Review : A Man Called Ahok
“Aku tidak takut kalah, tapi saya takut berbuat salah.”
Terlepas dari kau mengaguminya, membencinya, atau bersikap netral, rasa-rasanya sulit untuk menyangkal bahwa Ahok yaitu sosok paling fenomenal di tanah air dalam satu dekade terakhir. Kapan terakhir kali ada seorang politisi yang sepak terjangnya sedemikian disorot sampai kerap menjadi topipembicaraan masyarakat dari aneka macam lapisan? Almarhum Gus Dur kah? Atau justru rekan seperjuangannya, Jokowi? Meski kedua sosok ini terbilang luar biasa dengan caranya masing-masing, keduanya mempunyai satu keuntungan yang tak dipunyai Ahok: privilege berasal dari kaum secara umum dikuasai. Itulah mengapa, ada keistimewaan tersendiri dalam usaha Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sehingga tak mengherankan sosoknya pun disebut sebagai ‘hero minoritas’ bagi sebagian warga yang menganggap perjalanan karirnya inspiratif. Tidak hanya pendukung setianya, jutaan pasang mata lain pun terus tertuju kepada sosok berjulukan lengkap Basuki Tjahaja Purnama ini alasannya adalah keputusan-keputusan yang diambilnya acapkali kontroversial. Pertanyaan-pertanyaan mirip, “apa langkah berikutnya yang akan ditempuh Ahok?,” terus bersahut-sahutan di kalangan publik, sementara saya justru bertanya-tanya, “mirip apa sih Ahok di kala muda?.” Terdengar remeh temeh memang, tapi saya ingin mengetahui apa yang membentuknya sebagai langsung yang berani, keras, dan tanpa tedeng aling-aling seperti sekarang ini sehingga kerap disalahpahami sekaligus dimurkai pihak tertentu. Apakah sifatnya ini ialah hasil gemblengan orang tua atau lahir dari pengalaman tak mengenakkan di kurun lampau?
Pertanyaan-pertanyaan ini nyatanya turut menggelitik rasa penasaran Rudi Valinka yang lantas memformulasikannya ke bentuk narasi dalam buku non-fiksi bertajuk A Man Called Ahok. Tak berselang usang, Putrama Tuta yang jejak rekamnya meliputi Catatan Harian Si Boy (2011) dan Noah Awal Semula (2013) pun mengekranisasinya ke bentuk bahasa gambar demi menjangkau audiens lebih luas. Dalam versi film, penonton diajak melongok ke masa akil balig cukup akal Ahok (Eric Febrian) di Desa Gantung, Kabupaten Belitung Timur, pada kurun 1980-an. Ahok merupakan putra sulung dari pasangan Tjung Kin Nam (Denny Sumargo) – yang dijuluki ‘Bos Besar’ oleh warga sekitar alasannya adalah kemurahan hatinya – dan Buniarti Ningsih (Eriska Rein). Selama durasi mengalun, kita disodori kekerabatan antara Ahok dengan sang ayah yang berusaha mati-matian untuk mempertahankan bisnis pertambangannya ditengah rongrongan oknum korup yang ingin menjatuhkannya. Tjung Kin Nam tak pernah memanjakan Ahok dan ketiga anaknya yang lain, melainkan turut membawa mereka melihat realita sekaligus terus mendorong mereka untuk menggapai posisi penting di masyarakat demi memperjuangkan keadilan. Dalam mengajari anak-anaknya tumbuh sampaumur, Tjung Kin Nam selalu memastikan agar mereka tidak saling melupakan satu sama lain dan tidak pernah kehilangan empati kepada mereka yang membutuhkan pertolongan. Bagi Ahok di masa akil balig cukup akal, pesan sang ayah ini mampu dituruti dengan gampang. Akan tetapi sekembalinya dia dari Jakarta demi menempuh studi, Ahok (Daniel Mananta) mempunyai ajaran yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini oleh Tjung Kin Nam (Chew Kin Wah) sehingga pergesekan diantara mereka pun tak terbendung.
Dibawah penanganan Putrama Tuta (filmografinya boleh seuprit, tapi kedua karyanya amat ciamik), A Man Called Ahok bisa merekonstruksi era lampu si huruf tituler dalam gelaran cerita yang menggigit, menghangatkan hati, sekaligus mengobarkan semangat – sebagai pengganti kata “inspiratif”yang kurang disukai sebagian orang. Tidak butuh waktu usang bagi atensi aku untuk tertambat terlebih film telah menggelontorkan tanggapan untuk pertanyaan terbesar saya di separuh durasi awal. Pertanyaan terkait faktor utama pembentuk karakteristik Ahok dipaparkan melalui relasinya dengan sang ayah. Ada kekaguman terhadap sosok Tjung Kin Nam yang dideskripsikan mengayomi wong cilik dan tidak segan-segan mengulurkan pertolongan saat ada yang memerlukan sumbangan uang, sekalipun kemurahan hatinya ini menghadapkannya pada hutang menumpuk. Sang istri, Cik Bun, sesekali protes terhadap kebiasaan suaminya sementara Ahok sampaumur secara diam-diam turut mempraktekannya meski ini berarti mesti memecah celengan. Karakter Tjung Kin Nam ini sendiri mempunyai peranan sangat lebih banyak didominasi, bahkan lebih sering menguasai layar ketimbang Ahok, karena ia memiliki kontribusi terbesar terhadap setiap langkah yang diambil oleh Ahok. Dia dapat bersikap lembut periode memberikan tenggang rasa, dia pun mampu bersikap keras pada para maling. Kemarahan menggebu-nggebu Ahok yang mencuat setiap kali melihat kezaliman dipantik oleh pengalaman berurusan dengan satu oknum yang terus mengancam akan mempersulit sang ayah (lalu berlanjut ke beliau setelah menekuni bisnis serupa) apabila enggan memberi uang pelicin.
A Man Called Ahok memberikan fase terbaiknya ketika menyoroti usaha Tjung Kin Nam untuk mempertahankan bisnis tambangnya dan bagaimana ia menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada putra-putrinya. Putrama Tuta menandakan bahwa ia memiliki sensitivitas dalam merangkai momen dramatik – tanpa pernah terjerembab menjadi dramatisasi berlebih – melalui beberapa momen yang tersebar di beberapa titik mirip saat Tjung Kin Nam mengajak Ahok dewasa melayat ke rumah mantan karyawan, wejangan di meja makan, hingga ketika Ahok memberi penghormatan terakhir di makam sang ayah. Tunjangan iringan musik oleh Aghi Narottama dan Bemby Gusti turut menambah rasa pada menit-menit ini, disamping permainan lakon mengagumkan dari jajaran pemainnya. Daniel Mananta bermain cukup baik sebagai Ahok berpatokan pada tingkat kesulitan yang dihadapinya (ada ciri khas besar lengan berkuasa pada gestur beserta warna suara Ahok yang cenderung mustahil direplika), tapi bagi aku Denny Sumargo ialah pencuri perhatian bergotong-royong di film ini. Tampak kewibawaan seorang ayah, tampak ketegasannya, dan tampak pula kehangatannya. Dia bersinergi dengan Eriska Rein yang memberi verbal-ekspresi kecil nan subtil dalam setiap reaksinya terhadap keputusan-keputusan nekat sang suami. Versi menua dari keduanya pun dimainkan secara berpengaruh oleh Chew Kin Wah beserta Sita Nursanti sekalipun fakta bahwa mereka tidak memiliki kemiripan dengan versi muda terasa mengganggu. Yang juga mengganggu dari A Man Called Ahok ialah penyelesaiannya yang kurang lantang. Keputusan untuk bermain kondusif ditambah pemadatan durasi berimbas pada penuturan karir politik Ahok yang tak lebih dari sekadar montase – bahkan sebagian besar diantaranya telah menjadi rahasia umum.
Kita tidak banyak mengetahui perjuangannya, kita tidak juga dipapari pencapaiannya secara mendetail. Penonton yang tiba ke bioskop untuk menyaksikan A Man Called Ahok memang akan memperoleh penjabaran memuaskan terkait masa lampaunya, tapi soal kiprahnya di dunia politik, pembahasan hanya sebatas permukaan saja.
Post a Comment for "Review : A Man Called Ahok"