Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Joker


“I used to think that my life was a tragedy, but now I realize, it’s a comedy.”

Siapa sih yang tidak mengenal Joker? Apabila kamu kerap bersentuhan dengan pop culture, abjad satu ini tentu tidak lagi ajaib. Memiliki perawakan menyerupai badut dengan kulit serba putih, rambut berwarna hijau menyala, dan bibir yang merah mengkilat, Joker dikenal sebagai supervillain yang menjadi lawan berat bagi pendekar andalan DC Comics, Batman. Dalam khasanah sinema Hollywood, psikopat dengan selera humor bernada gelap ini telah berulang kali dilakonkan oleh aneka macam aktor. Dari Jack Nicholson yang tampil bengis dalam Batman (1989), kemudian mendiang Heath Ledger yang menghidupkannya kolam penjahat sinting lewat The Dark Knight (2008) dimana ia dianugerahi piala Oscar, hingga Jared Leto yang cenderung komikal melalui Suicide Squad (2016). Menilik beragam interpretasi yang telah diberikan kepada sang penjahat, dan kesemuanya mesti diakui dimainkan secara gilang gemilang, maka saat Warner Bros. bersama DC Films berencana untuk mengkreasi sebuah film solo berbentuk origin story baginya, tentu ada satu tanya mengemuka: apa lagi pendekatan yang hendak diambil? Pada mulanya, aku sempat menerka Joker garapan Todd Phillips (Road Trip, trilogi The Hangover) bakal sedikit banyak mirip The Dark Knight. Tapi ternyata, film yang dicanangkan sebagai bagian dari DC Dark – pembiasaan eksperimental dengan nada penceritaan lebih gelap – alih-alih DC Extended Universe ini mengambil jalur sama sekali berbeda. Mengenyahkan unsur fantasi yang biasanya menempel erat pada tontonan berbasis komik kepahlawanan, Joker menjejakkan kakinya di ranah realis dimana film lantas mengajak penonton untuk memperbincangkan perihal mental illness dan situasi sosial politik remaja ini.

Dalam Joker versi termutakhir, sang abjad tituler ialah seorang badut bernama Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) yang pekerjaan sehari-harinya berkisar pada menghibur bawah umur di rumah sakit, mempromosikan toko memakai papan penanda di trotoar, serta apapun yang diminta oleh klien. Menjalani pekerjaan serabutan semacam ini terang bukan keinginan dari Arthur alasannya adalah ia sejatinya bermimpi untuk manggung sebagai seorang stand up comedian. Yang kemudian menghalanginya untuk mewujudkan mimpinya adalah, ia tak mempunyai dogma diri yang mumpuni. Sang ibu yang tinggal bersamanya, Penny (Frances Conroy), menganggap putranya tersebut tak cukup lucu dan Arthur sendiri masih belum menemukan formula yang pas dalam candaannya. Disamping ketiga faktor ini, satu alasan lain yang menciptakan sang karakter utama senantiasa dilingkupi keragu-raguan ialah penyakit kejiwaan yang dideritanya. Arthur mengidap pseudobulbar affect (PBA) yang membuatnya kerap tertawa terbahak-bahak secara mendadak di masa dirinya mengalami kegelisahan atau ketakutan. Lantaran penyakit yang diidapnya, Arthur kerap dipandang sebagai orang aneh serta mengalami perisakan dari begundal-begundal di Gotham City yang membuatnya memiliki pandangan negatif terhadap masyarakat. Dia menilai masyarakat yang tumbuh di lingkungan sekitarnya telah mengalami degradasi etika, sementara para kaum elit dipandangnya hanya mampu membual tanpa pernah berbuat signifikan untuk merubah keadaan. Akibat aneka macam situasi buruk yang terus menghampirinya ini, kondisi kejiwaan Arthur pun semakin tak stabil yang lantas memicunya untuk melaksanakan hal-hal mengerikan yang selama ini hanya menari-nari dalam pikirannya.


Tidak mirip tontonan live action lain yang melibatkan si badut, Joker bukanlah menu tabrak yang dipenuhi dengan spektakel gegap gempita di sepanjang durasinya. Phillips yang membesarkan namanya dari genre komedi menentukan untuk melantunkannya secara serius, realistis, serta kelam. Ini bukan soal supervillain berjulukan Joker yang menjalankan agresi-aksi sinting sampai bikin Batman kewalahan dalam menghadapinya, ini lebih ke proses terciptanya seseorang berjulukan Joker yang tak segan-segan bertindak keji. Guna mendedah transformasi sang karakter tituler dari insan biasa yang cenderung tak berdaya menjadi sesosok insan berbahaya yang mampu menggerakkan massa, Phillips menggunakan pendekatan studi huruf dalam menarasikan film terbarunya ini. Kita, sebagai penonton, didekatkan kepada Arthur untuk mengobservasinya demi melongok jalan pikirannya, demi mengetahui imbasnya kepada tindakan-tindakannya. Sebuah cara bercerita yang menarik dan ndilalah, Joker memang mempunyai aksara utama yang sangat kuat. Pada awal mula, Arthur tidak ditampakkan sebagai pribadi yang tega berbuat apapun demi membela dirinya. Malah, ia terlihat cukup simpatik. Berkenan untuk merawat sang ibu yang sudah berusia senja, berupaya untuk mengejar mimpi yang agak mustahil diwujudkan, berhadapan dengan rekan kerja yang bermuka dua, dan mengalami bullying dari orang-orang di sekelilingnya yang menganggapnya sebagai lelucon belaka. Diperankan secara luar biasa oleh Joaquin Phoenix yang rela menurunkan bobot tubuhnya sampai 24 kg, mustahil bagi penonton untuk tak menaruh rasa iba kepadanya. Lebih-lebih, Arthur juga masih harus berjuang dalam menghadapi penyakit kejiwaannya yang kerap berulah tanpa pernah pandang waktu maupun tempat. Penyakit kejiwaan yang semakin mengganas saat syok dan rasa sakit akibat penolakan, penghinaan, serta pengabaian bercampur menjadi satu.


Disokong musik menghantui gubahan Hildur Gudnadottir dan tangkapan kamera dari Lawrence Sher yang mengandalkan imbas bokeh untuk menonjolkan kesendirian Arthur, Joker mengondisikan penontonnya untuk senantiasa berada dalam perasaan tak nyaman. Entah itu sebab menyaksikan Arthur yang terus menderita sebab masyarakat menunjukkan penolakan secara jelas-terangan kepadanya, atau alasannya adalah melihat kondisi Gotham City yang carut marut (seperti negara ini). Ya, selain menyuarakan komentar sosial menyentil terkait perlakuan publik yang nihil empati kepada penyandang mental illness, film berlatar tahun 1981 ini juga menggelontorkan potret relevan mengenai situasi dunia yang semakin tidak kondusif. Ada pertentangan kelas antara kaum elit dengan rakyat kecil, lunturnya rasa kondusif dalam ruang publik dimana pelecehan seksual jamak terjadi, media yang gencar melakukan framing, kepemilikan senjata yang kelewat leluasa, hingga pemujaan berlebih terhadap suatu tokoh yang dinilai mewakili gerakan anarki. Itulah mengapa, jika kamu mengidap anxiety, depresi, atau mood sedang kacau, ada baiknya menghindari Joker. Apabila benar-benar ingin menyaksikannya, sangat disarankan untuk mencari pendamping dari keluarga atau kawan baik karena sungguh, ada efek psikologis yang mampu ditimbulkannya. Beberapa orang mengalami pusing, serangan kecemasan, dan saya eksklusif, uring-uringan. Rentetan adegan yang disodorkan oleh Phillips didominasi oleh aura pesimistis mengikuti pandangan Arthur kepada sekeliling yang acapkali negatif, lalu adegan kekerasan yang dimunculkannya pun tanpa tedeng aling-aling. Begitu sadis dengan daya sentak di level maksimal sampai-hingga aku memilih untuk mengalihkan pandangan sejenak dari layar guna mengatur nafas sekaligus emosi. Phew.

Mengedepankan nada pengisahan yang depresif, Joker yang sedikit banyak mengingatkan pada Taxi Driver (1976) ini memang tidak gampang untuk dikunyah. Selama durasi mengalun, kita menyaksikan pergulatan seorang anak manusia dalam menemukan kebahagiaannya. Arthur jatuh, lalu mencoba untuk berdiri hanya untuk tersungkur lebih dalam. Penokohan beserta akting Phoenix yang membumi – well, kita mampu menemui sosok seperti dia di sekitar kita – memungkinkan bagi penonton untuk bersimpati yang lambat laun berganti menjadi rasa ngeri tatkala Arthur menemukan jalan keluar bagi kesengsaraannya: balas dendam. Sedari sang tokoh utama menentukan untuk membela dirinya sendiri dengan cara ekstrim, perasaan sedih yang menguasai diri sedari awal pun berganti menjadi kegelisahan. Gelisah dalam menanti apa yang mungkin dilakukan oleh Arthur dalam persona barunya karena beliau telah berada pada posisi nothing to lose. Pada titik ini, Phillips seolah ingin berujar, “Joker ialah produk dari kekerasan, ketidakadilan, serta pengabaian sosial.” Alih-alih meminta penonton untuk memafhumi tindakan dan pilihan hidupnya, si pembuat film justru ingin memperlihatkan citra riil mengenai faktor yang melatarbelakangi terbentuknya seorang kriminal. Ada kompleksitas disana, tak seketika terbentuk tanpa alasan terang. Ini bisa kita anggap sebagai sebuah gosip, tetapi juga sebagai sebuah pengingat. Agar kita lebih peka kepada sesama, semoga kita memerlakukan manusia selayaknya insan, dan semoga kita menyadari bahwa mental illness yakni suatu kondisi yang sepatutnya ditangani secara serius. Bagus!  

Outstanding (4/5) 



Post a Comment for "Review : Joker"