Review : Arini
“Kenapa kau selalu optimis, Nick?”
“Karena kau selalu pesimis. Dan sebab itu pula Tuhan menciptakanku untuk mendampingimu.”
Ada banyak alasan mengapa seseorang memiliki ketertarikan untuk menyaksikan rilisan terbaru dari MAX Pictures, Arini. Bisa jadi beliau memang menyukai film-film percintaan yang menciptakan baper. Bisa jadi ia ingin tau karena taktik promosinya amat gencar apalagi trailernya memang elok. Bisa jadi dia ingin melihat garapan terbaru dari seorang Ismail Basbeth selepas dibuat terkesima oleh Mencari Hilal (2015), salah satunya seperti aku. Bisa jadi ia yakni penggemar sejati dari duo pemain utama, Aura Kasih-Morgan Oey. Bisa jadi ia terpikat oleh premis ceritanya yang terbilang tidak umum untuk ukuran film romansa tanah air terkait kekerabatan asmara dua sejoli yang mempunyai perbedaan umur cukup jauh. Dan mampu jadi pula, beliau ialah generasi lawas yang ingin menyaksikan interpretasi baru dari novel rekaan Mira W bertajuk Masih Ada Kereta yang Akan Lewat yang sebelumnya telah diubahsuaikan ke format film layar lebar di tahun 1987 dengan bintang Widyawati dan Rano Karno. Ya, Arini memang memiliki aneka macam alasan untuk menarik perhatian seseorang sehingga dikala digoreskan di atas kertas membuatnya tampak seperti tontonan percintaan yang menjanjikan… sampai kamu melihat sendiri hasil akhirnya yang penuh dengan problem. Alhasil, bahan anggun dan tim dengan jejak rekam tidak main-main yang diusungnya pun tersia-siakan begitu saja.
Duo sejoli yang dimabuk asmara dalam Arini ialah Arini (Aura Kasih) dan Nick (Morgan Oey) yang bertemu untuk pertama kalinya dalam sebuah perjalanan menggunakan kereta api di Jerman. Nick yang tidak membawa tiket mencari celah biar tidak bermasalah dengan kondektur dan melihat Arini sebagai dewi penyelamat. Lebih dari itu, Nick yang masih menimba ilmu di London sebagai mahasiswa, jatuh hati pada pandangan pertama dengan Arini yang usianya 15 tahun diatasnya. Berbagai topik obrolan dilontarkan demi menarik minat Arini yang senantiasa menanggapi setiap celotehan Nick secara masbodoh. Dari pertemuan perdana yang janggal tersebut, berharap mampu melihat dua manusia ini bersatu memang tampak tidak mungkin. Terlebih, Arini menyimpan luka lama akhir dikhianati oleh mantan suaminya, Helmi (Haydar Saliz), dan sahabatnya, Ira (Olga Lydia), sehingga beliau tidak lagi mempercayai apa yang disebut dengan ‘cinta’. Meski kerap menerima penolakan dari Arini yang ketusnya bukan main ini, Nick tidak menyerah begitu saja. Segala upaya dia kerahkan semoga hati perempuan pujaannya ini luluh termasuk mendatangi apartemennya, mengajaknya jalan-jalan, mengobrol panjang lebar (lebih tepatnya menggombal sih), sampai menghadapi pribadi Helmi yang tiba-tiba kembali masuk ke dalam kehidupan Arini setelah sebuah diam-diam besar terbongkar.
Menengok siapa-siapa yang berkontribusi terhadap Arini – berkaca pula pada materi sumber dan versi lawasnya yang disambut amat antusias baik oleh penonton maupun pengamat film – sudah barang tentu ada antusiasme tersendiri era hendak menonton film ini. Terlebih, aku memang ‘kecanduan’ film romansa dan menggemari karya-karya Ismail Basbeth (termasuk film pendek buatannya). Akan tetapi, segala rasa bungah yang menyelimuti diri kala melangkahkan kaki ke dalam bioskop seketika rontok serontok-rontoknya hanya beberapa menit usai film memulai guliran pengisahannya. Cara si pembuat film mempertemukan kita dengan Arini dan Nick terasa janggal yang seketika mengakibatkan pertanyaan, “kok si kondektur tidak mengecek toilet tempat Nick bersembunyi ya? Dan kenapa Nick mesti minta tolong ke Arini dengan menitipkan tas dan sebagainya kalau pada jadinya Arini juga tidak membantu apapun?”. Jangan harap pertanyaan ini akan terjawab dan jangan harap pula akan mendapat penjelasan memuaskan soal siapa mereka berdua karena film melaju secara tergesa-gesa. Apa benar saya sedang menonton Arini? Ini bukan remake dari Speed yang dulu dibintangi oleh Keanu Reeves dan Sandra Bullock kan? Oke, membandingkan Arini dengan Speed memang sangat berlebihan. Tapi mau bagaimana lagi, laju pengisahan dua film ini sama-sama ngebut. Wusss, wusss, wusss. Menonton Arini kolam tengah menyaksikan film bergenre adu yang mengajak penonton melompat-lompat dari satu sekuens laga ke sekuens laga yang lain tanpa benar-benar memperhatikan perkembangan karakter.
Belum sempat kita memahami sosok Arini, belum sempat kita memahami sosok Nick, kita ujug-ujug sudah diseret menuju sekuens rayu-rayuan atau murka-marahan yang lain tanpa ada kesinambungan berarti. Itulah mengapa ngikik dan “lha kok?” menjadi semacam reaksi langganan karena film sesak dengan adegan yang tidak sedikit diantaranya ‘kehilangan garis penyambung’ atau dieksekusi terlampau konyol (adegan telepon bocor. Ehem!) sampai-hingga sulit menganggapnya serius. Bahkan, hingga Arini mencapai penghujung durasi, saya masih belum kunjung mendapat balasan atas pertanyaan, “apa sih yang menciptakan Nick sebegitu kesengsemnya dengan Arini?.” Arini memang paripurna dari segi fisik, tapi kurun iya sih motivasi Nick untuk menerima wanita pujaannya ini (ia nguebet banget lho!) sedangkal itu? Jika ya, berarti keinginannya lebih didorong oleh hasrat semata dong? Saya kemudian benar-benar meyakininya sesudah mereka berdua bertengkar mahir alasannya Arini menolak untuk diajak tidur bersama. Disamping naskah tipis dan penceritaan tergesa dari Ismail Basbeth yang membatasi pergerakan aksara, performa Aura Kasih yang cenderung datar juga tidak membantu sama sekali. Di tangannya, sosok Arini hanya terlihat mirip perempuan judes yang cemberut melulu, sangat menyebalkan dan sulit diberi simpati. Tidak pernah memperlihatkan kompleksitas sedikitpun yang lalu menciptakan kita mafhum atas tindakan-tindakannya. Morgan Oey yang tampil enerjik sebagai si berondong kasmaran sedikit banyak membantu menyelamatkan film, meski bergotong-royong dia turut menjadi korban naskah.
Ketiadaan motivasi yang jelas membuat Nick kadangkala lebih menyerupai seorang penguntit yang menakutkan ketimbang cowok yang charming. Bayangkan, beliau ada dimanapun Arini berada (sekalipun telah ditolak!) termasuk menyelinap ke rumah pujaan hatinya tersebut yang berada di potongan dunia berbeda sehabis sebelumnya mereka bertengkar ahli (yang kemudian diselesaikan begitu saja). Ini masih belum ditambah fakta bahwa dia selalu bisa menemukan eksistensi Arini tanpa menjumpai kesulitan berarti. Seram banget, nggak sih? Mempunyai dua huruf utama yang abnormal – masih ada pula huruf pendukung yang lagi-lagi bila diperhatikan akan mengundang kerutan lain di jidat – belum apa-apa telah menciptakan jarak antara penonton dengan film. Bisakah kita dibuat jatuh hati dengan dua abjad yang judesnya amit-amit (serius malah jadi pengen getok!) dan menyerupai seorang psikopat? Apabila didukung oleh performa berkelas dengan chemistry ciamik dan naskah yang tergarap baik, bisa saja. Tapi masalahnya di sini, ‘judes’ dan ‘psikopat’ itu sendiri muncul alasannya adalah suatu kesalahan, bukan semata-mata diniatkan demikian. Sosok Arini dan Nick menjadi seperti itu akibat naskah yang tidak memberi latar belakang dan motivasi memadai. Tidak terlalu jelas, kalau tak mau disebut buram, penggambaran kedua karakter ini lebih-lebih Nick yang tidak pernah dijlentrehkan seperti apa kehidupan pribadinya sehingga ia bisa terobsesi kepada Arini. Yang lebih disayangkan lagi, Aura Kasih dan Morgan Oey pun tidak bisa menghadirkan chemistry yang membuat penonton yakin bahwa ada benih-benih cinta yang siap bermekaran dalam diri keduanya. Tidak ada pancaran di mata mereka yang menawarkan rasa bernama cinta. Apabila relasi ini sebatas nafsu belaka, masih agak mampu dipercaya. Namun jikalau dilandasi ketulusan hati? Masih sangat dipertanyakan.
Maka begitu mereka bermesra-mesraan, diri ini justru merasa geli-geli janggal ketimbang tersenyum-senyum gemas. Begitu pula dikala big moment datang, tak ada rasa apapun yang hinggap kecuali rasa datar. Ya mau bagaimana lagi, lha wong kunci keberhasilan dari suatu film percintaan itu terletak pada dua abjad utama yang mampu membuat penonton bersedia untuk menawarkan restunya. Jika kita tidak pernah benar-benar terhubung secara emosional dengan mereka lantas bagaimana mungkin sebuah restu bisa diberikan? Yekannn? Sayang banget lho ini.
Poor (2/5)
Post a Comment for "Review : Arini"