Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Maze Runner: The Death Cure


"What if we were sent here for a reason?"

Tatkala mendengar kabar bahwa pemeran utama dari franchise Maze Runner, Dylan O’Brien, mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan cedera parah sehingga tahapan produksi jilid ketiga bertajuk The Death Cure terpaksa ditunda, hati ini seketika ketar-ketir. Bagaimana jikalau franchise ini akan bernasib sama dengan Divergent atau dalam artian kita tidak akan pernah menyaksikan babak konklusinya di layar lebar? Disamping The Hunger Games yang telah terlebih dahulu rampung, Maze Runner tergolong film berlatar distopia hasil pembiasaan novel berseri untuk young adult yang aku nikmati. Seri pertamanya menarik sekali, sementara jilid keduanya sekalipun berantakan masih menunjukkan pengalaman sinematik cukup mengasyikkan. Maka begitu memperoleh kepastian mengenai jadwal perilisan The Death Cure pasca terombang-ambing selama setahun selagi menunggu Dylan O’Brien pulih, saya seketika sorak-sorak bergembira. Filmnya sendiri (pada risikonya) memang tidak menjadikan efek bungah luar biasa yang setipe selepas saya menyaksikannya di layar lebar. Namun The Death Cure tetap dapat dikategorikan sebagai sebuah seri penutup yang pantas bagi franchise Maze Runner. 

Tanpa banyak berbasa-basi untuk menyegarkan ingatan penonton (jika kamu lupa, ada baiknya menyaksikan lagi seri pertama dan kedua sebelum menjajaki jilid ketiga), The Death Cure eksklusif membawa kita pada sekuens berkelahi besar yang mendebarkan berupa misi pembajakan kereta. Bukan dilakukan oleh WCKD – organisasi yang menjadi musuh utama di franchise ini – melainkan Thomas (Dylan O’Brien) beserta rekan-rekan seperjuangannya, termasuk Newt (Thomas Brodie-Sangster), demi menyelamatkan Minho (Ki Hong Lee) yang diculik WCKD pada penghujung film kedua menyusul pengkhianatan Teresa (Kaya Scodelario). Meski berhasil membebaskan sejumlah sandera, sayangnya tak ditemukan jejak Minho di gerbong kereta. Usut punya usut, Minho bersama cukup umur terpilih lainnya diboyong ke markas WCKD di Last City – satu-satunya kota tersisa yang terbebas dari wabah – untuk diambil darahnya yang dipergunakan sebagai materi utama terciptanya serum penawar. Meminta santunan kepada sebuah kelompok pemberontak yang bermarkas di sekeliling Last City, Thomas dan kawan-mitra pun merancang misi terakhir yang bukan saja bertujuan untuk menyelamatkan Minho serta menghancurkan WCKD tetapi juga menyelamatkan umat manusia. 


Disandingkan dengan sang predesesor, The Scorch Trials, yang cenderung kering dan gampang dilupakan, The Death Cure merupakan suatu peningkatan. Memang sih jika berbicara soal guliran pengisahan, tidak ada sesuatu mencengangkan atau mengikat selayaknya jilid pembuka yang mampu kau jumpai disini. Malah bisa dikata, plotnya setipis kertas pula terkesan dipanjang-panjangkan. Yang lantas membuat The Death Cure mampu tegak berdiri dan melampaui pencapaian seri kedua yaitu kemampuan sang sutradara, Wes Ball, dalam meramu barisan sabung seru yang menghiasi sepanjang durasi. Menyadari penuh bahwa naskah rekaan T.S. Nowlin yang disadur dari novel buatan James Dashner tidak menyediakan ruang memadai bagi terciptanya intrik-intrik pamungkas dengan daya ledak besar selayaknya dua babak Mockingjay (atau seri epilog The Hunger Games), Ball pun menetapkan untuk meletakkan fokus sepenuhnya pada peningkatan cakupan skala terkait sekuens tabrak. Tujuan utamanya sederhana, membuat agresi yang lebih gegap gempita dibanding Maze Runner maupun The Scorch Trials. Sebuah tujuan yang untungnya dapat dicapai oleh Ball sehingga membuat The Death Cure terasa renyah untuk dikudap. 

Sedari menit pertama, Ball mencoba untuk menempatkan intensitas dari instalmen ketiga ini dalam level cukup tinggi. Belum apa-apa, kita telah disuguhi adegan ‘tabrak kecepatan’ antara kendaraan beroda empat dengan kereta yang berlangsung selama kurang lebih 10 menit. Laju pengisahan yang lantas mengikutinya pun diusahakan untuk tetap kencang. Tidak banyak momen senyap tersedia yang memungkinkan abjad-karakternya saling bertukar emosi (maka dari itu, kalau kamu berharap seri ketiga ini mempunyai ‘kedalaman’, hempaskan segera) sebab apa yang disuguhkan Ball ialah sebatas tontonan eskapisme sarat dentuman. Entah itu bersumber dari baku hantam, tembakan, atau pengeboman yang nyaris tanpa henti. Selain adegan pembuka, highlight lain dalam The Death Cure berada di satu jam terakhir dikala misi evakuasi Minho dilangsungkan utamanya pada adegan dengan kata kunci “terjun bebas” dan “bis melayang”. Dalam penanganan yang salah, rentetan berkelahi yang sambung menyambung semacam ini dapat berpotensi terasa sangat melelahkan. Akan tetapi, melalui The Death Cure, Wes Ball menandakan bahwa dia mempunyai talenta untuk menangani gelaran tubruk eksplosif yang seru sekaligus mendebarkan meski aku sejatinya berharap durasinya mampu lebih singkat.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Post a Comment for "Review : Maze Runner: The Death Cure"