Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Ad Astra


“I’m unsure of the future, but I’m not concerned. I will rely on those closest to me, and I will share their burdens, as they share mine. I will live and love.”

Setelah karirnya sebagai pemain drama pengganti dalam Once Upon a Time in Hollywood berakhir, ternyata tak butuh waktu usang bagi Brad Pitt untuk menerima pekerjaan gres. Tak tanggung-tanggung, beliau menjajaki profesi astronot yang memungkinkannya untuk berkelana ke luar angkasa dan mengunjungi banyak sekali planet diluar bumi. Keren sekali, bukan? Tentu, karir berbeda ini dijalani oleh Bung Pitt dalam film berbeda yang sekali ini berada di ranah fiksi ilmiah, Ad Astra. Lewat film isyarat James Gray (We Own the Night, The Lost City of Z), bintang film kesayangan kita semua ini berperan sebagai Major Roy McBride yang merupakan putra dari seorang astronot kenamaan, H. Clifford McBride (Tommy Lee Jones), yang konon tercatat dalam sejarah sebagai manusia pertama yang mencapai planet Neptunus. Mencetak rekor gilang gemilang dalam karir, sayangnya Clifford mendadak raib dalam misi dan diberitakan telah tiada oleh awak media. Guna berdamai dengan duka akhir kehilangan sang ayah, Roy pun menaruh perhatian sangat tinggi pada pekerjaannya serta enggan mengindahkan hal-hal remeh sehingga tak mengherankan jika catatan karirnya terhitung impresif. Setelah 16 tahun lamanya mencoba untuk mendapatkan kenyataan bahwa sang ayah memang telah tiada, SpaceCom datang-datang memberinya kabar mengejutkan yang menyatakan bahwa Clifford masih hidup. Mereka menyadarinya pasca menyelidiki asal muasal dari gelombang misterius “Gelora” yang menimbulkan kehancuran masif di bumi. Demi menyelamatkan peradaban manusia yang terancam oleh kehadiran “Gelora”, SpaceCom pun mengirim Roy dalam suatu misi diam-diam ke angkasa luar untuk berdialog dengan sang ayah.

Berpatokan pada sinopsis di atas maupun bahan promosi berupa trailer yang digebernya, mudah untuk menerka Ad Astra sebagai tontonan fiksi ilmiah yang mengedepankan misteri pada narasi maupun gegap gempita pada visual. Mengingat salah satu topik pembicaraan ialah mengenai korelasi antara ayah dan anak, aku pun tak menyalahkan kalau ada yang teringat pada Interstellar (2014) garapan Christopher Nolan yang turut mencekoki penonton dengan pembicaraan kompleks seputar lubang hitam dan teori relativitas. Tapi satu hal yang bisa saya katakan kepada kalian, Ad Astra tidak mengambil nada penceritaan serupa dengan film bersangkutan yang terhitung grande dan agak sedikit menyerupai Gravity (2013) atau First Man (2018) yang sunyi. Memang betul bahwa film ini masih mempunyai adegan-adegan berkelahi seru mirip ditunjukkan dalam trailer berupa kejar-kejaran dengan perompak di bulan atau serangan tak terduga di dalam pesawat luar angkasa. Namun James Gray sendiri tidak terlalu berniat untuk menekankan pada aspek keseruan atau misteri mengenai hilangnya ayah Roy atau bahkan tentang “Gelora” yang mengancam umat manusia, alasannya film sejatinya ingin berbicara dalam lingkup personal. Film ingin mengajak penonton untuk mengikuti perjalanan spiritual yang dilalui oleh seorang astronot bernama Roy yang digambarkan sebagai pribadi yang sangat bisa diandalkan oleh rekan-rekan kerjanya dan atasannya. Mendedah pikiran Roy yang seringkali diperlihatkan tidak pernah sekalipun terdistraksi oleh kasus-perkara kurang signifikan di sekelilingnya dan sangat fokus pada pekerjaannya – malahan bisa dibilang kelewat fokus sampai berada dalam level tak masuk akal.


Menilik topik obrolannya yang berkisar pada Roy si astronot, si pembuat film pun menentukan memperbincangkannya dengan nada pengisahan yang kontemplatif. Pelan, sunyi, dan hening. Sebuah pilihan yang tentunya tidak akan cocok dengan semua penonton – itulah kenapa banyak kritikus menyebutnya sebagai film yang “not for everyone” – terlebih bagi mereka mengharapkan sebuah sajian yang gegap gempita. Hanya ada sesekali momen yang menggenjot adrenalin, dan latar era depan yang sudah cukup berbeda dimana bulan telah dimanfaatkan sebagai daerah rekreasi untuk melepas penat pun tidak pernah dieksplorasi lebih mendalam. Saya eksklusif sempat mendamba Ad Astra akan memberi lebih banyak ruang guna mengulik bangunan dunianya, tapi saya lalu sadar, bukan itu keinginan Gray. Dia ingin menghadirkan karyanya ini sebagai sebuah menu filosofis yang meminta penonton untuk merenung. Tanda-tandanya pun telah jelas sedari awal, ialah penonton diperdengarkan pada voice over dari Brad Pitt yang mengungkap isi hati dan jalan pikiran dari huruf yang dimainkannya. Sesuatu yang hanya bisa didengar oleh kita, dan bukannya oleh abjad-huruf lain yang berinteraksi dengannya. Kenapa demikian? Ini tentu ada kaitannya dengan keinginan Roy untuk menjaga gambaran sebagai seorang astronot yang bisa diandalkan. Citra laki-laki tangguh. Mengutarakan perasaan dapat mengungkap kelemahan seseorang, dan mampu pula mendistraksi seseorang kepada hal-hal remeh. Roy ingin emosinya senantiasa stabil dengan detak jantung tidak pernah melewati angka 80 (bahkan di periode beliau berada dalam situasi darurat sekalipun!) sehingga menekan emosi-emosi negatif ialah jalan ninjanya.


Yang lalu menjadi pertanyaan ialah, apakah ini sehat? Apakah mengenyahkan emosi negatif alih-alih merangkulnya adalah cara terbaik untuk bertahan hidup? Dalam pandangan Roy, ini merupakan solusi. Namun sebagai penonton, kita bisa mendeteksi bahwa Roy sejatinya tersiksa dengan pilihannya. Brad Pitt memainkan tugas ini secara cemerlang dimana kita bisa melihat adanya ketidakbahagian melalui sorot matanya.  Dia kesepian, dia menderita, dan dia terang depresi. Toxic masculinity yang memaksanya untuk senantiasa bersikap tegar, telah memakannya hidup-hidup. Sebagai pengalih kesedihan, dia menenggelamkan diri pada pekerjaannya. Berkelana ke luar angkasa menjadi penghiburan baginya sebab situasi serba kosong serta sunyi di sana beresonansi berpengaruh dengan perasaannya. Melalui pekerjaannya pula, beliau merasa telah berkontribusi besar pada kemanusiaan. Roy menginspirasi banyak orang, Roy banyak membantu orang lain. Akan tetapi, apakah ini cara terbaik untuk menjadi seorang manusia? Tentu membantu sesama yaitu sebuah kebajikan. Namun jikalau ini berarti mengorbankan perasaan diri sendiri yang belum kunjung senang dan melukai hati orang yang paling mencintai kita mirip pasangan hidup atau keluarga, bukankah tetap saja mengurangi makna kita sebagai seorang manusia? Maksud saya, kita semestinya terlebih dahulu menciptakan relasi yang kondusif dan serasi dengan unit terkecil dan terdekat ialah keluarga, sebelum memutuskan untuk melaksanakan perubahan besar pada dunia. Clifford melupakan hal ini, begitu juga dengan Roy yang kentara mengikuti jejak sang ayah. Dampaknya, Roy menjadi seorang laki-laki yang tidak peka pada perasaan pasangannya (Liv Tyler) yang lantas meninggalkannya, dan Clifford meninggalkan stress berat serta luka di hati Roy yang memilih untuk menutupinya dengan mengagung-agungkan sang ayah.


Terdengar berat? Memang kenyataannya mirip itulah Ad Astra. Dibalik tampilan visualnya yang mengundang decak kagum sehingga membuatnya perlu untuk disaksikan di layar bioskop, dan kemasan luarnya yang seolah mengindikasikan bahwa ini yaitu hidangan berwujud space adventure dengan sentuhan cerita keluarga mengharu biru, Ad Astra sejatinya merupakan tontonan kontemplatif nan menggigit yang mengajak para penonton untuk merenungi wacana makna dibalik kehidupan dan kemanusiaan, seraya memperbincangkan soal mental health dan toxic masculinity. Memang sangat segmented yang menjadikannya susah menjangkau penonton secara luas. Tapi bila kau sama sekali tidak keberatan dengan pendekatan beserta topik pembicaraan yang diajukan, maka bisa jadi kamu akan dibentuk oleh jatuh hati kepadanya. Karena ya, Ad Astra adalah sebuah film yang sangat indah baik dari sisi visual maupun rasa.

Outstanding (4/5)

Post a Comment for "Review : Ad Astra"