Review : Fantastic Beasts: The Crimes Of Grindelwald
“Do you know why I admire you, Newt? You do not seek power. You simply ask, "Is a thing... right?"
Bagi Potterheads, keputusan Warner Bros. dalam memfilmkan buku Fantastic Beasts and Where to Find Them terang patut dirayakan dengan penuh sukacita. Betapa tidak, mereka mengekspansi Wizarding World – sebutan untuk semesta film yang bersentuhan dengan franchise Harry Potter – sehingga para penggemar berkesempatan untuk melongok lebih jauh world building rekaan J.K. Rowling di luar tembok Hogwarts. Kita disuguhi narasi seputar kehidupan penyihir di kala lampau secara umum, sementara secara spesifik kita bisa melihat kehidupan penyihir cukup umur yang telah memasuki dunia kerja (atau dalam hal ini, Kementrian Sihir). Saya akui, ini terdengar menggiurkan. Jilid pembuka Fantastic Beasts pun mengindikasikan bahwa franchise ini berada di jalur yang tepat dengan perkenalannya terhadap dunia pra-Harry Potter yang tetap menguarkan nuansa magis. Membangkitkan segala kenangan indah terhadap tujuh seri petualangan si bocah penyihir. Tapi keputusan para petinggi untuk mengkreasi lima seri, dari planning awal hanya tiga, mau tidak mau memunculkan kekhawatiran bahwa film akan memiliki guliran pengisahan berlarut-larut. Pengalaman kurang menyenangkan dari trilogi The Hobbit masih terpatri besar lengan berkuasa di ingatan dan sosok Newt Scamander (Eddie Redmayne) sebagai aksara utama pun tak semenggigit Harry – bagi saya dia agak lempeng. Itulah kenapa wajar kalau ada yang kemudian bertanya, “apa konflik besar yang bisa melingkungi Newt sehingga pihak studio dan Bu Rowling merasa layak untuk menceritakannya ke dalam lima instalmen?”
Dalam jilid kedua Fantastic Beasts yang mengaplikasikan subjudul The Crimes of Grindelwald, J.K. Rowling yang kembali ditugasi menulis naskah – David Yates pun kembali sebagai sutradara (duh!) – menghadirkan setumpuk konflik sebagai upayanya untuk menjawab pertanyaan penuh keraguan tersebut. Dia seolah berkata, “ada banyak yang bisa saya ceritakan untuk kalian.” Berlatar tiga bulan selepas adegan pamungkas film pertama yang menyisakan kekacauan besar di New York, Newt Scamander mendapat larangan keras untuk bepergian ke luar negeri. Mengingat ia ialah seorang magizoologist yang salah satu tugasnya ialah meneliti fauna ajaib di aneka macam penjuru dunia, larangan ini jelas menyulitkan pekerjaannya. Dia pun mengajukan banding kepada Kementrian Sihir yang hanya bersedia memenuhi permintaannya apabila Newt bersedia bekerja untuk mereka mendampingi sang abang, Theseus (Callum Turner), dalam memburu Credence Barebone (Ezra Miller) yang ternyata masih hidup. Newt menampik proposal tersebut – yang secara otomatis menggugurkan permintaannya – tapi dia tak mampu mengelak dari tawaran Albus Dumbledore (Jude Law) yang turut menitahkannya untuk menemukan Credence di Paris. Salah satu alasannya adalah alasannya ia berharap mampu berekonsiliasi dengan wanita yang ditaksirnya, Tina Goldstein (Katherine Waterston), yang ternyata sedang berada di Paris guna menjalani misi yang sama. Ditemani oleh seorang No-Maj/muggle yang sekarang menjadi sahabat baiknya, Jacob Kowalski (Dan Fogler), Newt pun mesti berpacu dengan waktu dalam perburuan ini lantaran seorang penyihir pemikiran gelap, Gellert Grindelwald (Johnny Depp), tengah menyiapkan rencana besar nan keji untuk Credence beserta para penyihir ‘tersesat’ lainnya di waktu bersamaan.
Jika instalmen pendahulu mampu ditonton oleh penonton awam tanpa dibekali pengetahuan komprehensif soal dunia ciptaannya Bu Rowling, The Crimes of Grindelwald terasa lebih eksklusif. Jangankan mereka yang belum pernah mengunjungi Wizarding World, mereka yang sudah ‘lulus’ dari Hogwarts dengan nilai setara Ron atau Harry pun akan cukup dibentuk pusing oleh guliran pengisahan yang ditawarkan. Film seolah menuntutmu untuk memiliki daya ingat setajam Hermione lantaran serentetan peristiwa dan aksara yang bersliweran di sini mempunyai keterkaitan dekat dengan jilid-jilid lain (termasuk versi novel). Itulah mengapa, The Crimes of Grindelwald bukanlah sebuah film yang bisa bangun sendiri sebab dia difungsikan sebagai penjembatan antara seri pertama dengan seri-seri berikutnya. Kamu perlu menonton setidaknya Fantastic Beasts and Where to Find Them guna mengetahui akar permasalahan, kamu pun perlu menonton seri selanjutnya untuk memperoleh tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan menggantung di sini. Apakah ini berarti membuatnya terlihat sebagai film yang buruk? Bagi aku sih, tidak. Kesalahan terbesar jilid ini bukan disebabkan oleh narasinya yang menganakemaskan Potterheads sejati, melainkan karena Bu Rowling memperlakukan naskah film selaiknya naskah novel dengan mempergunakan aneka macam subplot guna menggulirkan roda penceritaan. Ini mungkin masih akan berhasil di atas kertas, tapi saat divisualisasikan ke dalam bahasa gambar… tunggu dulu. Sejujurnya, aku mengalami kebingungan dan kebosanan dalam menonton The Crimes of Grindelwald sebab ada berbagai cabang dongeng untuk diikuti – belum lagi lajunya pun lambat di pertengahan film.
Bukan sebatas perburuan Credence dan rencana keji Grindelwald, film turut menyodorkan beberapa subplot lain mencakup upaya Credence dalam menguak masa lalunya yang mempertemukan beliau dengan Nagini (Claudia Kim), pertengkaran Jacob dengan Queenie Goldstein (Alison Sudol) dipicu oleh keraguan Jacob untuk menikahinya sebab ketakutannya dalam melanggar aturan “menikah beda kaum”, sampai dongeng cinta segirumit antara Newt, Tina, serta Leta Lestrange (Zoe Kravitz) yang memunculkan obrolan khas opera sabun alias sinetron seperti “dengerin dulu penjelasanku” ketika si cewek pujaan hati ngambek-ngambek manjya. Meriah sekali, ya? Saking meriahnya, film sampai terlihat kebingungan dalam meletakkan fokus sehingga satu pertanyaan pun tak terelakkan: apa sih bekerjsama yang ingin diceritakan di sini? Meski memakai perhiasan Fantastic Beasts, kenyataannya fauna asing hanya muncul sebagai penghibur saat film membutuhkan aksi atau komedi. Meski menempatkan Newt Scamander sebagai karakter utama, dia nyaris tak melakukan suatu tindakan yang signifikan di sini (bahkan jatah tampilnya pun mangalami pengurangan cukup banyak). Meski nama Grindelwald muncul pada judul, dia pun tak banyak diberi kesempatan untuk menjabarkan motivasi berikut aliran-pemikirannya secara terperinci – apalagi menunjukkan kejahatan mirip diutarakan oleh judul. Kita hanya mengetahuinya dari dialog yang tak cukup kuat dalam menunjukkan bahwa ia ialah sosok penyihir bengis yang semestinya ditakuti. Tak ada kompleksitas dalam karakterisasinya, Grindelwald tak ubahnya penjahat satu dimensi di banyak film yang tujuan utamanya semata-mata “ingin menguasai dunia”.
Yang lalu membantu menyelamatkan The Crimes of Grindelwald dari keterpurukan balasan naskah yang Ya-Tuhan-gini-amat-ceritanya (dan saya masih belum membahas soal twist aneh yang menawarkan obsesi terselubung Bu Rowling terhadap soap opera melibatkan kisah “saudara yang tertukar”) adalah performa pemain. Ditengah keterbatas penulisan karakter, para pelakon masih mampu memberikan akting yang lumayan khususnya Eddie Redmayne dengan segala kecanggungannya, Johnny Depp (jadinya!) dapat melepaskan bayang-bayang Jack Sparrow dalam peran antagonis cukup menarik, Zoe Kravitz menunjukkan guratan penyesalan dibalik air muka muramnya, beserta Dan Fogler yang memberi banyak asupan tawa dalam setiap celetukannya sekalipun karakternya tak berkontribusi banyak pada penceritaan kecuali dipergunakan sebagai comic relief. Yang juga layak diapresiasi ialah tampilan visualnya yang masih sanggup menguarkan nuansa magis lebih-lebih dikala musik tema Harry Potter turut berkumandang mengiringi beberapa adegan. Secara personal, aku menyukai penggambaran adegan pembukanya yang mempunyai excitement tinggi, kunjungan Newt ke “ruang kerjanya”, kunjungan ke Kementrian Sihir, dan tentu saja dikala para aksara mengunjungi Hogwarts untuk menemui Dumbledore yang membuat aku bernostalgia. Visual yang ditonjolkan dalam rangkaian adegan ini menawarkan setitik alasan sederhana mengapa franchise dunia sihir ini bisa banyak dicintai dan dikagumi oleh banyak orang. Visual yang mewarnai The Crimes of Grindelwald ini pula yang menciptakan aku mampu bertahan menyaksikan sinetron versi Bu Rowling. Saat film berakhir, aku hanya berdoa biar Bu Rowling segera kembali ke jalan yang benar sehingga seri-seri Fantastic Beasts berikutnya bisa menunjukan bahwa seri ini memang layak diceritakan dalam lima instalmen. Jika seri berikutnya tidak ada bedanya dengan The Crimes of Grindelwald, mungkin sudah saatnya saya menetapkan untuk murtad dari Potterhead.
Acceptable (2,5/5)
Post a Comment for "Review : Fantastic Beasts: The Crimes Of Grindelwald"