Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Foxtrot Six


“Millions of lives are at stake tonight. They’re counting on us.”

Segenap doa yang telah aku panjatkan supaya mampu melihat lagi menu berkelahi produksi Indonesia yang keren telah dikabulkan oleh Tuhan melalui The Night Comes for Us (2018). Memang betul film ini memiliki plot amat tipis, tapi siapa yang peduli saat tata laganya sungguh keren dan menghadirkan banyak momen untuk dikenang? Saya sih bahagia-bahagia saja saat menontonnya alasannya adalah sensasinya mengingatkan diri ini kepada dwilogi The Raid. Seru, seru, seru. Bukankah itu hal paling utama yang seharusnya diperoleh dari film adu komersil? Selain itu, film ini pun mengompensasi kekecewaan aku terhadap Buffalo Boys (2018) yang mengecewakan di banyak sisi sekalipun konsepnya tampak mencengangkan. Kepuasan tiada tara pada The Night Comes for Us pun seketika menyalakan lagi pikiran nyata yang tadinya sempat meredup. Saya berpikir, masih ada harapan bagi perfilman negeri ini untuk memproduksi action movie yang menggegerkan emosi di sepanjang durasi. Kepercayaan yang kembali mengemuka ini pula yang lantas mendorong saya untuk menaruh pengharapan pada Foxtrot Six. Sebuah film langgar yang turut menempatkan Mario Kassar – produser bagi film-film Hollywood terkenal mirip Rambo: First Blood II (1985) dan Terminator 2: Judgment Day (1991) – di bangku produser. Lebih-lebih lagi, film ini pun menyodorkan premis menjanjikan: bagaimana jika Indonesia yang telah maju di kala depan mengalami kekacauan besar akhir krisis pangan dan pemimpin gila kekuasaan?

Ya, Foxtrot Six menyuapi kita dengan pengharapan-pengharapan yang serba tinggi: produser kelas dunia yang konon kabarnya memberlakukan sistem kerja ala Hollywood selama syuting (mirip keteraturan pada jam kerja dan ketersediaan personal trainer untuk mengontrol para pemain), jalinan pengisahan yang menyiratkan akan bergerak di jalur political thriller yang mengusik pedoman, dan bahan promosi yang memberi kesan bahwa film ini mahal. Mengingat bahwa ekspektasi tidak selalu sejalan dengan realita, maka satu pertanyaan pun timbul: akankah Foxtrot Six memenuhi potensinya dan berkembang menjadi mirip The Night Comes for Us atau justru karam dengan segala ambisinya selaiknya Buffalo Boys? Well… dikala saya duduk di kursi bioskop seraya menyeruput minuman ringan dan mencemil berondong jagung pada pertunjukkan paling awal, aku masih mencoba mengantisipasinya sebagai tontonan laga yang mengasyikkan meski bekerjsama saya sudah berpikir realistis. Mungkin ini terdengar merendahkan, tapi mengetahui bahwa Foxtrot Six diarahkan oleh sutradara pendatang gres Randy Korompis telah membuat aku ketar-ketir. Berpatokan pada Buffalo Boys yang juga ditangani sineas anyar, mau tak mau saya berada pada kesimpulan bahwa jam terbang tidak akan berbohong. Buffalo Boys bukanlah film yang buruk, hanya saja segenap potensinya tidak pernah tergarap maksimal dan itu pula yang berlaku pada Foxtrot Six. Sebuah film laga yang sejatinya telah dikaruniai banyak bahan berkualitas tapi sayangnya urung tersaji sebagai sajian menggigit lantaran pengolahannya diserahkan kepada juru masak dengan pengalaman minim.


Suntikan dana sebesar 70 miliar rupiah yang disuntikkan kepada film ini memang memberikan hasil tak mengecewakan. Visualisasi Indonesia pada era depan yang carut marut akhir kerusuhan, teknologi canggih yang dipergunakan oleh para villain mencakup robot pembunuh atau jubah tembus pandang, serta tata tubruk yang koreografi tarungnya dipersiapkan tim milik Iko Uwais, terlihat cukup impresif terlebih berkaca pada fakta bahwa dana yang dikucurkan bagi Foxtrot Six ini tergolong minim untuk ukuran film adu dengan skala internasional. Saya melihat adanya keseriusan di sana, aku pun melihat Foxtrot Six sebagai tontonan yang tak malu-maluin apabila diboyong ke negeri seberang. Yang lalu menghalangi film untuk tampil lebih menjulang mirip dibayangkan oleh pihak-pihak yang berkontribusi pada film ini ialah naskah beserta penyutradaraan yang kurang ciamik. Masihkah kalian ingat jika saya sempat menyebut film produksi Rapid Eye Pictures bersama MD Pictures ini punya bahan pengisahan yang mampu mengusik aliran? Dalam Foxtrot Six, penonton diperkenalkan kepada seorang anggota dewan perwakilan rakyat berjulukan Angga (Oka Antara) yang idealis. Lalu, film menawarkan pula niatan Angga untuk mengembalikan keadaan mirip semula sesudah mengetahui bahwa partai pengusungnya, Piranas, ternyata dalang dibalik kehancuran Indonesia. Kemudian, film mempertemukan penonton dengan mantan rekan-rekan Angga di marinir yang dipersiapkan sebagai juru selamat. Saya sempat mengira, paling tidak si pembuat film bakal menjabarkan secara rinci mengenai latar belakang dari setiap personil Foxtrot Six dan mengungkap langkah demi langkah mereka dalam misi menggulingkan Piranas.

Tapi aku keliru. Laju penceritaan Foxtrot Six ngebut tidak karuan dengan fokus pada tembak-tembakan, pukul-pukulan, sampai ledak-ledakan. Langkah ini memang berhasil ditempuh oleh The Night Comes for Us alasannya sedari awal premisnya memang tak muluk-muluk dan keterampilan dalam membingkai adegan sabung pun mengompensasi segalanya. Bahkan, rangkaian adegan pertarungannya yang berdarah-darah di sana membantu menjelaskan karakteristik beserta relasi antar karakternya alih-alih asal heboh seperti dilakukan oleh Foxtrot Six. Ada kalanya tergarap baik dan menghadirkan intensitas seperti pada adegan penyergapan di rumah susun, menyelamatkan anggota dewan dari hujaman peluru, atau saat Angga dihadapkan pada dua pilihan berat. Tapi seringkali, apa yang dipertontonkan dalam film ini memicu pertanyaan-pertanyaan yang sukar untuk aku temukan jawabnya. Lupakan soal motivasi dangkal Presiden Piranas dalam menguasai Indonesia atau bagaimana film tak pernah memberi penonton kesempatan untuk berkenalan secara layak dengan rekan-rekan seperjuangan Angga, coba bantu saja aku untuk menjelaskan dua adegan ini: 1) ketika kamu memakai jubah tembus pandang untuk bertarung, akankah kau ‘mengumumkan’ keberadaanmu dengan mengangkat-angkat badan korban?, dan 2)  saat anakmu terjebak dalam lift yang segera jatuh bersama beberapa orang, akankah kamu menempatkan ia di posisi terakhir untuk diselamatkan sehingga kau bisa ikut masuk ke dalam lift sementara kau menyadari betul resikonya?


Disinilah letak problem Foxtrot Six selain penggunaan Bahasa Inggris sebagai dialog utama yang memungkinkan sejumlah emosi kurang bisa tersalurkan ke penonton sebab beberapa pemain masih kagok dalam pengucapan – walau aku juga ragu emosi itu akan ada apabila dialihkan ke Bahasa Indonesia. Ketiadaan emosi dalam film dipicu oleh penulisan karakternya yang terlalu hemat serta eksistensi adegan yang serba ujug-ujug (baca: mendadak) tanpa diberi penghantar memadai. Lagipula, bagaimana mampu kamu bersimpati dengan para abjad inti sementara kau nyaris tidak mengenal mereka? Pengenalannya kolam montase tanpa diperlihatkan pula keakraban Angga dengan rekan-rekannya. Saat mereka berguguran satu demi satu, tak ada rasa apapun. Satu-satunya rasa yang menghinggapi diri ialah kebingungan: kok bisa sih mereka menjalankan misi ini dengan begitu gampang? Namun melihat mereka bertumbangan secara cepat membuat aku menemukan jawabnya adalah alasannya adalah mereka tak mempersiapkan misi ini dengan matang. Jajaran pemain dalam Foxtrot Six mirip Oka Antara, Rio Dewanto, Chicco Jerikho, Verdi Solaiman, Arifin Putra, Julie Estelle, Edward Akbar dan Mike Lewis bantu-membantu sudah kerahkan upaya maksimal dalam berolah tugas. Tapi apa daya, naskah berikut pengarahan menghalangi mereka untuk tampil optimal sehingga berdampak pula pada menu secara keseluruhan yang tidak sinkron. Kinclong di luar, penuh debu di dalam. Cukup disayangkan.

Note : Ada dua adegan bonus yang masing-masing terletak di pertengahan dan penghujung end credit.

Acceptable (2,5/5)


Post a Comment for "Review : Foxtrot Six"