Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Mangkujiwo


“Iblis terkuat bersemayam di sini.”

Saat sebuah film mereguk untung besar, tentulah masuk akal tatkala pihak rumah produksi lantas menetapkan untuk mengembangkannya menjadi satu “kerajaan” berwujud franchise. Disamping Danur beserta “keluarga kecilnya”, perfilman Indonesia juga memiliki Kuntilanak keluaran MVP Pictures sebagai tontonan horor yang beranak pinak. Selepas periode Julie Estelle berakhir, si empunya film lantas melanjutkan Kuntilanak ke era baru dengan pendekatan horor keluarga dimana dua instalmen pertamanya memperoleh respon antusias dari khalayak ramai. Menilik pencapaian yang memuaskan di tangga box office, MVP Pictures pun seketika memberikan lampu hijau bagi pembuatan dua seri lain yang meliputi sebuah sekuel dan sebuah prekuel. Selagi para penggemarnya menantikan kemunculan instalmen ketiga yang gres direncanakan rilis pada libur Idulfitri mendatang, satu kisah pendahuluan pun dilepas dengan tajuk Mangkujiwo. Dalam film yang ditangani oleh Azhar Kinoi Lubis (Kafir Bersekutu dengan Setan, Ikut Aku ke Neraka) ini, penonton disodori bahan penceritaan yang mengetengahkan pada proses lahirnya sang villain utama dari franchise ini yang tak lain tak bukan yaitu Mbak Kunti sendiri. Sebuah materi yang mesti diakui sangat menggugah keingintahuan dan hasrat menonton, terlebih bagi mereka yang telah setia mengikuti seri film ini sedari satu dekade silam.

Dalam Mangkujiwo, penonton diperkenalkan kepada Brotoseno (Sujiwo Tejo) yang menyimpan dendam kesumat kepada sobat lamanya, Cokrokusumo (Roy Marten). Alasannya, alasannya Cokrokusumo telah memfitnahnya sedemikian rupa sehingga Brotoseno pun kehilangan pekerjaannya di Keraton. Guna mewujudkan impiannya untuk menuntut balas atas perlakuan keji yang telah dilakukan oleh mantan rekannya tersebut, Brotoseno pun menyelamatkan seorang wanita bernama Kanti (Asmara Abigail) yang ditemukan dalam keadaan terpasung di kandang kerbau. Pada mulanya, baik Kanti maupun penonton menerka, ini ialah aksi evakuasi yang heroik. Tapi tak berselang usang usai perempuan yang mulai kehilangan kewarasannya tersebut terbebas dari pasungan, beliau kembali dipasung oleh Brotoseno di salah satu ruangan dalam rumahnya. Hari-harinya bersama sang “penyelamat” pun tak lebih baik alasannya adalah Kanti menerima siksaan demi siksaan yang melibatkan binatang-hewan menjijikan beserta makhluk-makhluk mistik, dan beliau pun harus mengonsumsi kuliner dengan lauk berupa organ dalam tikus. Ditengah upaya Brotoseno dalam menempa Kanti sehingga dia dapat menjadi senjata pembunuh sesuai keinginannya, Cokrokusumo yang baru saja menerima serangan tak terduga pun menyiapkan bala perlindungan yang terdiri dari orang-orang kepercayaannya termasuk Nyi Kenanga (Djenar Maesa Ayu) yang mempunyai keahlian dalam mendayagunakan kekuatan dari loji pusaka milik sang majikan.


Seperti halnya kala melantunkan Kafir Bersekutu dengan Setan (2018), Pak Lubis pun emoh bermain-main dengan jumpscares guna menciptakan penonton terperanjat dari kursi bioskop saat menarasikan Mangkujiwo. Selain memanfaatkan atmosfer pengusik kenyamanan yang bersumber dari pekatnya mistisisme Jawa dalam melingkungi kehidupan para karakternya, film turut mempergunakan imaji-imaji mengganggu yang akan “menggelitiki” perut-perut penonton yang lemah. Entah itu kalajengking berikut kawanannya sesama binatang yang terpinggirkan, perut tikus yang dikoyak-koyak lalu dihidangkan sebagai lauk, maupun luka-luka yang menghiasi tubuh. Saking terusiknya, aku beberapa kali terpaksa mengenyahkan pandangan dari layar bioskop terutama dalam adegan Brotoseno mengunjungi “kamar” Kanti. Sebuah lokasi dimana visual-visual menggelisahkan ini bersemayam. Makara, saya sangat menyarankan untuk tidak menonton film ini dalam keadaan perut kenyang atau seraya mengudap cemilan alasannya adalah, well… tidak kondusif bagi lambung. Kesanggupan Mangkujiwo dalam menciptakan teror yang memberi mimpi jelek tanpa perlu mengumbar penampakan (yang mana memang nyaris absen di sini!) ini tentu tak lepas dari sokongan sinematografi dan tata artistik yang rupawan. Berkatnya, kita seakan-akan tengah berkunjung ke rumah Brotoseno, dan berkatnya pula, kita mampu sedikit banyak mencicipi apa yang dirasakan oleh Kanti. Keinginan untuk terbebas dari “neraka dunia” yang memerangkapnya.

Ndilalah, Mangkujiwo dimeriahkan oleh barisan pemain yang kompeten khususnya Asmara Abigail yang dibentuk tak berdaya di sini, Sujiwo Tejo yang mengerikan, dan Djenar Maesa Ayu yang manipulatif. Elemen teknis yang mumpuni beserta performa pelakon yang baik inilah yang cukup membantu menaikkan derajat Mangkujiwo. Saya beri imbuhan pementingan cukup, sebab para pelakon ini pun menghadirkan problematika tersendiri karena enggan menggunakan Bahasa Jawa sebagai dialog utama sementara para karakter mempunyai keterkaitan dengan Keraton (malah ada satu huruf yang berbincang dengan Bahasa Indonesia lancar tanpa sedikitpun aksen Jawa bak anak ibukota negara, duh!). Tapi aku ikuti dengan kata membantu, alasannya sejatinya akting mereka masih tidak mengecewakan mengalihkan kita dari hambatan lebih krusial di sektor narasi. Ketimbang menggulirkan penceritaan secara linear, film yang naskahnya ditulis oleh Dirmawan Hatta ini justru mengaplikasikan teknik pengisahan maju mundur demi menutup rapat misteri yang dikandungnya. Di atas kertas memang terdengar menarik. Namun saat departemen penyuntingan gambar tidak bisa menyambungnya secara mulus, ditambah lagi film tidak memberi penanda waktu yang terperinci, pada dikala itulah cara bercerita semacam ini menimbulkan hambatan. Menimbulkan kebingungan pada penonton yang perlahan tapi niscaya mereduksi keingintahuan pada misteri dalam film. Pilihan berkisah yang beresiko ini pun bukan satu-satunya alasan mengapa Mangkujiwo urung bekerja secara semestinya sebab naskah turut berperan serta di sini. Mengatasnamakan dirinya sebagai prekuel, sayangnya film tak pernah benar-benar menjabarkan soal Pengilon Kembar (cermin terkutuk yang ada dalam seri Kuntilanak) berikut hukum mainnya.


Tiba-datang kita sudah mendapatinya di sana, dan tiba-tiba pula cermin ini identik dengan Mbak Kunti. Asal mulanya hanya dijabarkan sekilas lalu, tanpa pernah menciptakan penonton bisa memahami kesaktiannya hingga-sampai diperebutkan dua pihak.  Keinginan untuk menutup rapat misteri dengan lompatan latar waktu yang teramat sering turut berujung pada tereduksinya proses. Mangkujiwo tidak memberi penonton kesempatan untuk menyaksikan huruf tertentu bertransformasi ke arah kegelapan akibat kuota durasi yang tak lagi mencukupi. Film seolah lebih antusias dalam menjaga twist ketimbang memberi narasi yang membuat kita bersedia sedikit menaruh kepedulian terhadap abjad-aksara bengis ini. Meski informasi memang ada disematkan melalui lontaran obrolan, tapi mengabaikan metode “show don’t tell” menimbulkan segala keriuhan di babak ketiga terasa kurang beralasan, kurang greget, dan kurang mencekam. Semuanya seakan berlangsung secara tiba-datang, termasuk saat Sadi (Septian Dwicahyo) ujug-ujug menuliskan lirik tembang Lingsir Wengi di atas tanah maupun ketika Nyi Kenanga memberikan acara terselubung yang motifnya sulit untuk dimengerti. Segalanya mendadak berubah, kemudian perubahan ini pun ditutup secara cepat. Memunculkan dengusan kecewa karena film tak juga memberi babak penebusan memuaskan usai mengajak kita mengikuti jalinan pengisahan berbelit-belit dari sebuah cerita yang sejatinya sederhana saja.

Acceptable (2,5/5)

Post a Comment for "Review : Mangkujiwo"