Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Pretty Boys


“Miskin kaya itu bukan dari kantong, tapi dari hati.”

Pernah nggak sih kalian menonton televisi tanah air dan gemas bukan kepalang karena konten yang diajukan sungguh bikin mengelus dada? Tak perlulah menggunjingkan sinetron yang mungkin sudah terlampau sulit untuk ditolong, coba tengok gelaran berformat variety show atau talk show atau apapun sebutannya itu. Terlampau banyak gimmick, terlalu sering bersenda gurau sampai-sampai konsep acaranya pun kabur: ini sajian bincang-bincang, drama panggung atau dagelan sih? Ada kalanya diri ini kasihan dengan narasumber yang mampu jadi sudah berharap bakalan menyebarkan dongeng, tapi kesannya justru berakhir sebagai penonton. Menyaksikan para pemandu acara asyik sendiri. Kadang saya rindu dengan program-acara dari kurun lampau seperti Ceriwis yang menurut aku bisa menempatkan jokes sesuai porsinya sehingga penonton mampu terhibur sekaligus memperoleh berita dibutuhkan. Kalau sekarang sih porsi ngelawak atau ribut-ributnya yang lebih dikedepankan, sebodo amat dengan kandungan isi. Sungguh menguji kesabaran, yekan? Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia pertelevisian selama bertahun-tahun, Deddy Mahendra Desta tentu menyadari penuh mengenai pergeseran tren tersebut. Dia pun menyadari, ada beragam intrik dari rahasia yang mampu diceritakan kepada khalayak ramai. Merekrut musisi Tompi untuk menjajal nikmatnya bangku penyutradaraan, doi pun melahirkan Pretty Boys yang kentara terlihat diniatkan sebagai kritik terhadap dunia pertelevisian tanah air yang semakin lama semakin asing ini.

Guna menggulirkan narasi, Pretty Boys yang naskahnya ditulis oleh Imam Darto (Coblos Cinta) ini menempatkan duo Deddy Mahendra Desta-Vincent Rompies di garda terdepan. Bukan sebagai diri mereka sendiri, melainkan melakonkan dua teman berjulukan Rahmat (Desta) dan Anugerah (Vincent) yang telah bermimpi untuk terjun ke dunia hiburan sedari kecil. Demi mewujudkan mimpi, keduanya pun nekat mengadu nasib ke Jakarta dimana karir mereka justru mentok sebagai pelayan dan koki di sebuah bar yang sepi pengunjung. Untuk menambah penghasilan sehari-hari, mereka hingga kudu mengambil pekerjaan sampingan yang tak jarang sangat merepotkan. Berjuang bersama tanpa hasil yang positif selama dua tahun lamanya, impian mereka tanpa dinyana-nyana mendadak terwujud sehabis keduanya menjadi penonton bayaran di sebuah talk show bernama Kembang Gula. Penampilan heboh mereka menarik perhatian sang produser, Bayu (Imam Darto), yang lantas menawari duo Rahmat-Anugerah untuk mengisi posisi sebagai co-host. Berhubung kesempatan ini telah usang dinanti-nanti, mereka pun tak ragu-ragu untuk menerimanya meski ini berarti harus rela didandani mirip perempuan. Dalam perjalanan karir yang semakin melambung, sayangnya nasib baik tak selalu menyertai mereka. Berbagai konflik besar turut menghadang yang melibatkan seorang wanita berjulukan Asty (Danilla Riyadi) yang diperebutkan oleh Anugerah dan Rahmat, seorang manajer manipulatif bernama Roni (Onadio Leonardo), hingga seorang ayah yang kesepian di kampung halaman, Jono (Roy Marten).


Pretty Boys yaitu film yang menyenangkan. Begitulah reaksi pertama yang terbentuk di benak saya selepas menyaksikannya di bioskop. Apabila kau terbilang rajin mengikuti sepak terjang duo Desta-Vincent masa memandu program – sekarang mereka mampu ditengok dalam program bertajuk Tonight Show di NET TV – maka tentu mengetahui bahwa chemistry ialah hal terakhir yang bisa kau khawatirkan dari mereka. Keduanya sudah sangat teramat klop kala disandingkan di televisi, dan itu berhasil pula diejawantahkan ke dalam lakonan akting ini. Cara mereka bertukar dialog, menanggapi guyonan receh satu sama lain, maupun masa bertengkar, tampak amat aktual. Apa adanya. Alhasil, penonton pun tak mengalami kesulitan untuk meyakini bahwa Rahmat dan Anugerah memang telah akrab sedari kecil. Kita tertambat pada aksara ini, lalu kita bersimpati, dan pada jadinya, kita pun berharap mereka mampu merengkuh kesuksesan yang selama ini diidam-idamkan. Masa-masa dimana duo sobat ini memandu acara Kembang Gula adalah kurun-masa terbaik bagi Pretty Boys dalam menghantarkan elemen komedik sekaligus komentar menyentil terhadap dunia pertelevisian. Tentang eksploitasi tugas pria feminin guna mengundang gelak tawa, perihal “permainan” dibalik suatu program televisi, wacana program bincang-bincang yang memberi pementingan pada sikap nyeleneh host alih-alih obrolan dari narasumber, tentang produser yang tunduk terhadap rating, perihal kongkalikong antara produser dengan manajer, wacana selebritis yang mengalami star syndrome di era karirnya melesat, hingga wacana mengobral problem pribadi di hadapan jutaan pasang mata.

Di era narasi Pretty Boys mencapai pada titik Rahmat terlihat terlena dengan dunia barunya, sementara Anugerah justru mengalami kegamangan karena masih menyimpan kekhawatiran akan melukai perasaan sang ayah, saya sejatinya mengalami kecemasan. Apakah Tompi bisa mengalihkan nada penceritaan ini secara mulus, atau justru membuatnya terasa janggal mirip dua film berbeda? Tanpa membawa pengharapan tinggi, nyatanya Tompi sanggup membuktikan bahwa kekhawatiran aku terlalu berlebihan – dan sinis. Momen-momen dramatik yang berlangsung dalam Pretty Boys, mampu dibilang sama gregetnya dengan momen-momen di saat film ini berkelakar. Si pembuat film memperlihatkan sensitivitas yang baik dalam memperbincangkan topik wacana keluarga, persahabatan, dan pengorbanan. Ndilalah, film juga diberkahi oleh jajaran pelakon yang mumpuni. Duo Desta dan Vincent yang tampil sedemikian asyik periode ngelaba, rupanya tak kagok ketika diminta untuk memasang mimik serius seraya meneteskan satu dua air mata. Vincent pun mampu mengimbangi Roy Marten yang menghadirkan performa gemilang sebagai seorang ayah kaku yang mengalami kesulitan dalam menunjukkan rasa sayangnya kepada putra semata wayangnya. Ada haru sekaligus pedih dalam adegan Pak Jono menonton televisi untuk pertama kalinya, ada pula tawa dalam adegan banting pintu yang lucu. Berkat kehangatan yang timbul pada paruh kedua serta keasyikan yang menghiasi paruh awal, aku pun mampu tersenyum dikala melangkahkan kaki ke luar bioskop. Saya juga sedikit banyak masih mampu menerima kekurangan Pretty Boys yang terdiri dari: 1) Danilla Riyadi yang perannya tidak pernah benar-benar dimaksimalkan (tanpa sosok Asty pun film ini masih mampu jalan), serta 2) ending yang terlampau terburu-buru padahal ada pesan bagus yang sesungguhnya mampu diutarakan dari sana.

Exceeds Expectations (3,5/5)



Post a Comment for "Review : Pretty Boys"