Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Ada Cinta Di Sma


Praktis untuk menganggap sebelah mata Ada Cinta di Sekolah Menengan Atas isyarat Patrick Effendy. Menilik sejarah ketidakberhasilan Patrick Effendy, manajer CJR, dalam mengarahkan bawah umur asuhnya di film debutannya bertajuk CJR the Movie yang tak ubahnya film jalan-jalan banal adalah salah satu alasan. Alasan lain, menjumpai film remaja berbasis percintaan buatan sineas tanah air yang nyaman buat ditonton sudah teramat sangat sulit. Jika bukan epigon dari Ada Apa Dengan Cinta? yang simpul penceritaannya sengaja dirumit-rumitkan padahal pokok konfliknya sederhana, ya berusaha terlalu keras menjadi romantis lewat untaian obrolan-obrolan yang harus banget bisa dikutip. Boleh dikata, skeptisisme atas film romansa muda mudi sudah sama tingginya dengan skeptisisme pada film horor dalam negeri. Itulah mengapa Ada Cinta di Sekolah Menengan Atas yang dijual sebagai film perpisahan CJR kepada para Comate (sebutan untuk jajaran penggemar beratnya) tidak secara instan mencuri perhatian begitu dilepas, kecuali bagi basis penggemarnya. Dilingkungi perilaku suudzon bahwa ini hanyalah film dewasa menjemukan nan menjengkelkan lainnya, Ada Cinta di Sekolah Menengan Atas nyatanya justru membawa kejutan besar bagi mereka yang telah meremehkannya. Manis, menggemaskan, dan menghibur, ini adalah film yang akan menciptakan para penontonnya tersenyam-senyum bahagia sepanjang menontonnya. 

Guliran penceritaan Ada Cinta di SMA sejatinya sederhana saja. Fokus ada pada Iqbal (Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan), dewasa usia belasan dengan pembawaan easy going dan cenderung jahil, yang kerap diremehkan oleh keluarga besar dan rekan-rekan sebayanya karena tak pernah mencetak prestasi di bidang tertentu. Lelah dicibir sekaligus demi mengambarkan bahwa beliau mempunyai kemampuan, Iqbal mencalonkan diri sebagai ketua OSIS periode terbaru dibantu oleh teman baiknya, Aldi (Alvaro Maldini), sebagai tim sukses. Mempunyai jaringan pertemanan yang luas, seharusnya gampang bagi Iqbal buat menjaring banyak bunyi. Hanya saja, beliau harus bersaing melawan siswi acuan, Ayla (Caitlin Halderman), yang mempunyai visi misi jauh lebih mumpuni serta jelas-terperinci berambisi meraih gelar ketua OSIS guna mempercantik aplikasi beasiswa. Ditengah-tengah pertarungan keduanya – plus kedua tim sukses, Aldi dan Tara (Gege Elisa) – memperebutkan tahta di OSIS yang berlangsung sengit, benih-benih asmara perlahan tapi pasti mulai tumbuh diantara Iqbal dan Ayla seiring meningkatnya intensitas perjumpaan mereka. Ayla sendiri menemukan kenyamanan yang tidak bisa dijumpainya di rumah tatkala berkumpul bersama keluarga besar Iqbal yang guyub. 

Usai membaca pecahan kisah Ada Cinta di Sekolah Menengan Atas, komentar paling jamak dijumpai pastinya tidak jauh-jauh dari kisaran “gampang ditebak ah”, “klise ya” hingga “FTV banget deh”. Apakah ini berarti jelek? Tergantung dari perspektif mana kau memandangnya. Duo peracik skenario, Haqi Achmad dan Patrick Effendy, jelas tidak berupaya membentuk jalinan dongeng rumit penuh kelak-kelok – atau bahasa kerennya, dipenuhi twist – mengingat filmnya sendiri menarget sampaumur usia belasan yang membutuhkan hiburan pelepas penat sebagai pangsa pasar utama. Segala bentuk keklisean disini pun sangat mampu diterima sebab hey, bukankah abad-era SMA memang dipenuhi masalah-masalah yang oleh orang dewasa disebut klise dan menggelikan? Lalu soal FTV... sejatinya tak pernah memahami makna dari komentar satu ini mengingat secara teknis penggarapan, Ada Cinta di Sekolah Menengan Atas terang beberapa tingkat diatas mayoritas FTV di stasiun swasta dikala ini yang digarap seadanya. Ya, tidak ada yang salah dengan keputusan Ada Cinta di SMA mengambil contoh penceritaan mudah dikunyah. Setidaknya, film ini sadar penuh bahwa dirinya merupakan produk hiburan untuk dikonsumsi para ABG. Tidak mencoba sok serius, tidak pula sok romantis. Kesederhanaan yakni kunci yang justru menerbangkan film ini ke level terhormat. 

Ada Cinta di SMA yaitu film yang simple, betul. Tapi ini bukan film yang remeh temeh mengingat penggarapannya matang. Tengok saja dari skrip yang mengakomodir tumbuh berkembangnya abjad dan konflik dalam film. Kita memperoleh kesempatan melongok lebih jauh kehidupan langsung Iqbal – dalam hal ini keluarga serunya – yang mendasarinya mengambil keputusan menggelikan (bagi Aldi, mulanya) dengan mencalonkan diri sebagai ketua OSIS. Kita mendapatkan pula citra cukup dalam atas sosok Ayla sehingga kita mampu mafhum mengapa ia terbentuk sebagai langsung acuh taacuh pula kaku. Saat ia mencair begitu dekat dengan Iqbal, prosesnya pun masuk akal dan tidak ujug-ujug. Selain mereka berdua, penonton turut disuguhi masalah dalam keluarga Kiki (Teuku Ryzki), ketua OSIS abad sebelumnya, dimana sang ayah (Ikang Fawzi) menentang keras mimpi Kiki menjadi musisi lantaran kegagalannya di masa lampau. Keberadaan serentetan konflik ini bukan saja berfungsi memperkaya karakteristik dari tokoh-tokoh utamanya melainkan dimaksudkan pula menghantarkan pesan-pesan susila secara lembut kepada penonton terkait memberi kepercayaan alih-alih meremehkan, perlunya komunikasi dua arah yang hangat dalam keluarga, hingga memaknai kegagalan. 

Mudahnya penyelesaian masalah di penghujung film memang sedikit disesalkan, namun itu tidak banyak besar lengan berkuasa berkat deretan kesenangan-kesenangan sebelumnya yang diperoleh dari skrip manis mengikat dengan penyampaian lancar, tembang-tembang easy listening pengisi momen musikal yang akan membuatmu ikut menghentak-hentakkan kaki, serta akting elok dari barisan pemainnya. Ada Cinta di Sekolah Menengan Atas merupakan saksi atas lahirnya “the next big thing” dalam perfilman Indonesia. Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan (singkatnya, Iqbaal CJR) tampil lepas, santai, serta memberi pancaran karisma berpengaruh. Terlihat begitu menikmati abad membawakan kiprahnya, kemunculannya senantiasa menginjeksi energi faktual yang sedikit banyak membantu meningkatkan kadar fun bagi film. Interaksi Iqbaal CJR bersama pemain lain khususnya Caitlin Halderman yang mesra nan kompak mendefinisikan kata chemistry. Momen-momen kebersamaan mereka seringkali memantik reaksi gemas-gemas semacam “cieee...” serta “awww....” dari penonton entah Comate maupun bukan. Dan bukan hanya mereka, Ada Cinta di SMA pun ajang unjuk kebolehan bagi Gege Elisa, Agatha Chelsea (Bella, perempuan yang ditaksir Kiki), serta Tora Sudiro yang kemampuan jitu ngelabanya memperlihatkan kehebohan sempurna guna bagi keluarga Iqbal.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Post a Comment for "Review : Ada Cinta Di Sma"