Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Danur 3: Sunyaruri


“Mungkin pertemanan kami semenjak awal memang hanya sebuah celaka.”

Didasarkan pada rangkaian novel laris rekaan Risa Saraswati yang konon kabarnya merupakan novelisasi dari pengalaman nyata si penulis indigo saat bersinggungan dengan alam seberang, Danur bermetamorfosis salah satu franchise tontonan horor paling menguntungkan dalam sejarah sinema tanah air. Dimulai dari jilid pertama yang berhasil membukukan 2,7 juta penonton, MD Pictures bersama Pichouse Films selaku rumah produksi kembali mencicipi kesuksesan melalui sekuelnya bertajuk Danur 2: Maddah (2018) yang mencetak 2,5 juta penonton serta film sempalannya, Asih (2018), yang masih sanggup menorehkan angka sebesar 1,7 juta penonton sekalipun tanpa sokongan si abjad inti yang diperankan oleh Prilly Latuconsina. Menilik pencapaian di tangga box office yang tergolong impresif dari seri ke seri, tentu tak mengherankan jika pihak rumah produksi lantas memberi lampu hijau secara seketika bagi penggarapan jilid ketiga yang tercatat sebagai babak pamungkas bagi seri induk dalam versi novelnya. Selepas mengulik pergulatan batin Risa kurun mendapati dirinya mampu berkomunikasi dengan makhluk halus di film pembuka, lalu membahas soal upaya si protagonis dalam memperoleh penerimaan dari anggota keluarganya yang merasa terganggu di film kedua, saya yang tidak pernah mengikuti materi sumbernya pun bertanya-tanya. Apa yang akan diulas oleh Danur 3: Sunyaruri yang dipersiapkan menjadi seri epilog ini? Tak jauh berbeda dari sang predesesor, ternyata persoalan yang diajukan kali ini masih berkisar pada relasi serba rumit yang terjalin diantara Risa dengan mitra-kawan gaibnya.

Yang menciptakan hati Risa (Prilly Latuconsina) mengalami kegalauan dalam Danur 3: Sunyaruri adalah keinginannya untuk menjalani kehidupan yang normal. Berkawan akrab dengan insan-insan yang usianya sebaya, alih-alih sekumpulan bocah keturunan Belanda dari dimensi lain. Melalui babak perkenalan serta voice over yang dihantarkan oleh si protagonis, penonton diberi klarifikasi mengenai kekerabatan antara Risa dengan teman-sobat hantunya yang terdiri dari Peter, Janshen, William, Hendrick, dan Hans, yang tidak lagi hangat. Ketimbang mendapatkan ajakan kelima hantu ini untuk bermain bersama, Risa lebih menentukan untuk berkumpul bersama kekasihnya, Dimas (Rizky Nazar), yang berprofesi sebagai penyiar radio beserta rekan-rekan kerjanya mirip Clara (Steffi Zamora), Raina (Syifa Hadju), Anton (Umay Shahab), dan Erick (Chicco Kurniawan). Tidak ingin Risa semakin menjauh, Peter cs pun terus berupaya mendekati sahabat manusianya ini yang justru memperlihatkan efek sebaliknya. Risa memutuskan untuk menutup mata batinnya karena enggan diusik oleh bocah-bocah hantu tersebut. Mengira dilema akan tamat begitu saja, nyatanya Risa malah mendapati kecacatan demi ketaknormalan selepas tak lagi bisa melihat hantu. Matanya mengalami kebengkakan parah tanpa diketahui penyebabnya, beberapa halaman dalam naskah bukunya mendadak raib, dan hujan terus mengguyur rumahnya tanpa henti. Pada mulanya, Risa tidak menganggap tiga hal ini sebagai problem genting hingga lalu beliau menyadari bahwa dirinya masih mampu mencium amis danur (baca: bacin bacin dari mayit) di sekelilingnya sekalipun gerbang komunikasi dengan alam lain telah ditutup.


Menengok pada materi pengisahan yang diajukan, Danur 3: Sunyaruri sejatinya memiliki potensi besar untuk tersaji sebagai gelaran horor yang menggigit. Pada menit-menit awal, Awi Suryadi yang masih nyaman menduduki dingklik penyutradaraan seolah mengisyaratkan bahwa babak pamungkas ini akan mengoyak-ngoyak emosi penonton. Hubungan Risa dengan Peter cs diperlihatkan merenggang, Peter cs pun seolah dirundung sepi sekaligus luka karena merasa diabaikan. Ditunjang oleh permainan kamera dan tata artistik yang memperlihatkan atmosfer creepy, Danur 3: Sunyaruri memang memulai langkahnya secara meyakinkan. Tak ada lagi iringan musik memekakkan pendengaran, tak ada lagi memedi yang menampakkan diri secara sesuka hati, dan Awi pun seolah berusaha untuk memaparkan cerita dengan hati-hati di sini. Penonton diajak melihat Risa berproses dari semula enggan bersentuhan dengan dunia gaib, kemudian mencicipi kelegaan untuk sesaat, hingga kesannya menyadari bahwa ‘kehidupan normal’ bukanlah untuk dirinya. Dia merasa sunyi tanpa kehadiran dari Peter, Janshen, William, Hendrick, dan Hans yang alasannya suatu hal namanya harus selalu disebut lengkap secara berurutan di film… berulang kali. Penampilan prima dari Prilly Latuconsina – dimana kali ini ia tampil sedikit berbeda dengan riasan mata nanah – memungkinkan bagi kita untuk bersimpati sekaligus sebal kepada sang abjad utama. Bersimpati sebab kita mengetahui ada beban tersendiri dalam menjalani kehidupan sebagai seorang indigo, sementara sebal karena kita melihat dia telah menempuh cara yang salah untuk mengenyahkan Peter beserta kawanannya. Terlampau bernafsu.

Berkaca pada komposisi serba baik yang diusungnya, aku sempat optimis Danur 3: Sunyaruri akan menjadi seri terbaik sekaligus epilog yang memuaskan bagi franchise. Tapi sesudah film berjalan selama kurang lebih 30 menit, satu demi satu problem mengemuka yang dimulai dari: plot berjalan di kawasan. Kondisi hujan deras tak berkesudahan dan mata nanah mengakibatkan Risa sulit untuk bepergian sehingga latar penceritaan pun urung berekspansi. Ini bantu-membantu bukan suatu problematika apabila si pembuat film dapat mengakalinya dengan teror kreatif maupun narasi berisi. Dalam kasus Danur 3: Sunyaruri, penonton nyaris tak mendapati apapun kecuali adegan Risa berkeliling rumah, kemudian diserang hantu, membuka laptop, kemudian diserang hantu, yang terkesan repetitif. Memang ada satu momen cukup mencekam di pertengahan durasi yang melibatkan bejana – ini dan adegan di panggung pada awal durasi ialah momen terbaik dalam film – tapi adegan tersebut sayangnya tak dimanfaatkan untuk menghantarkan film ke situasi lebih intens. Apa yang dijumpai oleh penonton selanjutnya yakni Risa yang masih saja berputar-putar di rumah tanpa ada kejadian berarti sehingga kamu tidak akan ketinggalan apapun apabila memutuskan untuk rehat sejenak ke toilet. Laju pengisahan yang berlangsung cenderung datar-datar saja bahkan ada kalanya membosankan alasannya tak juga dibarengi trik menakut-nakuti mumpuni ini tentu menciptakan aku gemas bukan kepalang mengingat Awi beserta Lele Laila selaku penulis skenario bahu-membahu memiliki modal mencukupi untuk memberikan detak lebih kencang pada film.


Barisan karakter pendukung yang mencakup Clara, Raina, Anton, dan Erick dibiarkan begitu saja, sementara Dimas dan adik Risa, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), pun tak diberi banyak kesempatan untuk berkontribusi. Berhubung film hendak bercerita mengenai upaya Risa untuk menjalin pertemanan dengan insan sebaya, maka terasa sangat janggal dikala film membatasi interaksi antara Risa dengan karakter-huruf lain. Kita hanya pernah melihatnya melakukan video call dengan Dimas, sedangkan bersama empat karakter lain, mereka sebatas dipertemukan di satu pesta ulang tahun. Lantas dimana letak upayanya? Apa fungsi keberadaan mereka selain demi meriuhkan suasana untuk sesaat? Saya justru melihat, Risa sangat menikmati kesendiriannya. Dia tak tampak peduli dengan Riri, dia juga tak menaruh minat pada Peter cs. Maksud saya, persahabatan antara si protagonis dengan kawan-kawan hantunya ini pun tak pernah dieksplorasi mendalam kecuali melalui satu dua kilas balik dan voice over. Itulah mengapa dikala Danur 3: Sunyaruri mengedepankan suatu momen emosional, saya tak mencicipi apapun. Karena saya tak pernah merasakan adanya korelasi pertemanan yang nrimo diantara mereka. Disamping itu, kehadiran momen ini dilangsungkan sempurna sesudah sebuah twist sangat menggelikan yang menciptakan saya lagi-lagi berujar, “hamba lelah dengan semua ini.” Tanpa ada isyarat, tanpa diberi petunjuk memadai (hanya melalui satu adegan berkenaan dengan toilet, duh!), sebuah adegan bersifat “pengungkapan misteri” muncul. Ketimbang memedulikan motif sang villain yang amburadulnya melebihi kamar aku, aku justru lebih penasaran dengan motif si pembuat film dalam menghadirkan adegan yang sungguh mengganggu ini. Mengapa harus ada? Whyyy???

Acceptable (2,5/5) 

Post a Comment for "Review : Danur 3: Sunyaruri"