Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : It Chapter Two


“Things we wish we could leave behind. Whispers we wish we could silence. Nightmares we most want to wake up from. Memories we wish we could change. Secrets we feel like we have to keep, are the hardest to walk away from.”

Kalian boleh saja tidak baiklah, tapi bagi aku, It (2017) bukan saja berdiri tegak di jajaran “penyesuaian terbaik dari prosa rekaan Stephen King” tetapi juga “film horor terbaik sepanjang periode”. Ya, jauh melampaui versi miniserinya yang beruntung mempunyai Tim Curry yang tampil menyeramkan dibalik riasan tebal si badut pencabut nyawa. Ada banyak hal yang berhasil dibawah penanganan Andy Muschietti (Mama) dari jajaran pelakon yang solid dimana para pemain cilik membentuk chemistry ciamik, rentetan teror dari Pennywise sialan yang membangkitkan bulu kuduk, hingga penceritaan yang menyisipkan rasa hangat sehingga memudahkan bagi penonton untuk menyematkan simpati kepada barisan karakter. Bahkan jika kita berkenan untuk menyelaminya lebih jauh, It bukan sekadar hidangan horor yang menjual sentakan-sentakan mengejutkan karena ada pembicaraan cukup mendalam terkait ketakutan kurun kecil entah itu berupa kekerasan, perundungan, maupun kesepian. Sebuah kombinasi yang sudah cukup jarang ditemukan di tontonan seram cukup umur ini, bukan? Itulah mengapa aku berhasil dibuat jatuh hati olehnya dan tak kuasa menahan keinginan untuk menyimak paruh keduanya, It Chapter Two, yang menempatkan fokus pengisahannya pada “The Losers Club” di kurun dewasa. Menilik standar tinggi yang telah ditetapkan oleh Muschietti di babak pertama, maka terperinci ekspektasi yang menyertai turut mengangkasa terlebih barisan pemain yang direkrut pun tidak main-main. Sekarang yang menjadi pertanyaan yakni, apakah “formula kemenangan” yang diterapkan sang predesesor masih mampu bekerja saat dipergunakan oleh sang sekuel?

Mengambil latar penceritaan di tahun 2016 atau 27 tahun selepas kejadian di film pertama, It Chapter Two mengenalkan kita kembali dengan personil “The Losers Club” yang sekarang telah tumbuh cukup umur, mencoba melanjutkan hidup dengan meninggalkan Derry, dan tak lagi saling terhubung. Satu-satunya personil yang masih betah bertahan di kampung halaman ialah Mike (Isaiah Mustafa) yang bekerja sebagai pustakawan. Usai menyaksikan adanya suatu pembunuhan dimana balon-balon merah berterbangan, Mike seketika menyadari bahwa si badut iblis yang dulu mereka kalahkan, Pennywise (Bill Skarsgard), belum benar-benar mati dan kini telah berdiri lagi untuk menebar teror. Teringat pada kesepakatan di abad kecil yang menyatakan bahwa “The Losers Club” akan bersatu dalam mengenyahkan Pennywise, Mike pun menghubungi rekan-rekannya semasa bocah yang masing-masing memberikan respon yang jauh dari kata antusias begitu mengetahui kabar ini. Meski segan untuk kembali ke Derry, Bill (James McAvoy), Beverly (Jessica Chastain), Richie (Bill Hader), Ben (Jay Ryan), serta Eddie (James Ransone), pada alhasil menyanggupi usul Mike. Satu-satunya personil yang menolak permintaan “reuni” adalah Stanley (Andy Bean) yang lantas lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya. Dan memang, kembali ke Derry bukanlah suatu keputusan gampang bagi kelima sahabat ini. Disamping harus melawan Pennywise yang bengis, mereka juga harus menghadapi stress berat era kecil yang selama ini telah mereka coba tekan, lupakan, maupun enyahkan. Trauma yang justru lebih mengerikan ketimbang si badut di mata sebagian personil. 


Merentangkan durasi hingga sepanjang 169 menit, mulanya aku dibuat bertanya-tanya, apa yang bakal dicelotehkan oleh It Chapter Two sampai-sampai merasa perlu untuk meminta waktu luang penonton selama tiga jam lamanya? Untuk sesaat, aku sempat skeptis hingga kemudian teringat pada fakta bahwa materi sumbernya memiliki tebal lebih dari 1000 halaman. Ada banyak hal yang diutarakan oleh King, dan itu kentara dalam film. Jika paruh pertamanya menekankan pada ketakutan abad kecil, It Chapter Two mengalihkan topiknya ke problem stress berat, duka, serta depresi akhir pengalaman masa lampau. Setiap personil “The Losers Club” menyimpan pergulatan batinnya masing-masing; Bill yang belum mampu memaafkan dirinya sendiri atas kematian sang adik, Beverly yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Richie yang merahasiakan orientasi seksualnya, Ben yang tak kuasa memberikan rasa berwujud cinta pada seseorang, dan Eddie yang mengidap gangguan kecemasan serius. Secara silih berganti, Muschietti memaparkan wacana upaya para aksara ini dalam menghadapi persoalan mereka setibanya di Derry. Sepintas memang terdengar menjemukan dan berlarut-larut, tapi percayalah, tidak sama sekali. Saya saja merasa film ini begitu cepat berlalu. Malahan metode penceritaan semacam ini tergolong efektif karena memungkinkan penonton untuk lebih mengenal setiap huruf sehingga memunculkan afeksi terhadap mereka. Ditunjang oleh performa sangat baik dari jajaran pemain – berikan tepuk tangan meriah untuk Jessica Chastain yang tangguh dan Bill Hader yang lucu sekali – maka tak sulit bagi kita untuk memperlihatkan perlindungan kepada “The Losers Club” dalam berdamai dengan luka sekaligus menghempaskan Pennywise dari muka bumi.

Berhubung tema utama dari It Chapter Two bukan lagi berkutat pada “ketakutan” melainkan telah bergeser menjadi “menghadapi ketakutan”, tentu tak lagi mengherankan tatkala elemen horor di jilid ini mengalami penurunan dari jilid sebelumnya. Tentu Bill Skarsgard masih tampil mengerikan sebagai Pennywise, khususnya pada kemunculan awal yang mengapungkan isu homofobia dan adegan di bawah bangku penonton, tapi keberadaannya tak semengancam dalam It. Oleh si pembuat film, It Chapter Two divisualisasikan cenderung ibarat tontonan fantasi petualangan ketimbang horor… dan ini bukan sesuatu yang jelek, sekalipun potensi kekecewaan sukar dihindari dari mereka yang mendamba rentetan adegan angker di sepanjang durasi. Pun demikian, apabila kamu bersedia untuk membuka diri pada pendekatan sedikit berbeda yang diaplikasikan Muschietti, saya cukup meyakini kau akan mendapati sensasi menyenangkan era menyaksikan It Chapter Two yang laju pengisahannya bergegas ini. Ada keseruan tatkala mengikuti taktik para huruf inti untuk melumpuhkan sang villain, ada banyak pula canda tawa yang menyertai khususnya setiap kali Richie membuka lisan atau bertengkar kecil-kecilan dengan Eddie. Para pelakon cukup umur betul-betul membina chemistry semeyakinkan para pemain cilik sehingga penonton mampu meyakini bahwa mereka ialah versi tumbuh kembang dari huruf di film pertama. Saking apiknya ikatan kimia diantara mereka, saya sampai tak bisa membendung air mata ketika film menghadirkan satu dua momen emosional di penghujung durasi. Saya sudah mengantisipasi akan berteriak, akan bersemangat, dan akan tertawa dikala menonton It Chapter Two. Tapi saya sama sekali tidak mengira akan dibikin mbrebes mili ketika menyaksikannya. What a surprise!

Trivia : Sang pengarang novel, Stephen King, turut tampil sebagai cameo di sini. Ada yang mampu menebak ia menjadi siapa?

Outstanding (4/5) 


Post a Comment for "Review : It Chapter Two"