Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Dilan 1990


“Milea, kamu bagus. Tapi aku belum mencintaimu. Nggak tahu jika sore. Tunggu aja.” 

Pada kuartal awal tahun 2018 ini, khalayak ramai menjadi saksi atas lahirnya pasangan fiktif gres yang fenomenal dalam perfilman Indonesia selepas Cinta-Rangga (Ada Apa Dengan Cinta?, 2001), Tita-Adit (Eiffel… I’m in Love, 2003), dan Aisha-Fahri (Ayat-Ayat Cinta, 2008). Mereka adalah Milea-Dilan, karakter utama dalam film Dilan 1990 yang diekranisasi dari novel laku cantik bertajuk Dilan: Dia ialah Dilanku Tahun 1990 rekaan Pidi Baiq. Seperti halnya ketiga film yang telah terlebih dahulu mencuri hati masyarakat Indonesia tersebut, Dilan 1990 pun mampu membuat gelombang hype luar biasa besar yang kemudian mendorong publik yang didominasi oleh cukup umur usia belasan untuk rela mengantri panjang demi menyaksikan jalinan cerita asmara Milea dengan Dilan. Alhasil, rekor demi rekor terus diciptakan oleh Dilan 1990 yang berpotensi membawanya meraih predikat “film romantis terlaris sepanjang masa di Indonesia” (dengan catatan, sanggup melewati Habibie & Ainun yang merengkuh 4,5 juta penonton). Kesuksesan besar ini tentu pada akhirnya mendatangkan tanya: apa sih istimewanya Dilan 1990 sampai-hingga begitu diburu? Dari sisi bisnis, jawabannya gampang saja yaitu ketepatan seni manajemen promosi. Sedangkan dinilai dari filmnya itu sendiri, Dilan 1990 terhitung berhasil menjelma sebagai film percintaan yang anggun sekalipun bagi saya langsung tidak betul-betul mengesankan.  

Dalam Dilan 1990, kita mengikuti narasi Milea (Vanesha Prescilla) mengenai seseorang yang telah merebut hatinya semasa mengenakan seragam putih debu-debu di Bandung pada tahun 1990. Orang tersebut adalah Dilan (Iqbaal Ramadhan), ‘panglima tempur’ di sebuah geng motor dan murid berandalan di sekolahnya. Mereka berdua, tentu saja, tidak lantas saling jatuh cinta saat pertama kali berjumpa. Milea telah mempunyai seorang kekasih di Jakarta berjulukan Beni (Brandon Salim) dan rekam jejak Dilan sebagai tukang bikin onar menciptakan Milea agak ragu-ragu era didekati Dilan. Terlebih, Dilan juga bukan satu-satunya pria yang menaruh rasa padanya alasannya ada pula Nandan (Debo Andrios), sang ketua kelas, dan Kang Adi (Refal Hady), sang guru belajar khusus. Yang lalu perlahan tapi niscaya membuat hati Milea luluh terhadap Dilan ialah tekad besar lengan berkuasa yang ditunjukkan oleh Dilan untuk mendapatkan Milea. Tidak ada hadiah-hadiah mahal yang diberikan kepada sang pujaan hati melainkan sebatas lontaran kata-kata puitis dengan penyampaian yang mampu dibilang unik, mirip disisipkan pada buku teka-teki silang atau ‘dipaketkan’ bersama tukang pijat. Berbagai upaya Dilan untuk menggaet Milea ini alhasil menawarkan titik terperinci pasca Milea menerima perlakuan menyakitkan dari Beni sehingga membuat Milea memiliki ketegasan untuk lebih menentukan Dilan dan meninggalkan Beni.


Diejawantahkan oleh Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ke dalam bahasa gambar, Dilan 1990 mampu tersaji sebagai tontonan percintaan yang sejatinya cukup bagus. Generasi sosial media yang menjadi pangsa pasar utamanya, terutama penonton perempuan, bakal meleleh tiap kali sosok Dilan meluncurkan rayuan-rayuan mautnya kepada Milea, sementara mereka yang telah berusia lanjut (eh, maksud aku, di atas 25 tahun) akan tersenyum-senyum gemas sebab apa yang dialami oleh Dilan dan Milea sedikit banyak mengingatkan pada kurun remaja dimana berpacaran tampak mirip hal terindah yang mampu dilakukan. Pada dasarnya, sepanjang durasi mengalun, penonton sebatas menyaksikan upaya si panglima tempur dalam merebut hati wanita yang ditaksirnya melalui untaian kata-kata puitis namun receh dan gaya pendekatan yang agak-agak nyeleneh. Tidak lebih dari itu. Kalaupun ada konflik mirip Beni yang geram mendapati kekasihnya mendua, kehadiran Kang Adi, pertikaian antara Dilan dengan gurunya, sampai Anhar (Giulio Parengkuan) yang melecehkan Milea, hanya dipergunakan sebagai selingan semata tanpa pernah benar-benar memperoleh kesempatan untuk dikembangkan lebih lanjut. Itulah mengapa bagi saya Dilan 1990 terasa kurang menggigit sekalipun sulit disangkal bahwa film ini memang elok. Ketiadaan fluktuasi dalam jalinan pengisahan menimbulkan film sempat berada dalam tahapan melelahkan utamanya begitu menginjak pertengahan durasi. 

Yang lantas menghindarkan film ini dari terperosok ke dalam jurang lebih dalam dan tetap terasa lezat untuk dinikmati disamping pengarahan dari duo sutradara yang bisa menjaga ritme penceritaan yakni performa jajaran pemainnya. Kredit terbesar tentu sudah sepatutnya disematkan kepada Iqbaal Ramadhan beserta Vanesha Prescilla yang mampu tampil meyakinkan sebagai pasangan menggemaskan berjulukan Dilan dan Milea. Iqbaal berhasil membuktikan bahwa beliau bukanlah pilihan yang keliru dalam melakonkan sang panglima tempur. Tengok saja gayanya yang tengil sedikit urakan, gombalan-gombalan yang kerap meluncur begitu saja dari mulutnya, sorot mata tajamnya, dan interaksinya bersama Vanesha yang kadang kikuk. Penonton laki-laki dewasa akan terinspirasi, sedangkan penonton wanita akan dibuatnya berulang kali salah tingkah. Ya, salah tingkah seperti Vanesha Prescilla tiap kali berada di sisi Iqbaal. Di tangan aktris pendatang gres ini, sosok Milea terasa sangat hidup. Sikapnya yang malu-aib kucing, kepolosannya, serta auranya yang menenangkan. Dia menawarkan alasan mengapa Milea bisa diperebutkan oleh banyak laki-laki. Chemistry yang dirangkainya bersama Iqbaal berada dalam level sangat baik sehingga penonton pun mampu meyakini bahwa mereka berdua adalah muda-mudi yang tengah dimabuk cinta.

Acceptable (3/5)


Post a Comment for "Review : Dilan 1990"