Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Annabelle Creation


“Sister, you always say we can’t see God but we can feel His presence. In this house, I feel a different kind of presence and evil one. It’s coming after me.” 

Selain para petinggi studio yang kecipratan untung film pertama, siapa sih yang menanti-nantikan babak berikutnya dari teror boneka iblis bernama Annabelle? Dirilis pada tahun 2014 silam, Annabelle yang merupakan spin-off sekaligus prekuel bagi The Conjuring memang berhasil memperoleh ratusan juta dollar dari peredaran seluruh dunia. Akan tetapi di dikala bersamaan, film ini juga meninggalkan perasaan traumatis tersendiri bagi sebagian penontonnya. Bukan alasannya filmnya sungguh meneror, melainkan disebabkan keburukannya yang bikin kepala pusing-pusing tidak karuan. Sebagai film horor, Annabelle sulit dikategorikan menakutkan dan lebih tepat disebut menggelikan. Namun laba besar yang diperolehnya mendorong New Line Cinema untuk tetap memberi lampu hijau bagi instalmen selanjutnya yang diposisikan sebagai prekuel (well, prekuel bagi sebuah prekuel. Prequelception) dan menempatkan sutradara Lights Out, David F. Sandberg, sebagai sang nahkoda. Mengingat seri terdahulu sudah cukup jelek, tentu mustahil kan film yang diberi judul Annabelle Creation ini akan berada di level lebih rendah? Berkaca pada Ouija: Origin of Evil yang tak dinyana-nyana justru tampil superior dibanding film pertamanya, sejatinya ada keinginan Annabelle Creation mampu menebus kesalahan sang predesesor terlebih tim produksinya sangat mampu diandalkan. 

Annabelle Creation mengambil latar penceritaan di sebuah rumah pedesaan yang jauh dari cengkraman modernitas pada pertengahan periode 50-an. Rumah tersebut dihuni pasangan suami istri Mullins, Samuel (Anthony LaPaglia) dan Esther (Miranda Otto), yang masih belum mampu berdamai dengan murung selepas maut putri semata wayang mereka. Guna membunuh sepi karena ketiadaan suara tawa canda bawah umur, Samuel mengizinkan sejumlah penghuni panti asuhan yang telah ditutup untuk mendiami rumah mereka. Praktis bagi Suster Charlotte (Stephanie Sigman) beserta anak-anak asuhnya, terutama Janice (Talitha Bateman) dan Linda (Lulu Wilson) yang mempunyai relasi amat bersahabat bak abang adik, untuk merasa betah tinggal di rumah tersebut. Betapa tidak, banyak ruangan yang bisa dimanfaatkan dan pekarangannya pun luas. Jika ada kejanggalan, maka itu sebatas Esther yang mengurung dirinya di dalam kamar dan memakai lonceng bel untuk memanggil sang suami. Tidak ada yang lain hingga kemudian Janice melaksanakan kesalahan fatal dengan melangkahkan kaki memasuki kamar milik mendiang putri pasangan Mullins. Di sana, Janice mendapati keberadaan sebuah boneka porselen dengan gaun berwarna putih yang tersembunyi dalam lemari. Saat lemari terbuka, boneka yang kita kenal sebagai Annabelle ini tak pelak bebas berkeliaran dan menebarkan serentetan teror mengerikan ke seluruh penghuni rumah.


Seperti halnya Ouija: Origin of Evil, Annabelle Creation menunjukkan peningkatan pesat dikala disandingkan dengan jilid sebelumnya. David F. Sandberg berhasil menghadirkan kengerian yang membuat penonton menahan nafas kemudian berteriak dan pada karenanya tertawa tanda kelegaan melalui bangunan atmosfer mengusik serta trik menakut-nakuti dengan penempatan efektif. Mulanya sih damai-hening saja dikala kita diajak berkenalan dengan keluarga Mullins termasuk Bee (Samara Lee), putri Samuel dan Esther di sepuluh menit pertama. Nada penceritaan yang semula lembut mulai mengusik bulu kuduk begitu Suster Charlotte dan belum dewasa asuhnya menjejakkan kaki untuk pertama kali di rumah pasangan Mullins atau dua belas tahun semenjak Bee meninggal. Siapa coba tidak bergidik ngeri berada dalam rumah yang lokasinya terpencil, berpencahayaan temaram, lorong-lorongnya panjang, dan mempunyai ruangan kosong terlarang? Rasa-rasanya hanya para aksara dalam film horor. Sebelum teror demi teror dilancarkan di dalam ‘wahana rumah berhantu’ ini, penonton diajak terlebih dahulu mengikuti tur singkat bersama Samuel yang mengajak kita berkeliling, mencermati sudut-sudut penting, dan memahami aturan-aturan yang dihentikan dilanggar selama ‘permainan’ berlangsung... atau tanggung sendiri konsekuensinya. 

Yang mengasyikkan, si pembuat film tidak terburu-buru menjerumuskan kita ke dalam kubangan teror berisi penampakan-penampakan sekenanya beserta skoring musik memekakkan indera pendengaran. Sandberg telaten dalam membangun tensi setapak demi setapak. Caranya, mendekatkan penonton pada aksara inti yaitu Janice dan Linda sehingga tercipta afeksi yang menimbulkan kepedulian, lalu menguarkan nuansa menggelisahkan yang menyatakan bahwa ada kekuatan jahat bersembunyi di dalam rumah pasangan Mullins. Tatkala ketidaknyaman dirasa telah menguasai dan kita sudah cukup memahami ikatan yang terjalin antara Janice dengan Linda, maka pada saat itulah permainan secara resmi dimulai. Terhitung semenjak pertemuan pertama Janice bersama si boneka iblis yang sekali ini agak-agak genit, Annabelle Creation seolah enggan memberikan celah kepada penonton untuk menghembuskan nafas lega. Dimanapun, kapanpun – bahkan ketika matahari bersinar jelas benderang – teror bisa dengan mudah menyergap. Disokong dengan amat baik oleh gerak kamera dari Maxime Alexandre dan iringan musik gubahan Benjamin Wallfisch, Sandberg pun mampu mengkreasi trik-trik menakuti yang sekalipun bukan sesuatu benar-benar gres namun memiliki daya cekam hebat. Antisipasi terdengarnya keriuhan bunyi jerit-jerit cemas, takut, dan tawa di dalam gedung bioskop dalam adegan berkode “selimut Annabelle”, “kasur susun”, serta “siksaan untuk Janice”. 

Disamping berkat pengarahan sangat baik dari David F. Sandberg yang memungkinkan setiap teror tidak terlontar sia-sia, Annabelle Creation terasa sangat menyenangkan buat disimak berkat performa elok barisan pemainnya terutama duo kematian Talitha Bateman dan Lulu Wilson. Kedua bocah ini hadirkan chemistry hidup yang meyakinkan kita bahwa Janice dan Linda memang betul-betul sahabat sejati yang saling menaruh peduli. Talitha bertugas menangani momen dramatik mengingat kondisi Janice, sementara Lulu bertindak mencairkan ketegangan melalui momen komedik yang dipantik oleh kepolosan tindak tanduknya (ehem... melempar bola ke kegelapan buat mancing setan, dik?) dan celetukannya. Mereka menerima santunan dari pemain akil balig cukup akal seperti Stephanie Sigman sebagai Suster yang mengayomi, Anthony LaPaglia yang tampak menyimpan belakang layar, dan Miranda Otto sebagai ibu yang berduka. Pengarahan Sandberg beserta akting para pemain ini mampu dikatakan sangat membantu dalam mengangkat skrip buatan Gary Dauberman yang intinya masih agak menggelikan serta terbilang tipis sehingga Annabelle Creation pun berhasil terlepas dari mengulangi kesalahan film pendahulu dan tidak lagi mempermalukan universe The Conjuring. Melihat apa yang telah diperbuat David F. Sandberg untuk Lights Out dan Annabelle Creation, para pecinta film horor rasa-rasanya tak perlu khawatir apabila nantinya James Wan sepenuhnya berhenti membesut tontonan angker karena Sandberg menerangkan bahwa ia cocok menerima tongkat estafet dari Wan.

Note : Annabelle Creation memiliki dua adegan perhiasan. Pertama, di sela-sela bergulirnya credit title. Kedua, di penghujung credit title. Bersabarlah.

Ulasan ini mampu juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_M2Nq

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : Annabelle Creation"