Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Warkop Dki Reborn (2019)


“Ini kesempatan kita. Kita harus berjuang mirip… Perang Puputan!”

Upaya Falcon Pictures untuk memberi penghormatan kepada grup lawak legendaris, Warkop DKI (Dono Kasino Indro), dalam wujud film lawakan bertajuk Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (2016-2017) menuai respon yang terbilang divisive dari publik. Banyak yang dibuat terhibur olehnya, tapi tak sedikit pula yang mengecamnya. Dibalik segala pro kontra yang menyertainya, pihak rumah produksi sendiri tersenyum penuh kegembiraan lantaran film dua bab ini turut andil dalam pembentukan sejarah: film Indonesia paling banyak dipirsa sepanjang kala. Bahkan, kesuksesan secara finansial ini mendorong lahirnya sebentuk tren baru dalam perfilman tanah air untuk “menghidupkan kembali” para legenda sinema. Sungguh sebuah kemenangan yang elok bagi Falcon Pictures, bukan? Menilik betapa antusiasnya respon khalayak terhadap film aba-aba Anggy Umbara tersebut, tentu masuk akal kalau lalu mereka memberikan lampu hijau bagi pembuatan film kelanjutannya atau dengan kata lain, jilid ketiga. Dalam usahanya mematuhi visi misi awal kala memutuskan untuk menggarap rangkaian seri Warkop DKI Reborn yaitu tidak menggantikan melainkan melestarikan, maka perombakan besar-besaran dalam jajaran kru beserta pemain pun dilangsungkan. Tak ada lagi trio Abimana Aryasatya-Vino G Bastian-Tora Sudiro, tak ada pula Anggy. Sebagai gantinya, Rako Prijanto (Teman Tapi Menikah, Asal Kau Bahagia) direkrut sebagai sutradara sementara trio Aliando Syarief-Adipati Dolken-Randy Danistha mengomandoi departemen akting. Yang lalu menjadi pertanyaan yaitu, apakah keputusan untuk melakukan reshuffle ini akan memberi efek konkret atau justru negatif kepada franchise?

Dalam jilid terbaru dari Warkop DKI Reborn – tanpa suplemen subjudul maupun bubuhan angka – trio Dono (Aliando Syarief), Kasino (Adipati Dolken), dan Indro (Randy Danistha) tidak lagi berprofesi sebagai petugas keamanan dalam organisasi CHIPS. Kini, mereka ialah penyiar radio yang jenis stasiun maupun acara yang mereka bawakan tidak pernah dijelaskan secara spesifik. Meski profesi yang mereka jalani tidak lagi bersinggungan dengan misi penegakan aturan, ketiganya tetap saja terseret dalam satu perkara kriminal pelik tatkala Komandan Cok (Indro Warkop) merekrut mereka menjadi biro polisi belakang layar. Tugas utama yang mesti trio ini pecahkan ialah pencucian uang dalam dunia perfilman Indonesia. Guna menilik masalah tersebut hingga tuntas, Dono, Kasino, beserta Indro pun dipersiapkan sebagai pemain film. Mereka berusaha untuk terlibat dalam proyek film yang dipersiapkan oleh rumah produksi milik Amir Muka (Ganindra Bimo) yang konon disinyalir terlibat dalam masalah money laundry. Setelah melewati perjalanan cukup berliku sebagai figuran, mereka lantas memperoleh tawaran untuk menjadi pemain utama bersanding dengan bintang gres yang sedang naik daun, Inka (Salshabilla Adriani). Untuk sesaat, trio ini merasa bahwa mereka sudah semakin erat dengan bukti-bukti yang dapat menjebloskan Amir ke penjara. Namun saat mereka lengah dan meremehkan kemampuan Amir, persoalan lebih besar pun menghadang. Mereka mendadak terbangun di Maroko, di tengah gersangnya gurun pasir. Dalam upaya mencari jalan pulang, grup Warkop DKI berjumpa dengan warga setempat berjulukan Aisyah (Aurora Ribero) yang meminta bantuan mereka untuk menyelamatkan kampungnya yang tengah terancam.


Dibandingkan duo jilid pendahulunya, Warkop DKI Reborn sejatinya punya bahan penceritaan yang lebih menggigit. Menyelami sisi gelap dari dunia perfilman tanah air dimana perkara pembersihan uang memang jamak terjadi. Menariknya lagi, si pembuat film turut mendayagunakan tumpuan dari film-film terkenal guna memancing tawa riuh penonton. Momen dimana Warkop DKI Reborn melaksanakan parodi untuk Pengabdi Setan, Bumi Manusia, hingga menjulidi Ayat-Ayat Cinta 2 adalah salah satu bagian terbaik yang dipunyai oleh jilid ini. Saya tergelak-gelak, begitu juga dengan penonton lain. Selama paruh awal, aku masih meyakini bahwa Rako mampu menciptakan kegilaan yang sama dahsyatnya dengan versi Anggy yang sebetulnya aku sukai. Lebih-lebih, performa jajaran pemain utamanya berada di kelas yang sama dengan para pendahulu. Aliando yang sekalipun terkadang tampak kesulitan mengucap dialog karena mengenakan gigi palsu, merupakan aset paling berharga yang dipunyai film. Dia bermetamorfosis layaknya mendiang Dono periode bertingkah maupun abad berujar sampai-hingga penonton di sebelah saya nyeletuk, “eh itu betulan Aliando ya? Bisa beda gitu. Beneran bikin pangling.” Randy Danistha yang lebih ibarat Indro ketimbang Tora Sudiro tampil aman dan nyaman, sementara Adipati Dolken yang belum sepenuhnya melepas gambaran bad boy yang disandangnya membutuhkan waktu cukup lama untuk mampu benar-benar melebur dengan aksara Kasino. Titik balik dari lakonannya ialah ketika film menetapkan untuk meninggalkan Jakarta, kemudian melempar jauh para aksara menuju Maroko demi memberi kesan “ini film mahal lho”.

Disamping akting apik dari trio pemain utama, sayangnya nyaris tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Warkop DKI Reborn. Memulai langkahnya secara meyakinkan, film perlahan tapi pasti mulai kehilangan daya pikatnya tatkala rentetan humor absurd yang dilontarkannya berulang kali meleset dari sasaran. Memang sih masih ada yang lucu, seperti parodi yang telah saya sebut di atas dan penggunaan Bahasa Arab yang nyeleneh. Namun mengingat film berdurasi 100 menit lebih sedikit ini menjejakkan kaki di genre komedi – plus, aksara utamanya yaitu legenda humor dalam sinema Indonesia – maka tentu saja dua-tiga momen kocak tidaklah cukup. Penonton butuh lebih. Keputusan untuk menerapkan sound effect demi menciptakan suara-bunyian lucu serta lelucon berkonotasi sensual seperti film-film Warkop DKI di abad Soraya Intercine Films pun hanya memperburuk keadaan. Sedihnya lagi, pihak pembuat film melaksanakan pengulangan pada humor-humor jenis tersebut sampai pada titik saya balasannya berujar, “hamba lelah dengan semua ini.” Disaat barisan lawakan nyaris tak ada yang bekerja, jalinan pengisahannya turut urung memenuhi potensinya. Intrik tentang pencucian uang diabaikan begitu saja di pertengahan durasi demi membawa film ke arah lebih bombatis yang kemunculannya justru menciptakan dahi mengernyit: pertempuran di Maroko. Saya paham, plot ini dimaksudkan biar narasi tampak kompleks sehingga film mempunyai alasan masuk akal untuk mengajak para pemain berdendang dengan lirik berbunyi, “ahaaayyy… filmnya dibagi dua, filmnya dibagi duaaaa…”, di penghujung durasi. Akan tetapi, kenapa sih harus dibagi menjadi dua bab? Kenapa tidak menciptakan jilid gres dengan pengisahan sama sekali gres? Sebagai penonton, jujur, saya merasa kurang sreg. Terlebih lagi, narasi yang disodorkan oleh Rako bersama Anggoro Saronto tidak cukup membuat hati tergerak untuk menyaksikan kelanjutannya. Yang aku inginkan hanyalah penyelesaian, bukan perasaan digantung seperti ini. Kzl.

Acceptable (2,5/5) 


Post a Comment for "Review : Warkop Dki Reborn (2019)"