Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Little Women


“Women have minds and souls, as well as hearts, ambition, and talent, as well as beauty. I'm so sick of being told that love is all a woman is fit for. But… I am so lonely.”

Novel Little Women rekaan Louisa May Alcott yang dirilis pada tahun 1868 memang mempunyai jalinan pengisahan yang sederhana. Narasinya mengetengahkan pada proses pendewasaan diri dari empat putri keluarga March di abad berlangsungnya Perang Sipil Amerika Serikat. Akan tetapi, justru kesederhanaannya inilah yang menciptakan novel tersebut memperoleh akta “klasik”, seraya merebut hati khalayak ramai lintas generasi. Terlebih lagi, jajaran karakternya terasa membumi sehingga banyak pembaca mampu teresonansi dengan lika-liku problem yang mereka hadapi, dan topik pembicaraan yang diapungkan oleh si penulis pun akan tetap relevan sampai kapanpun. Mengenai keluarga, cinta, mimpi, pengorbanan, hingga kemanusiaan. Menilik betapa langgengnya konten dari Little Women – plus seberapa universalnya cerita yang disampaikan – tak heran jikalau kemudian para sineas Hollywood terus mengekranisasinya dari masa ke kala. Total jendral ada tujuh versi telah dicipta dimana sejumlah bintang besar turut berpartisipasi di setiap versi seperti Katharine Hepburn (1933), Elizabeth Taylor (1949), hingga kombinasi Winona Ryder-Kirsten Dunst-Claire Danes di tahun 1994. Upaya terbaru untuk melestarikan warisan Alcott dengan cara memperkenalkan cerita ini ke generasi muda ditempuh oleh Greta Gerwig (Frances Ha, Lady Bird) melalui film berjudul sama persis, Little Women, yang sekali ini menggaet Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Timothee Chalamet, Laura Dern, serta Meryl Streep. Sebuah jajaran pemain ansambel yang memberi kita satu definisi dari kata “menggiurkan”.

Dalam pembiasaan termutakhir dari Little Women ini, kita kembali dipertemukan dengan empat bersaudari dari keluarga March; Meg (Emma Watson), Jo (Saoirse Ronan), Beth (Eliza Scanlen), dan Amy (Florence Pugh). Selepas perginya sang ayah ke medan tempur guna berpartisipasi dalam Perang Sipil, keempat abang adik ini tinggal di rumah bersama ibu mereka, Marmee (Laura Dern), dengan kondisi finansial serba pas-pasan. Guna menopang perekonomian keluarga, Meg pun bekerja sebagai guru bagi satu keluarga kaya sementara Jo menemani bibinya yang berlimpah harta, Aunt March (Meryl Streep). Keadaan keuangan yang terbilang cukup memprihatinkan ini nyatanya tak menghentikan Marmee untuk menebar kebahagiaan serta kebaikan kepada sesama dengan menyebarkan. Pada satu hari Natal, Marmee bahkan mengajak putri-putrinya ini untuk membawa menu yang tersuguh di meja ke rumah tetangga mereka yang miskin dan kelaparan. Aksi sosial yang dilakukan oleh keluarga March ini secara diam-diam menarik perhatian dari Laurie (Timothee Chalamet), cucu dari seorang kaya yang tinggal di seberang rumah. Demi memberikan apresiasi, Laurie beserta sang kakek pun menghadiahi mereka berupa sajian glamor yang sekaligus menjadi awal mula pertemanan antara keluarga March dengan keluarga Laurence. Hubungan dua keluarga yang semakin dekat ini turut ditandai dengan semakin mesranya Jo dan Laurie yang lantas mendorong si bocah kaya tersebut untuk menyatakan rasa. Dilingkupi kegalauan serta keraguan mengenai perasaannya, Jo menentukan menghindar yang menciptakan problem menjadi kian kompleks pada tujuh tahun berikutnya.


Pada dasarnya, tidak ada perubahan berarti dari guliran pengisahan Little Women (yang mana tidaklah dibutuhkan) kecuali pada konklusi yang tidak akan aku jabarkan demi menghormati mereka yang belum menonton, dan gaya penyampaian yang dirombak cukup signifikan. Alih-alih bertutur secara linear selaiknya bahan sumber maupun versi pembiasaan terdahulu, Mbak Gerwig memilih untuk melantunkan film yang naskahnya turut dia tulis ini memakai teknik maju mundur nan tsantik. Penonton dikondisikan untuk menyelami kehidupan para wanita keluarga March dalam dua fase berbeda, akil balig cukup akal dan dewasa. Guna menghindarkan dari kebingungan – atensi penuh tetap diperlukan di sini – maka si pembuat film bersama sang sinematografer, Yorick Le Saux, pun mengandalkan gradasi warna beserta tampilan fisik para aksara sebagai penanda waktu. Di periode lampau, warna yang ditimbulkan cenderung hangat mengikuti riuhnya keceriaan yang melingkungi para gadis remaja. Sedangkan untuk kala sekarang, warnanya memberikan kesan acuh taacuh untuk memberi penekanan kepada raibnya gegap gempita akibat dirundung ujian kehidupan. Para akil balig cukup akal ini telah bertransformasi menjadi wanita akil balig cukup akal, dan pendewasaan diri tidak pernah terasa gampang. Ada jalan terjal yang mesti ditempuh, ada kehilangan tak diinginkan yang menyapa, serta ada pula luka mendalam yang harus dipulihkan. Berkat kecakapan Gerwig dalam bercerita plus kecekatan Nick Houy selaku editor dalam menyatukan dua lini penceritaan berbeda, penonton mampu menyadari adanya jukstaposisi kehidupan para karakter inti di masa kini dan periode lampau. Bagi mereka yang tak mengetahui narasi bahan sumbernya, penyampaian semacam ini memungkinkan untuk membangkitkan keingintahuan mengenai apa yang akan terjadi dan apa yang bekerjsama telah terjadi.

Beruntunglah, Little Women disokong pula oleh performa bernyawa dari setiap pelakonnya. Sebagai pemain di garda terdepan, Saoirse Ronan bersinergi dengan aksara Jo yang ambisius, pekerja keras, temperamen, namun menyimpan afeksi tinggi kepada keluarganya. Kita bisa bersimpati penuh kepada sosoknya meski ada kalanya muncul rasa sebal era dirinya kesulitan untuk mengontrol amarahnya yang kerap meletup-letup. Pun begitu, kemarahannya inilah yang memunculkan interaksi berharga dengan Marmee dimana aku disentil sekaligus diingatkan kembali mengenai kesabaran. Bahwa menjadi eksklusif sabar bukanlah kasus gampang yang bisa diterapkan seketika, melainkan membutuhkan proses panjang dan tekad tangguh untuk mewujudkannya. Seperti Emma Watson dan Eliza Scanlen sebagai dua saudari yang tampak paling bijak, Laura Dern pun bermain hangat sebagai seorang ibu yang tidak pernah lelah melontarkan wejangan-wejangan menyejukkan hati kepada putrinya dan penonton. Dari abjad yang dimainkannya lah kita mendapati serangkaian pesan untuk didengar, dihayati, lalu diimplementasikan. Bukan hanya soal kesabaran, Marmee turut mengajak kita untuk memperbincangkan wacana keluarga, cinta, serta kemanusiaan. Lewat obrolan-dialog ini pulalah penonton diingatkan mengenai satu faktor yang membesarkan Little Women sehingga membuatnya layak dikenang hingga kapanpun. Alih-alih menyesaki kisah dengan ratapan kenelangsaan – mengingat barisan karakternya dikisahkan tengah jatuh miskin – Alcott menghamparkan narasi penuh optimisme dan kebaikan. Memang betul bahwa beberapa aksara sempat pula bermuram durja. Tapi bukankah itu bagian dari kehidupan? Itulah yang menimbulkan hidup terasa berwarna, itu pula yang menjadi kisah ini terasa dekat nan aktual. Mereka bergembira, mereka juga bersedih selaiknya manusia kebanyakan.


Little Women tak saja membuat kita meneteskan air mata, tapi juga membuat kita tertawa, tersenyum, sampai sebal bukan kepalang. Perkara bikin sebal, itu disebabkan oleh akting Timothee Chalamet sebagai Laurie yang memesona, Meryl Streep sebagai bibi yang sinis, dan Florence Pugh sebagai Amy si bungsu yang manja. Karakter Laurie sempat membuat hamba merasa jengkel selepas dicampakkan oleh Jo. Dia berkembang menjadi menjadi langsung tak bertanggung jawab yang seketika memunculkan pedoman, “hmmm… jangan-jangan keputusan Jo sejatinya tepat. Dia melihat Laurie sebagai lelaki yang hanya mencari kesenangan semata tanpa pernah berkeinginan untuk bekerja keras.” Namun tak mampu disangkal, pesonanya sungguh kuat sampai-sampai tak ada keraguan sedikitpun jikalau dia mampu menciptakan para wanita klepek-klepek utamanya Jo dan Amy. Karakter Amy yang dimainkan dengan sangat mengesankan oleh Florence Pugh – beliau mencuri perhatian di setiap kemunculannya! – bisa dibilang menyimpan kompleksitas senada mirip halnya Jo. Pada mulanya, ia yakni dewasa yang manja, keras kepala, serta tidak tahu diri. Karakteristik yang acapkali mengiringi anak bungsu. Ketegaannya memperabukan manuskrip novel sang kakak terperinci menjadi satu momen yang membuat kita ingin mengutuknya keras-keras. Belum lagi, dia pun tampak ingin merebut perhatian Laurie yang seketika menempatkannya sebagai villain utama dalam film tanpa karakter antagonis ini. Namun seiring terungkapnya permasalahan dan seiring bertambahnya usia, penonton bisa melihat sisi lain dari Amy yang dewasa nan bijaksana. Tanpa disangka-sangka, kita mendengarnya berpidato panjang lebar mengkritisi ijab kabul yang dinilainya menghamba pada patriarki. Tanpa disangka-sangka pula, kita melihatnya memberi satu saran besar untuk periode depan Jo. Dari sini kita bisa memahami bahwa Amy merupakan huruf yang dibuat secara manusiawi mirip halnya karakter-aksara lain dalam Little Women, dan itu memberi kita satu alasan lain mengapa dongeng ini (plus film ini) memang layak untuk dicintai. Sebuah film yang sangat indah dan perlu untuk ditonton.

Outstanding (4,5/5)


Post a Comment for "Review : Little Women"