Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Dilan 1991


“Kalau aku jadi presiden yang harus menyayangi seluruh rakyatnya, maaf aku niscaya tidak mampu. Karena aku cuma mencintai Milea.”

Siapa sih yang tidak mengetahui pasangan fiktif Dilan dan Milea dari film bertajuk Dilan 1990 (2018)? Terlepas dari kau menyukainya atau tidak menggemarinya, rasa-rasanya sulit untuk menyangkal bahwa dua sejoli ini merupakan fenomena tersendiri dalam perfilman tanah air. Mereka tak ubahnya Galih dan Ratna, atau Cinta dan Rangga, bagi generasi pemuja gawai. Ada alasan tersendiri mengapa film yang disadur dari novel laku cantik bertajuk Dilan: Dia yaitu Dilanku Tahun 1990 rekaan Pidi Baiq ini mampu mendatangkan 6 juta penonton untuk berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop. Bukan hanya alasannya bahan sumbernya telah membentuk basis penggemar yang loyal, tetapi juga sebab rayu-rayuan si karakter tituler kepada Milea mampu meluluhkan hati banyak perempuan dari berbagai lapisan usia maupun tingkatan sosial (!). Bagi wanita muda, cara Dilan merayu dianggap merepresentasikan kekerabatan asmara yang ideal. Sementara bagi perempuan di tingkatan usia lebih sampaumur, hal ini kerap dijadikan ajang nostalgia ke periode-periode berpacaran di Sekolah Menengan Atas yang elok. Ditunjang pula oleh penampilan berkarisma dari Iqbaal Ramadhan, wanita mana yang tidak klepek-klepek begitu mendengar sang panglima tempur melancarkan jurus ngegombalnya? Saya saja terkadang tersenyum-senyum gemas sekalipun menjumpai setumpuk kelemahan dari Dilan 1990 diluar faktor akting pemain yang memang merupakan kekuatan utama film. Satu hal yang paling mengusik diri ini selama menontonnya yaitu ketiadaan konflik yang kuat untuk menopang narasi sehingga tak jarang film menyebabkan rasa jenuh.

Selama durasi mengalun, saya hanya menyimak sepasang merpati saling bercumbu rayu ditengah-tengah plot yang nyaris kosong. “Apa yang ingin disampaikan oleh film ini melalui cerita kasih Dilan (Iqbaal Ramadhan) dengan Milea (Vanesha Prescilla)?” ialah satu pertanyaan yang aku lontarkan seusai menyaksikannya. Mendengar keluhan saya, seorang mitra baik pun menyahut, “damai saja, kamu bakal mendapati konflik di buku kedua kok,” yang seketika menciptakan antisipasi terhadap Dilan 1991 tetap berada dalam posisi tinggi. Dan benar saja, ada problematika yang mencuat di jilid kedua terkait hubungan percintaan Dilan dan Milea yang baru seumur jagung. Penyebab utamanya yakni Milea yang dirundung rasa khawatir lantaran nyawa kekasihnya akan terus terancam apabila Dilan kekeuh mempertahankan posisinya sebagai anggota geng motor. Terlebih lagi, sekelompok orang tak dikenal pernah menyerang Dilan tatkala beliau sedang bersantai di warung langganannya. Bukankah itu amat mengerikan? Jadi wajar-wajar saja bila lalu Milea merajuk kemudian meminta Dilan untuk menghentikan acara sampingannya ini. Dia sudah didepak dari sekolah akibat berantem, dia sudah babak belur alasannya diserang suatu oknum, dan Milea tidak ingin Dilan menanggung konsekuensi lebih besar lantaran menentukan untuk membalas dendam kepada mereka yang telah melukainya. Sayangnya, kekhawatiran Milea yang berujung pada larangan justru diabaikan begitu saja oleh Dilan sehingga relasi mereka yang mulanya anggun-bagus saja seketika bermetamorfosis masam. Kehadiran Yugo (Jerome Kurnia), anak dari sepupu jauh ayah Milea, pun kian memperkeruh keadaan.


Mereka yang menggilai film pertama alasannya kandungan dialog-obrolan gombalnya yang melimpah, mampu jadi bakal mendengus kecewa apabila mengharapkan film kelanjutannya ini akan mengaplikasikan formula senada seirama. Memang benar kau masih akan menjumpainya di 15 menit pertama – dimana film melanjutkan penceritaan sempurna seusai linimasa di penghujung Dilan 1990 – yang menampilkan kemesraan Dilan dengan Milea pasca mereka meresmikan hubungan mereka. Ada adegan naik motor dibawah guyuran air hujan, adegan berciuman menggunakan tangan sebagai pengganti bibir, sampai adegan melepas rindu melalui ujung telepon masing-masing. Tapi tak seperti ‘sang abang’ yang memunculkannya di sepanjang durasi mengingat fokusnya adalah proses pedekate Dilan kepada Milea, Dilan 1991 mereduksinya secara perlahan terhitung sedari Dilan menjadi korban pengeroyokan dan sang pujaan hati menyuarakan keberatannya mengenai keputusan Dilan untuk bertahan di geng motor. Ini mampu dipahami lantaran fokus film beralih ke kala berpacaran yang tak selamanya berbunga-bunga. Persoalan yang mulanya tak memiliki impak signifikan pada pergerakan kisah, sekali ini mampu berpengaruh besar alasannya Dilan tak lagi sendiri. Satu tonjokan yang mendarat ke mukanya atau satu harapan untuk menyerang balik ke geng seberang bisa memicu konflik dengan pasangannya. Milea yang sebelumnya terlihat pasif sebagai abjad sentral dan sebatas diperlihatkan seperti gadis yang kesengsem bad boy, balasannya diberi kesempatan untuk memberikan sikapnya. Dia mengetahui apa yang dimauinya dari hubungannya dengan Dilan.

Dibandingkan dengan sang predesesor, Dilan 1991 terperinci berada di tingkatan yang lebih unggul. Terdeteksinya konflik membuat Dilan 1991 terasa lebih memiliki pergerakan, terasa lebih menggigit, dan terasa lebih emosional. Durasi yang merentang sepanjang 121 menit memang agak kepanjangan – mampu dipadatkan sekitar 10 menit utamanya di babak ketiga yang cenderung berlarut-larut – tapi paling tidak, film arahan Fajar Bustomi beserta Pidi Baiq ini mempunyai sesuatu untuk disampaikan tentang toxic relationship yang dipicu oleh ego, nafsu, hingga terbatasnya ruang komunikasi. Menariknya, ini tak melulu bersumber dari dua abjad utama tetapi juga aksara-abjad pendukung semacam Yugo, Kang Adi (Refal Hady), serta guru Bahasa Indonesia berpikiran kotor, Pak Dedi (Ence Bagus), yang kesemuanya menginginkan timbal balik dari korelasi mereka dengan Milea. Perempuan polos ini menolak untuk menyerahkan cintanya kepada para lelaki berbahaya nan manipulatif ini seraya tetap berharap kekasihnya akan takluk pada keinginannya tanpa pernah menyadari bahwa relasi yang terjalin diantara mereka pun sejatinya telah bertumbuh ke arah tidak sehat. Dilan menolak kebebasannya dikekang, sedangkan Milea berharap sang cuilan jiwa akan berkembang menjadi lelaki baik-baik yang taat hukum. Untuk sesaat, penonton mungkin menduga pilihan Dilan ini terkesan egois dan kekanak-kanakkan alasannya enggan mengikuti kemauan Milea untuk berubah ke arah kasatmata. Namun satu hal yang perlu diingat, narasi ini dituturkan memakai perspektif Milea yang terbatas alih-alih serba tahu sehingga kita baru mampu memahami konflik ini secara utuh selepas menyaksikan jilid ketiga berjudul Milea yang direncanakan rilis di bioskop pada tahun depan. Kita bahkan belum diajak memafhumi motivasi Dilan yang sebegitu ngototnya untuk bertahan di geng motor.


Berhubung si pembuat film akan menyodorkan jawabannya di instalmen berikutnya, aku pun tak ambil pusing. Toh Dilan 1991 terhitung mampu untuk tersaji sebagai tontonan percintaan yang cukup memuaskan. Memang ada kalanya laju penceritaan terasa tersendat-sendat dan tata artistiknya pun masih gagap dalam menguarkan latar waktu secara meyakinkan balasan product placement kelewat ngeyel (ehem, Loop dan Sari Roti belum ada di tahun 1991 yaaa), tapi Dilan 1991 tentu bukan berada di kelas sinetron seperti kerap dituduhkan oleh netizen banyabicara berkat performa jajaran para pemain yang mengesankan. Iqbaal Ramadhan tampak sudah nyaman dengan tugas yang dimainkannya, begitu pula dengan Vanesha Prescilla yang sekali lagi menerangkan bahwa dia yakni kala depan perfilman Indonesia. Keduanya menawarkan transisi meyakinkan dari mula-mula terlihat mirip sepasang kekasih yang dimabuk asmara, lalu perlahan merenggang, hingga kemudian tampak bagaikan dua orang abnormal yang sebelumnya tak pernah memiliki ikatan antara satu dengan lain. Dari transisi akting ini, penonton mampu merasakan adanya perubahan emosi dalam jiwa Dilan-Milea yang mencakup kebahagiaan, kesedihan, kesepian, hingga ketidakrelaan. Beragam emosi yang juga sempat aku rasakan selama menonton Dilan 1991.

Note : Dilan 1991 mempunyai adegan bonus yang terletak di penghujung end credit. Makara bertahanlah hingga film benar-benar tuntas.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Post a Comment for "Review : Dilan 1991"