Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Athirah


Tradisi Miles Films sedikit berubah tahun ini. Jika biasanya mereka hanya mempersembahkan satu karya untuk khalayak ramai, maka sekali ini dua film diluncurkan dengan pendekatan cenderung berbeda; Ada Apa Dengan Cinta? 2 dan Athirah. Adanya perbedaan pun tidak sebatas terhenti pada tradisi maupun bagaimana kedua buah hati diperlakukan, melainkan hingga menyasar ke lantunan kisah. Athirah, film terbaru dari Miles Films yang disarikan dari novel bertajuk sama racikan Alberthiene Endah serta dikomandoi oleh Riri Riza, pada dasarnya adalah sebuah film biografi. Didalamnya, terdapat konflik terkait istri dimadu (atau bahasa kerennya, poligami) dan elemen religi yang melingkungi. Dalam menafsirkan ulang dongeng Athirah, ibunda dari Wapres Jusuf Kalla, ke bahasa gambar gerak Riri sebisa mungkin tidak ingin terkungkung pada pakem film biografi, poligami, maupun religi yang jamak diaplikasikan oleh dominan sineas dalam negeri. Biografi condong ke arah glorifikasi, poligami identik dengan isak tangis tak berkesudahan, dan religi sekadar untuk alat hias belaka. Riri mencoba memberi warna lain lewat penuturan lebih puitis nan elegan dalam Athirah sehingga sulit disangkal menunjukkan kesegaran tersendiri bagi film yang sejatinya mengusung tema lama ini. 

Perjalanan film dibuka oleh kemunculan sebuah truk yang mengangkut Athirah (Cut Mini) dan suaminya, Haji Kalla (Arman Dewarti). Pasangan suami istri ini mengungsi dari Bone ke Makassar karena situasi kurang aman tengah melanda kampung halaman balasan peperangan melawan kelompok separatis pasca kemerdekaan Republik Indonesia sehingga tidak mungkin bagi keduanya memperoleh mata pencaharian yang layak. Setibanya di Makassar, tanpa banyak berbasa busuk, film lantas memberikan bahwa pelarian mereka membuahkan hasil. Bisnis yang dikelola Haji Kalla bersama istrinya berkembang pesat dan mereka pun dikaruniai putra-putri yang taat, salah satunya ialah si anak sulung yang berjulukan Ucu (Christoffer Nelwan). Kehidupan keluarga Kalla terhitung sakinah bahkan Athirah tengah mengandung anak keempat, hingga sebuah informasi tak mengenakkan hati membisiki indera pendengaran Athirah yang seketika menggoyahkan bahtera rumah tangga mereka. Ternyata oh ternyata, Haji Kalla telah mempersunting perempuan lain tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan pada sang istri. Mengetahui dirinya telah dimadu, hati Athirah tentu nelangsa. Hanya saja alih-alih menyesali nasib pilunya, Athirah justru memilih mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membangun bisnisnya sendiri. 

Ya, Athirah memang tidak dilantunkan kolam melodrama yang sedikit-sedikit terdengar teriakan histeris, sedikit-sedikit bercucuran air mata, sekalipun dongeng hidup sang subjek adalah materi elok untuk membuat penonton terisak andal. Riri menentukan menuturkannya secara elegan, dipenuhi ketenangan ketimbang letupan-letupan emosi, seraya mempersilahkan penonton memberi pembacaannya sendiri atas suatu adegan lantaran dialog memang bukan sesuatu yang lazim ditemukan dalam Athirah. Bukannya tak ada, hanya saja diminimalisir betul-betul dan lebih bergantung kepada permainan mimik wajah barisan karakternya untuk menjabarkan suatu keadaan. Kesunyian semacam ini boleh jadi berasa janggal bagi penonton yang mendamba drama eksplosif – jikalau kamu berekspektasi demikian, hempaskan sesegera mungkin – akan tetapi dikala kamu dapat menerima gaya tutur sang sutradara, kesan puitis dan anggun mampu dirasakan. Pemilihan gaya tutur damai-hening menghanyutkan sendiri, bagi aku, efektif menebalkan karakteristik dari sang tokoh utama yang digambarkan sebagai wanita kuat dan tegar. Hanya sesekali Athirah terlihat menangis di depan aksara lain pasca dipoligami, selebihnya air mata kekecewaan ditumpahkan kala ia tengah sendirian atau membaca kitab suci. Pun tanpa ledakan tangis, Athirah tetap mampu menusuk hati penontonnya sedemikian rupa. 

Athirah berupaya menahan-nahan emosinya demi keutuhan keluarga. Dia tidak ingin anak-anaknya menyadari bahwa hubungannya dengan sang suami telah jauh merenggang – walau tercium juga oleh Ucu – dan tetangga sekitar yang pastinya gemar bergunjing mengetahui kian dalam malu keluarga bercitra terhormat ini. Tidak ingin terlarut dalam kesedihan, pula upayanya untuk tidak membebani Haji Kalla yang telah mempunyai keluarga lain untuk dihidupi, Athirah pun membangun usaha sarung tenun sutera. Perjuangan andal Athirah guna berdiri dari terjangan angin kencang besar yang nyaris menenggelamkannya inilah yang menginspirasi Ucu di kemudian hari. Bukan hanya Ucu, penonton pun memperoleh inspirasinya seusai menonton film ini malahan turut disertai respek kepada sosok Athirah maupun Ucu (panggilan kecil Jusuf Kalla). Sebuah pertanda bahwa Athirah bekerja sangat baik sebagai film biografi. Ini diperoleh lantaran Athirah menghindari adanya glorifikasi berlebihan. Kelamnya jalan hidup keluarga Kalla juga dipapar tanpa tedeng aling-aling, termasuk bagaimana Athirah yang seorang relijius diperlihatkan mendatangi ‘orang arif’ demi mendapatkan jampi-jampi untuk mempertahankan Haji Kalla. Mengetahui bahwa mereka yaitu manusia biasa yang juga melaksanakan kesalahan menciptakan kita mudah terkoneksi ke film. 

Bagusnya cara Riri bercerita berdasar naskah ketat olahan Salman Aristo (juga Riri), memperoleh sokongan pula dari departemen teknisnya yang berada di level premium seperti bingkaian gambar-gambar oleh Yadi Sugandi yang tidak saja indah tetapi pula ‘berbicara’ banyak, iringan musik bernuansa etnis hasil gubahan Juang Manyala yang memberi sentuhan emosi serta rasa pada film, sampai bangunan artistik cermat rancangan Eros Eflin yang menciptakan penonton serasa menyelami kurun 50 dan 60-an. Dan, kita tentu dihentikan melupakan donasi penting jajaran pemainnya. Riri jelas beruntung mempunyai aktris sekaliber Cut Mini yang memberi interpretasi mengagumkan untuk karakter Athirah. Dia yakni kunci sekaligus magnet bagi film ini. Penonton mampu mencicipi kegetiran yang dialami oleh sang tokoh utama hanya dari penyampaian berita melalui verbal air muka Cut Mini. Tengok pancaran mata yang mengisyaratkan kecurigaan bercampur kecemasan periode Haji Kalla mencari-cari minyak rambutnya, lihat bagaimana perubahan raut wajahnya saat mengetahui sang suami datang bersama istri muda di sebuah pesta perkawinan, dan simak pula reaksi ketakutannya ketika mencoba memasukkan ‘ramuan’ ke minuman sang suami. Itupun masih beberapa diantaranya mengingat Cut Mini juga menghadirkan akting hebat begitu mengembangkan layar bersama lawan mainnya yang tak kalah mengesankan mirip Christoffer Nelwan dan Jajang C. Noer (memerankan ibu Athirah). Dengan kombinasi semaut ini, tepat kiranya menyebut Athirah sebagai salah satu film terbaik tahun ini. Luar biasa elok.

Intermezzo : Ada yang perutnya seketika keroncongan nggak melihat hamparan masakan-masakan di setiap adegan menjelang makan bersama?

Outstanding (4/5)

Post a Comment for "Review : Athirah"