Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Christopher Robin


“People say nothing is impossible, but I do nothing every day.” 

Jangan tertukar dengan Goodbye Christopher Robin (2017) rekaan Simon Curtis yang dibintangi oleh Domhnall Gleeson dan eneng Margot Robbie, Christopher Robin ialah adaptasi live action untuk rangkaian film animasi Winnie the Pooh keluaran Disney layaknya Maleficent (2014) atau Cinderella (2015). Guliran pengisahannya murni berpijak di area fantasi, alih-alih mirip film berjudul nyaris sama yang berkutat di area biopik dengan menyoroti kisah hidup si pencipta kisah para penghuni Hundred Acre Wood, A.A. Milne. Dalam Christopher Robin (ingat, tanpa aksesori kata Goodbye ya!), Marc Forster yang sebelumnya membesut film-film kece mirip Finding Neverland (2004) beserta Stranger than Fiction (2006) ini mengetengahkan pada ajang reuni antara si huruf tituler dengan sahabat-sobat abad kecilnya, termasuk Pooh si beruang madu, usai berpisah puluhan tahun. Penonton tak semata-mata diajak bernostalgia dengan mengikuti petualangan polos Pooh beserta kawan-kawannya seperti dituangkan dalam film-film animasinya (terakhir kali mereka berkelana bersama pada tahun 2011 silam melalui Winnie the Pooh), melainkan turut diperdengarkan narasi dengan nada penceritaan yang lebih akil balig cukup akal, kompleks, dan muram terkait krisis paruh baya. Sebuah pendekatan yang terbilang cukup berani mengingat film ini mengincar keluarga sebagai target utamanya – disamping para penggemar Pooh, tentu saja.  

Dibuka dengan adegan bernada sendu yang menempatkan Christopher Robin cilik (Orton O'Brien) di sebuah pesta perpisahan yang dihadiri oleh Pooh (disuarakan oleh Jim Cummings), Eeyore (Brad Garrett), Piglet (Nick Mohammed), Tigger (Jim Cummings), Rabbit (Peter Capaldi), Owl (Toby Jones), Kanga (Sophie Okonedo), dan Roo (Sara Sheen), sejurus lalu film memberikan sederet fase hidup yang dilalui si abjad utama dalam beberapa tahun ke depan. Christopher Robin memasuki sekolah asrama, kehilangan sang ayah, menikahi perempuan idamannya, bergabung dengan militer kemudian diterjunkan ke medan pertempuran pada Perang Dunia II, dikaruniai seorang putri, hingga jadinya menekuni profesi efficiency expert di sebuah perusahaan koper sebagai mata pencaharian utamanya. Sepintas, sekalipun melewati masa kecil yang tak mengenakkan, Christopher Robin sampaumur (Ewan McGregor) berhasil mencapai kehidupan yang ideal. Istrinya cantik, putrinya bagus, dan pekerjaannya mapan. Apa lagi yang kurang? Bagi sang istri, Evelyn (Hayley Atwell), nyaris tak memiliki kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga yaitu kekurangan yang dimiliki suaminya. Christopher terlampau sibuk berjibaku dengan pekerjaannya sampai-sampai absen dari janjinya untuk menemani istri dan anaknya berlibur sejenak. Ditengah-tengah kepenatan hidupnya ini, Christopher menerima kunjungan tak terduga dari seorang mitra usang yang mengingatkannya kembali mengenai makna hidup yang bekerjsama. 



Sebagai seseorang yang tumbuh besar bersama Winnie the Pooh dan mitra-kawan, menyaksikan Christopher Robin tak ubahnya sedang mengikuti sebuah reuni bersama teman kala kecil. Sebuah reuni yang menyenangkan sebab aku berkesempatan untuk melepas rindu dengan kawanan penghuni Hundred Acre Wood, bernostalgia dengan periode-era indah yang penuh gelak tawa, dan mendengarkan banyak dongeng menarik mengenai pengalaman hidup yang penuh suka murung. Mengingat selama beberapa tahun terakhir ini tidak disuguhi cerita petualangan kecil mereka, kerinduan yang sudah tak terbendung lagi ini rasanya dibayar tuntas oleh Christopher Robin. Sensasi yang diberikan oleh Marc Forster di sini boleh dibilang tidak jauh berbeda dari bahan sumbernya. Sisi magisnya masih bisa saya rasakan sedari film membawa kita menjejakkan kaki di Ashdown Forest, sumber ide A.A. Milne untuk mengkreasi Hundred Acre Wood yang sekali ini dimanfaatkan sebagai lokasi pengambilan gambar. Ada kebahagiaan tersendiri selama menyimak Pooh berinteraksi dengan konco-konconya termasuk Christopher yang kini kurang dekat, lalu melihat Piglet, Tigger, beserta Eeyore bersatu padu dengan Pooh untuk menyelamatkan sobat akil balig cukup akal mereka, dan menyaksikan kawanan ini tak berubah sedikitpun secara karakteristik sekalipun telah berpisah puluhan tahun dari Christopher. Pooh tetap beruang lugu yang perutnya mudah keroncongan, Piglet tetap si penakut berhati emas, Tigger tetap kelebihan energi dengan hobinya mantul kesana kemari memakai ekor, dan Eeyore yang menjadi karakter favorit saya di sini tetap memancarkan aura negatif ke segala penjuru. 

Kebersamaan abjad-aksara ini (sayangnya, Rabbit hanya muncul sebentar) membawa banyak kesenangan untuk film. Lebih-lebih, barisan pengisi suaranya mirip Jim Cummings (telah bergabung dengan franchise Winnie the Pooh sedari penghujung era 1980-an), Brad Garrett, serta Nick Mohammed pun mampu menunjukkan nyawa dalam bunyi abjad-aksara yang mereka perankan. Penonton cilik yang sebelumnya tak mengenal mereka akan dibuat terkekeh-kekeh menyaksikan tingkah polah konyol kawanan berwujud boneka binatang ini terutama Pooh yang seringkali bertindak ceroboh dan Tigger yang penuh semangat, sementara penonton remaja juga tidak akan mengalami kesulitan untuk tertawa berkat barisan dialognya yang amat menggelitik. Terselip filosofi hidup secara tanpa sengaja dibalik komentar polos Pooh terhadap apapun di sekitarnya (paling membekas berkenaan dengan 'tidak melakukan apapun'), kemudian Eeyore dengan komentar muramnya yang sarat keluhan bakal sedikit banyak mengingatkan kita kepada, errr... diri sendiri yang tak jarang bersikap pesimis, mudah mengeluh, dan rajin banyaomong dalam memandang kehidupan sampaumur ini. Alhasil, tidak terhitung berapa kali aku tertawa secara impulsif setiap kali Eeyore membuka ekspresi alasannya apa yang diucapkannya bak sentilan sentilun kepada manusia modern yang mirip tak bisa membedakan antara realistis dengan pesimistis. Dia menjadi semacam antitesis bagi Pooh maupun Tigger yang memiliki perspektif nyata untuk setiap persoalan yang dihadapi.
 

Disamping para 'hewan' ini, Christopher Robin juga masih memiliki huruf tituler yang lebih difungsikan untuk menangani momen dramatik. Ewan McGregor tunjukkan performa cantik cenderung depresif sebagai Christopher remaja yang telah menekan habis sisi kanak-kanaknya demi menjangkau ambisinya mencapai kejayaan dalam karir. Narasi seputar orang dewasa yang telah melupakan periode kecilnya sebab menganggapnya bertentangan dengan realita sejatinya bukan lagi hal baru dalam sinema Hollywood (salah satu yang terbayang yaitu Hook (1991) milik Steven Spielberg), namun penyampaian Forster yang membubuhkan banyak hati ke dalam narasi membuatnya mampu untuk mempermainkan emosi. Diri ini merasa tersentuh, tersentil, kemudian diajak berkontemplasi untuk sesaat tatkala film mengajak kita untuk mengingat kembali ke abad kecil yang dipenuhi khayalan positif tanpa prasangka, mengingat lagi ke periode kecil yang membentuk kita sehingga berada di titik ini, mengingat lagi teman-sahabat baik yang kita tinggalkan dengan komitmen palsu berbunyi “saya tidak akan melupakan kalian”, mengingat lagi hal-hal yang membuat kita merasakan kebahagiaan, mengingat lagi apa yang telah kita berikan untuk keluarga, sampai jadinya diajak untuk meninjau kembali pengorbanan-pengorbanan yang telah kita ambil demi tercapainya suatu mimpi. Mempunyai pembicaraan sedewasa serta sekompleks ini, tak ayal besar lengan berkuasa pada laju penceritaan Christopher Robin yang ada kalanya melambat dan bisa jadi memberi rasa jenuh pada penonton cilik. 

Untungnya, Forster sigap menyadari ancaman tesebut sehingga tak membutuhkan waktu usang baginya untuk memberi kompensasi berupa petualangan mengasyikkan bertabur humor segar yang berlangsung sedari protagonis utama kembali ke Hundred Acre Wood hingga ujung durasi. Selama itu pula kita mampu terbahak-bahak, menyeka air mata haru, hingga memperlihatkan pelukan kepada diri sendiri alasannya Christopher Robin yaitu sebuah film yang bisa dideksripsikan dengan gampang memakai satu kata, yaitu indah.

Info layanan masyarakat : Terdapat sebuah adegan bonus di sela-sela end credit.

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : Christopher Robin"