Review : Ralph Breaks The Internet
“All friendships change. But the good one, they get stronger as they change.”
Rasa-rasanya tidak banyak yang menduga bahwa Wreck-It-Ralph (2012) akan menjadi tontonan keluarga yang sangat menyenangkan buat disimak. Penonton diajak menjelajah dunia arcade game yang sudah semakin ditinggalkan, lalu disodori visual berwarna-warni, rangkaian cameo dari permainan populer di kala lampau, serta guliran pengisahan yang penuh banyolan segar sekaligus bisa menonjok hati-hati sensitif. Kesuksesan yang direngkuhnya baik dari sisi finansial maupun kritikal, membawa hidangan animasi produksi Walt Disney Animation Studios yang sempat karam kembali menjadi sorotan (terima kasih juga untuk Tangled, Frozen, Big Hero 6, serta Zootopia) sekaligus memberi kesempatan bagi Ralph si penghancur untuk mempunyai franchise-nya sendiri. Ya, pihak studio tidak berpikir panjang-panjang dalam memberi lampu hijau pada pembuatan sekuel Wreck-It-Ralph yang ternyata membutuhkan waktu sampai enam tahun untuk direalisasikan. Pemicunya, menentukan narasi yang cocok mengenai kelanjutan petualangan serta persahabatan antara dua outsider di dunia arcade game, Wreck-It-Ralph (John C. Reilly) dan Vanellope von Schweetz (Sarah Silverman), yang belakangan dielu-elukan sebagai hero. Usai melewati aneka macam fase pertimbangan sengit – konon ada tiga naskah yang menjadi kontender untuk difilmkan – sekuel bertajuk Ralph Breaks the Internet pun menentukan jalur pengisahan yang menempatkan persahabatan Ralph dengan Vanellope di ujung tanduk selepas mereka mengetahui adanya dunia gres yang kita kenal sebagai internet.
Berlatar enam tahun selepas peristiwa di film pertama, Ralph dan Vanellope sekarang menjadi teman baik yang tak terpisahkan. Dimana ada Ralph, disitulah kau akan menemukan Vanellope. Mereka senantiasa menghabiskan waktu bersama setiap hari utamanya usai ‘bekerja’ di arcade game masing-masing – entah nongkrong di atap apartemen, kedai minuman, atau stasiun penghubung antar game. Sepintas, tak ada yang salah dengan kehidupan mereka. Semuanya berjalan dengan normal serta hening sentosa mirip diperlukan oleh sebagian besar para penghuni arcade game… kecuali Vanellope. Ya, Vanellope menganggap rutinitasnya ini menjemukan alasannya adalah beliau tak lagi menemukan tantangan dalam pekerjaannya sebagai pembalap hero di Sugar Rush. Dia ingin sesuatu yang berbeda. Mengetahui sahabatnya bermuram durja, Ralph pun berinisiatif menawarkan ‘twist’ dalam permainan tersebut yang justru berdampak fatal dan mengancam kelangsungan Sugar Rush. Demi menyelamatkan pekerjaan sekaligus rumah bagi Vanellope beserta mitra-mitra pembalap lain, Ralph dan Vanellope pun nekat menjelajah internet. Mereka mesti menjangkau eBay yang konon memberikan solusi atas permasalahan mereka. Mulanya sih tak ada kesulitan berarti bagi keduanya dalam menemukan kawasan ini lalu mengklaim barang yang mereka butuhkan. Hanya saja, ketidaktahuan mereka mengenai ‘cara main’ di eBay mendatangkan problem lain bagi dua sobat ini yang memaksa Ralph dan Vanellope untuk menyelami internet lebih dalam sekaligus menguji persahabatan mereka.
Selaiknya sang pendahulu yang memberi banyak kesenangan di sepanjang durasi, Ralph Breaks the Internet pun meninggalkan sensasi senada seirama pada penonton. Mitos “sekuel akan kesulitan menandingi jilid pembuka” sekali lagi disanggah di sini dengan kemampuan duo kreator – Rich Moore dan Phil Johnston – dalam mengkreasi visual beserta jalinan pengisahan yang setara levelnya dengan Wreck-It-Ralph. Jika sang abang lebih banyak mengakomodir elemen nostalgia pada dunia arcade game (lengkap dengan cameo dari aksara game legendaris), maka sang adik ini memiliki cakupan yang lebih luas lantaran merangkul fenomena dunia maya termasuk budaya populer. Sedikit banyak mengingatkan pada The Emoji Movie yang memvisualisasikan kehidupan di dalam ponsel genggam yang terkoneksi dengan internet, Ralph Breaks the Internet mempunyai penggambaran yang inovatif, penuh warna nan kompleks mengenai dunia maya yang diibaratkan kota besar berlalu lintas padat di masa depan (bayangkan saja film fiksi ilmiah yang memiliki mobil terbang). Para pengaksesnya diwujudkan dalam avatar yang berlalu lalang kolam warga kota yang sibuk atau turis, sementara setiap situs kenamaan di internet adalah gedung-gedung pencakar langit yang memiliki ciri khasnya masing-masing. Sebagai acuan, Instagram terlihat mirip museum yang koleksi lukisannya tersusun atas postingan para pengguna, Twitter menampilkan burung-burung sedang bercengkram di atas ranting, Oh My Disney menyerupai Disneyland (tentu saja!), dan eBay tak ubahnya tempat lelang. Sungguh visualisasi yang amat kreatif, bukan?
Saya tak mampu menahan rasa takjub – terperangah dan geleng-geleng kepala – tatkala Ralph Breaks the Internet menghamparkan visual yang detil ini. Begitu banyak printilan-printilan yang akan menciptakan para pecandu dunia maya dan budaya populer kegirangan, bahkan besar kemungkinan kamu tidak akan menjumpai seluruhnya hanya dalam satu pandangan (!). Yang juga membahagiakan, kecermatan dalam penggarapan animasi ini tak lantas mendistraksi si pembuat film dari sektor narasi. Penonton diupayakan dapat memperoleh kenikmatan tak hanya untuk mata, tetapi juga untuk otak dan hati di sepanjang durasi. Guliran pengisahannya dirangkai dengan berbagai macam emosi yang melingkunginya: seru, lucu, serta haru. Seru menyaksikan petualangan Ralph bersama Vanellope dalam mengarungi internet guna menuntaskan satu misi besar untuk “mendapatkan barang penting di eBay” yang turut membawa mereka memasuki game online sarat kekerasan, lucu melihat kekonyolan tingkah berikut celetukan-celetukan dari para abjad yang wara-wiri di film (paling membekas jelas para putri dari film animasi Disney yang menyindir karakteristik tipikal mereka dan studio sebelah *cough*Pixar*cough), lalu haru menyimak hubungan naik-turun Ralph dengan Vanellope yang menghantarkan pesan budpekerti mengenai persahabatan. Disamping soal “bagaimana seharusnya seorang sobat bersikap?,” Ralph Breaks the Internet juga menyodorkan komentar sosial mengena wacana perilaku di dunia maya termasuk cyber bullying. Oleh Yesss (Taraji P. Henson), ahli algoritma yang memilih popularitas video di BuzzzTube, pesan ini ditekankan secara terang: caramu memanfaatkan internet menunjukkan jati dirimu yang bahwasanya lebih-lebih jika kau menggunakannya untuk menebar kebencian. Sebuah pesan yang tentunya relevan di kala ketergantungan teknologi (dan internet) seperti kini ini.
Note : Ralph Breaks the Internet mempunyai dua bonus adegan yang terletak di sela-sela dan penghujung end credit. Plus, ada bonus video klip.
Outstanding (4/5)
Post a Comment for "Review : Ralph Breaks The Internet"