Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Returning


“Mama ngerasa ada yang abnormal ga semenjak Papa balik?” 

Ada dua hal yang menggelitik rasa ingin tau dalam diri terhadap The Returning garapan Witra Asliga (sebelumnya, beliau menyumbang segmen Insomnights untuk film omnibus 3Sum). Pertama, pilihan makhluk penerornya yang tak lazim bagi film horor Indonesia era sekarang. Ketimbang menggaet pocong, genderuwo, kuntilanak, beserta kerabat-kerabat mereka yang sudah tak canggung berlakon di depan kamera, Witra justru mendaulat makhluk misterius yang melalui bahan trailer sedikit banyak mengingatkan pada creature keji dari trilogi Jeepers Creepers. Kedua, The Returning menempatkan Laura Basuki yang belum pernah mengambil tugas di film horor sebagai pemain drama utama. Mengingat aktris penggenggam Piala Citra ini tergolong selektif dalam mendapatkan job, aku pun bertanya-tanya: apa keistimewaan dari naskah gubahan si pembuat film sampai-hingga Laura Basuki tergiur untuk ikut bermain? Ditambah eksistensi Ario Bayu yang belakangan sedang laku bagus, Tissa Biani yang mencuri perhatian berkat aktingnya di 3 Nafas Likas (2014), serta Muzakki Ramdhan yang baru-gres ini menciptakan aku kagum melalui Folklore: A Mother’s Love, antisipasi saya kepada The Returning yang sudah dipersiapkan sedari tahun 2014 ini pun cukup tinggi. Lebih-lebih, film ini tampak menunjukkan menu berbeda dibanding film horor Indonesia kebanyakan. 

Dalam The Returning, kita dipertemukan dengan satu keluarga yang konfigurasinya terdiri dari Colin (Ario Bayu), Natalie (Laura Basuki), Maggie (Tissa Biani), serta Dom (Muzakki Ramdhan). Kebahagiaan keluarga kecil ini lantas terusik ketika Colin terjatuh dalam sebuah pendakian tebing dan tubuhnya tak pernah ditemukan. Selama tiga bulan, Natalie masih enggan menerima kenyataan bahwa Colin mungkin telah berpulang, sementara Maggie dan ibunda Colin (Dayu Wijanto) merasa sudah saatnya untuk melanjutkan hidup dengan merelakan kepergian Colin. Pertikaian demi pertikaian pun menghiasi kekerabatan ketiga manusia ini yang dipicu oleh kengeyelan Natalie mengenai status sang suami, sampai kemudian para karakter yang sedang berusaha berdamai dengan duka tersebut dikejutkan oleh satu ketukan pintu. Tak ada yang menyangka, tak ada pula yang menduga, Colin akan datang kembali di suatu malam. Wujudnya masih mirip dikala ia meninggalkan rumah, bahkan dokter pun menyatakan beliau baik-baik saja. Kalau begitu, apa yang bekerjsama terjadi sampai ia menghilang tanpa jejak selama tiga bulan lamanya? Colin sendiri tidak bisa mengingatnya dengan terperinci. Hanya saja semenjak kedatangannya, serangkaian ketaknormalan turut menghantui keluarga ini. Meski Natalie lagi-lagi menganggap segalanya baik-baik saja, Maggie merasa ada sesuatu yang salah dengan ayahnya. 



Selaiknya Kafir Bersekutu dengan Setan dan Jaga Pocong tempo hari, The Returning pun mengaplikasikan laju pengisahan yang lambat memanas alias slowburn. Tujuannya, guna mengenal lebih erat keluarga kecil yang menjadi sentral dongeng, memahami kondisi psikologis mereka terkait bagaimana masing-masing personil berdamai dengan kehilangan, hingga alhasil kita pun mampu menyematkan simpati. Beruntung bagi Witra, barisan pemainnya memberikan kapabilitas dalam menangani momen dramatik yang menghiasi separuh durasi awal ini. Laura Basuki tampak ringkih disegala luapan kemarahannya yang memperlihatkan bahwa ia tidak ingin harapannya dipadamkan, Tissa Biani terlihat tegar (sekaligus galak) dalam upayanya untuk membentengi diri dari kesedihan atas kepergian dan kekecewaan atas sikap sang ibu, kemudian Ario Bayu yang tampak kebingungan dengan peristiwa yang gres saja dihadapinya. Sosok Colin tak ubahnya personil lain dalam keluarganya maupun penonton, bertanya-tanya mengenai apa yang bantu-membantu telah terjadi. Keberadaan tiga pelakon utama ini – sayangnya Muzakki Ramdhan tak banyak memperoleh kesempatan, sementara Dayu Wijanto kerap terbentur oleh pengucapan dialog yang janggal – bisa mengompensasi sisi narasi yang tak terlalu nyaman buat diikuti lantaran transisi antar adegan yang kurang mulus plus laju penceritaan yang terlalu lambat di permulaan dan terlalu tergesa di penghujung. 

Ya, si pembuat film menghabiskan banyak waktu untuk menyoroti kegundahan Natalie beserta anak-anaknya termasuk melibatkan beberapa huruf yang sejatinya tidak mempunyai kontribusi apapun terhadap penceritaan dan mampu saja dihempaskan guna menghemat durasi (misal: sahabat Natalie, saudara Natalie, serta teman Maggie yang cemburu). Mulanya sih tidak ada keluhan berarti, kemudian ini berlangsung kelewat panjang yang seketika menggelisahkan aku. Bukan disebabkan oleh atmosfer mengusik kenyamanan yang terbangun dari rumah Colin, melainkan sebab film serasa jalan di tempat. Teror tak kunjung mengalami eskalasi sementara The Returning telah menapaki satu jam pertama. Dimanakah si makhluk peneror itu? Seperti apa wujudnya? Kenapa beliau meneror keluarga Colin? Apa kepentingannya? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkelebat hingga si dia alhasil nongol yang mempersembahkan kita satu dua momen yang bikin terlonjak dari dingklik bioskop. Usai menampakkan wujudnya kepada penonton – konon, pandangan baru pembuatannya dari sesosok makhluk yang ‘dilihat’ Witra ketika berkunjung ke Bali – sayangnya ketegangan tak lantas meruncing. The Returning masih mencoba untuk mengajak penonton bermain ‘petak umpet’ dengan si makhluk tanpa menyadari bahwa kuota durasi telah menipis. Alhasil, dikala menginjak babak pengungkapan, tempo film mendadak melesat tak terkendali. Beberapa momen yang memungkinkan kita untuk terlibat secara emosi pun lewat begitu saja saking minimnya kesempatan untuk mencerna apa yang bergotong-royong terjadi. Kita tidak dibentuk terkejut, takut, maupun terenyuh padahal hamparan adegan di layar mengarahkan penonton untuk merangkul sensasi rasa tersebut. Sungguh disayangkan.

Acceptable (2,5/5)



Post a Comment for "Review : The Returning"