara serius melalui diskusi. Terlebih, warganet satu ini tak menyadari bahwa rapatnya obrolan beserta narasi njelimet dalam film ini bukan memberikan kemahiran si pembuat film dalam bercerita melainkan kemahiran si pembuat film dalam membuat kedok. 

Ya, kedok untuk menutupi bahwa jalinan penceritaan yang dikedepankan sejatinya tipis. Berg ingin menawarkan bahwa Mile 22 bukanlah film sabung 'kacangan' sehingga di sela-sela hantam tembak yang secara kuantitas tak terlalu banyak, dia memberi ocehan-ocehan panjang James Silva yang tanpa makna (bahkan ada kalanya muncul di sela-sela serunya adegan tubruk) dan klasifikasi berlarut-larut mengenai misi yang dihadapi Overwatch untuk memberi kesan berbobot padahal mampu disederhanakan dalam satu dua adegan saja (Ya Tuhan!). Dampaknya, penceritaan urung melaju kencang dan mengakibatkan beberapa titik yang sangat memungkinkan bagi penonton untuk menguap lebar-lebar. Pendekatan yang aneh mengingat Berg bersama Lea Carpenter selaku penulis skrip menghabiskan kuota durasi ini untuk banyak bicara remeh temeh sementara di waktu bersamaan, mereka hampir tak menyinggung latar belakang beberapa aksara pada dasarnya yang lebih krusial. Masa lalu James dipaparkan sekenanya melalui montase di awal film, sementara problem rumah tangga Alice tidak pernah ditindaklanjuti. Apabila si pembuat film sedari awal berniat menyodorkan kolam-bik-buk semata, maka ini bukan menjadi soal. Tapi berhubung James terus sibuk mengoceh entah itu berkaitan dengan plot atau melenceng jauh ke angkasa, saya jelas membutuhkan alasan yang menciptakan saya mampu memahami tindakannya alih-alih ingin merebut gelang karetnya lalu dijebretkan ke telinganya. Terlampau berisik dan menyebalkan.
 

Untungnya, kekacauan besar di sektor narasi yang berusaha terlalu keras untuk terlihat cerdik ini dikompensasi oleh tata laganya yang cukup impresif. Iko Uwais yang turut direkrut sebagai koreografer laga ini memiliki satu momen yang mempersilahkannya untuk bersinar, yakni pertarungan tangan kosong di saat salah satu tangannya diborgol. Sebuah momen yang menjadi titik balik bagi karakter Li Noor dalam film ini mampu mengundang decak kagum berkat ketangkasan Iko dalam mengkreasi gerakan hantam-pukul memakai bermacam-macam teknik, sekalipun pergerakan kamera menggunakan shaky cam yang heboh dan penyuntingan cepat sedikit menurunkan intensitasnya lantaran penonton tidak diberi pandangan terang mengenai siapa melawan siapa. Keseruan lain yang mencuat dalam Mile 22 bisa ditemui di adegan pembuka yang memberi instruksi palsu bahwa film akan terhidang sebagai tontonan thriller spionase yang mencengkram, lalu baku tembak di lorong apartemen yang sempit, serta kejar-kejaran kendaraan beroda empat berlanjut baku tembak menyusuri jalanan Bogota, Kolombia, yang dialihrupakan sebagai Indocarr. Rangkaian aksi yang cukup seru, meski yaaa... kurang banyak. Kamu bahkan tidak akan menjumpai adegan perkelahian yang mempertemukan Ronda Rousey dengan Iko Uwais atau Ronda Rousey menggila dalam suatu pertarungan seperti pertama kali melintas di benak ketika mendengar beliau direkrut untuk sebuah film adu. Keberadaannya kurang memberi arti, tak seperti Iko yang syukurlah benar-benar dimanfaatkan kelebihannya dengan baik di sini. Setidaknya penonton yang membeli tiket Mile 22 untuk semata-mata melihat agresi Iko tak akan keluar dari bioskop dengan muka ditekuk dan gerutuan berkepanjangan.

Acceptable (2,5/5)

Post a Comment for "Review : Mile 22"