Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Gerbang Neraka


“Yang dibutuhkan Indonesia itu sains, bukan klenik.” 

Jika kamu selama ini mengeluhkan kurangnya variasi genre dalam perfilman tanah air, rilisan terbaru rumah produksi Legacy Pictures bertajuk Gerbang Neraka yang memperlihatkan tema gres ini semestinya tidak kamu lewatkan begitu saja. Memiliki judul awal Firegate: Piramida Gunung Padang, film garapan Rizal Mantovani (Kuntilanak, 5 cm) ini menancapkan jejak utamanya di genre petualangan yang sebelumnya pernah coba dieksplorasi oleh sineas tanah air melalui Ekspedisi Madewa (2006) dan Barakati (2016) yang mungkin tidak terlalu familiar di pendengaran sebagian besar penonton tanah air. Yang lantas membedakan Gerbang Neraka dari kedua judul tersebut yakni Rizal bersama Robert Ronny selaku penulis skenario memadupadankannya dengan fantasi dan horor demi meningkatkan daya tariknya ke publik. Gagasan penceritaan untuk filmnya sendiri tercetus berkat keriuhan yang melingkungi situs punden berundak Gunung Padang di Jawa Barat pada tahun 2014 silam. Berbagai temuan para peneliti melahirkan sejumlah spekulasi dari berbagai pihak yang salah satu paling santer terdengar menyatakan adanya piramida berusia sangat renta (konon usianya melebihi Piramida Giza di Mesir!) yang terkubur di bawah Gunung Padang. Sebuah spekulasi yang terperinci sangat menggiurkan untuk diejawantahkan menjadi tontonan layar lebar, bukan? 

Guna menggulirkan roda penceritaan, Gerbang Neraka memutuskan tiga karakter sebagai sorotan utama. Mereka yakni seorang jurnalis tabloid mistis yang mengorbankan idealismenya demi memberi penghidupan layak bagi anak istrinya bernama Tomo (Reza Rahadian), seorang dosen arkeologi yang mempunyai kecintaan terhadap ilmu pengetahuan bernama Arni (Julie Estelle), serta seorang ahli spiritual yang memanfaatkan kemampuannya untuk mengejar ketenaran bernama Guntur Samudra (Dwi Sasono). Ketiga insan yang memiliki visi saling bertolak belakang ini saling dipertautkan usai proses eskavasi situs Piramida Gunung Padang yang melibatkan sejumlah arkeolog terbaik Indonesia termasuk Arni justru mendatangkan malapetaka. Satu persatu personil yang menemukan kebenaran tersembunyi dibalik Piramida Gunung Padang meregang nyawa dengan cara tak wajar. Dilingkupi kepenasaran yang membuncah mengenai sabab musabab tewasnya rekan-rekan kerjanya, Arni pun mau tak mau berafiliasi dengan Tomo dan Guntur yang telah menawarkan ketertarikan pada situs ini sedari awal. Dari penelusuran bersama, mereka mendapati bahwa ada sosok jin penunggu berjulukan Badurakh yang berusaha untuk menghalangi para insan membuka Piramida Gunung Padang. Larangan Badurakh ini bukannya tanpa alasan alasannya apa yang bersemayam di dalam piramida dapat menghancurkan peradaban insan.


Telah dirampungkan sedari tahun 2015, nyatanya membutuhkan waktu sampai dua tahun bagi Gerbang Neraka untuk risikonya dilempar secara resmi ke hadapan publik. Salah satu faktor pemicunya adalah kebutuhan untuk menyempurnakan CGI yang memang memegang andil besar dalam memvisualisasikan Piramida Gunung Padang dan Badurakh. Pengorbanan selama dua tahun demi memperhalus tampilan ini untungnya terbayar impas dengan balasannya yang sama sekali tidak mengecewakan dan bisa dikata merupakan salah satu yang paling mulus dalam perfilman Indonesia. Efek khusus Gerbang Neraka bisa memperlihatkan kita gambaran tergolong meyakinkan mengenai semesta berikut mitologi bentukan si pembuat film, mirip bagaimana wujud si jin penunggu dan seperti apa bentuk situs prasejarah incaran banyak pihak tersebut. Skripnya memang tidak sepenuhnya rapi – masih meninggalkan satu dua pertanyaan yang semestinya bisa dielaborasi lebih mendalam – namun memiliki daya cengkram cukup kuat yang menggelitik rasa penasaran penonton untuk mengetahui perihal rahasia nenek moyang yang terkubur di dalam Piramida Gunung Padang. Apakah ada sesuatu yang berharga di sana? Atau justru tersimpan sesuatu yang berbahaya? Apabila ya, apakah itu? Mengapa sosok Badurakh berusaha untuk menutup-nutupinya dari para insan? 

Keinginan untuk memperoleh balasan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut ditambah lagi adanya sempilan berupa sentilan sentilun terhadap situasi sosial Indonesia kala sekarang menciptakan aku tertarik mengikuti penceritaan Gerbang Neraka yang tanpa dinyana-nyana mampu dilantunkan secara mengasyikkan. Rizal Mantovani yang belakangan ini tampak kesulitan menyampaikan kisah yang menghibur melalui medium audio visual, hasilnya mampu menemukan ritmenya kembali disini. Tidak selalu mulus, terkadang penggunaan jump scare untuk menciptakan penonton terlonjak agak berlebihan dan humornya beberapa kali terasa janggal, akan tetapi Rizal cukup berhasil menimbulkan kisah petualangan trio Tomo-Arni-Guntur terasa enak untuk disimak. Beruntung bagi Rizal, ada sokongan mumpuni yang diperolehnya dari iringan musik gubahan Andi Rianto yang diberi sentuhan etnik dan jajaran pemain yang menghadirkan performa gemilang. Reza Rahadian sekali lagi menunjukkan karisma besar lengan berkuasa sebagai lead, Julie Estelle berhasil melakonkan karakter perempuan cerdas pula tangguh, Dwi Sasono meniupkan elemen komedik pada film (ada semacam ambiguitas antara karakternya memang sengaja dibuat agak komikal atau ada pengaruh dari tugas yang dibawakannya di sitkom), serta Lukman Sardi dalam tugas mengejutkan di titik puncak yang mengusik pedoman. Berkat kombinasi baik dari unsur-unsur tersebut, Gerbang Neraka yang mengusung konsep segar ini pun berhasil tersaji sebagai tontonan yang menghibur sekaligus menjadi salah satu kejutan manis bagi perfilman Indonesia tahun ini.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Post a Comment for "Review : Gerbang Neraka"