Review : War For The Planet Of The Apes
“I did not start this war. I offered you peace. I showed you mercy. But now you're here. To finish us off, for good.”
Usai sebuah virus bernama Simian Flu menyebar ke seantero dunia di penghujung instalmen pertama dari trilogi prekuel ini, perlahan tapi niscaya jumlah simpanse yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata membengkak sementara populasi manusia terus menyurut secara drastis. Menyadari bahwa peradaban manusia berada di ujung tanduk, banyak sekali upaya untuk menundukkan pertumbuhan masif monyet-kera cerdas pun terus dilakukan oleh faksi-faksi militan. Koba, salah satu monyet yang menyimpan dendam pada insan karena pernah menjadi materi eksperimen, tentu tak tinggal membisu mengetahui adanya upaya pemberantasan ini sehingga ia pun menghimpun pasukan yang berasal dari kaumnya sendiri untuk memerangi insan-insan keji di seri kedua. Pertentangan antara insan dengan para monyet berotak brilian selama bertahun-tahun ini karenanya mencapai titik kulminasinya dalam War for the Planet of the Apes. Melalui jilid ketiga, Matt Reeves yang turut membesut instalmen sebelumnya, Dawn of the Planet of the Apes, menghadirkan peperangan penting yang bukan saja menentukan periode depan dari dua spesies tersebut di muka bumi tetapi juga membentuk jalan menuju semesta yang dihadirkan oleh Planet of the Apes rilisan tahun 1968 selaku dedengkot franchise ini.
Kematian Koba (Toby Kebbell) di film kedua nyatanya tak mengubah keadaan sedikitpun. Para manusia terus melacak keberadaan para monyet yang tersisa, utamanya kelompok dari Caesar (Andy Serkis) yang kini memilih untuk bersembunyi jauh di dalam hutan. Namun persembunyian ini tak bertahan usang alasannya pada menit-menit pertama War for the Planet of the Apes, penonton pribadi mendapati fakta bahwa persembunyian Caesar telah terendus. Pertempuran tak lagi terelakkan yang mula-mula dimenangkan dengan gampang oleh pihak insan sampai lalu keadaan berbalik ketika sang pemimpin kaum monyet yang tidak lain adalah Caesar menetapkan untuk turun tangan dan mengerahkan pasukan perangnya. Beberapa prajurit yang selamat dari pertempuran tersebut lantas dibawa sebagai tawanan ke markas para monyet yang belakangan dilepas oleh Caesar demi menyampaikan pesan perdamaian ke atasan mereka, Kolonel (Woody Harrelson). Alih-alih menyanggupi permohonan untuk berdamai, Kolonel yang kini telah mengetahui secara pasti lokasi markas para kera justru membantai keluarga Caesar. Diliputi amarah yang meluap-luap, sang raja monyet pun memutuskan untuk meninggalkan kawanannya dan menempuh perjalanan panjang guna membalas dendam pada Kolonel.
Setidaknya di 15 menit awal, War for the Planet of the Apes memenuhi usul dari khalayak ramai yang berbondong-bondong memenuhi gedung bioskop: peperangan yang seru. Selepas menyegarkan ingatan penonton mengenai alur penceritaan dari dua seri sebelumnya, Matt Reeves tanpa banyak berbasa-basi eksklusif menempatkan kita di tengah-tengah penyergapan. Secara silih berganti, terdengar suara tembakan, kemudian suara anak panah dilesakkan. Untuk ukuran sebuah film yang mengantongi rating PG-13 (13 tahun ke atas), pemandangan yang terhampar di adegan pembuka ini terhitung kelam – meski ya, darah tidak terlalu nampak alasannya adalah cahaya nyaris mangkir. Intensitasnya pun tinggi. Ada baiknya, penonton cilik yang mudah ketakutan atau merengek, tidak diajak ikut serta menonton War for the Planet of the Apes di bioskop sebab nuansa yang dikedepankannya menyesakkan sekaligus menghantui. Keputusan yang cukup mengagetkan bergotong-royong mengingat seri ini diniatkan sebagai tontonan eskapisme untuk menyemarakkan liburan panjang. Usai pertempuran pertama di film yang dimenangkan oleh pasukan Caesar, nada penceritaan kian muram. Pemicunya, Kolonel menyelinap masuk ke markas para monyet lalu membunuh istri dan putra sulung Caesar. Belum sempat kita pulih dari serangan membabi buta, hati kembali dibuat terhenyak dengan akhir hayat tak disangka-sangka.
Canggihnya efek khusus yang membuat kita yakin bahwa para monyet ini faktual adanya – bukan sebatas hasil kreasi komputer – mampu mentranslasi perubahan mimik wajah dari Andy Serkis secara sempurna. Berkatnya, kita mampu mendeteksi adanya kepiluan, amarah, sekaligus kebencian yang melahirkan obsesi untuk membalas dendam dalam tubuh Caesar. Perlahan tapi pasti, jiwa Koba yang coba ditolaknya merasuk ke dalam dirinya. Dari sini, laju pengisahan film yang semula bergegas mulai melambat. Reeves ingin fokus kepada pertumbuhan aksara dari Caesar dengan menunjukkan peperangan sang protagonis dalam menekan sisi gelapnya yang mulai tumbuh tak terkendali. Sosok insan yang mengayomi para kera tak lagi nampak disini dan sebagai gantinya, Caesar memperoleh derma serta wejangan dari sesamanya mirip Maurice yang bijak (Karin Konoval), Rocket yang setia (Terry Notary), Luca yang pemberani (Michael Adamthwaite), dan Bad Ape (Steve Zahn) yang celetukan berikut tindak tanduk menggelitiknya difungsikan untuk memberi sedikit keceriaan di sela-sela nuansa yang nyaris melulu tegang seperti bagaimana semestinya suatu medan peperangan. Disamping mereka, masih ada pula sesosok perempuan cilik bernama Nova (Amiah Miller) yang keberadaannya tidak saja memberi tribute pada Planet of the Apes tetapi juga untuk mengingatkan Caesar mengenai sisi ‘manusiawi’ dari dirinya.
Ya, War for the Planet of the Apes bukan semata-mata sebuah spektakel pengisi liburan musim panas yang disesaki rentetan sekuens eksplosif – kau akan mendapatinya di titik puncak seru film ini – alasannya Matt Reeves mencoba pula untuk bercerita, mencoba memberi penutup layak bagi sebuah trilogi prekuel/reboot, dan mencoba membangun jembatan penghubung antar franchise yang dapat diterima dengan baik. Dalam War for the Planet of the Apes, selain menyoroti usaha beserta tumbuh berkembangnya Caesar sebagai suatu abjad sehingga pada jadinya kita mampu memahami mengapa beliau sangat pantas menyandang gelar ‘pemimpin sejati’, Reeves turut menyinggung berita gelap nan sensitif semacam rasisme, kekejaman peperangan, sampai sisi kelam makhluk hidup mencakup dendam dan ambisi yang disisipkannya secara cerdik ke dalam penceritaan bersama Mark Boomback. Alhasil, naskah War for the Planet of the Apes terasa bernas tanpa pernah terjerumus menjadi pretensius. Ini lantas diolah oleh Reeves menjadi bahasa gambar yang megah, mendebarkan, mengusik pikiran sekaligus menyayat hati. Kecakapan Reeves mampu menempatkan War for the Planet of the Apes sebagai penutup trilogi yang amat baik sekaligus salah satu menu trend panas paling berkesan tahun ini.
Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_8jiV
Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_8jiV
Outstanding (4/5)
Post a Comment for "Review : War For The Planet Of The Apes"