Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Hangout


Apakah kamu familiar dengan jalan penceritaan dari novel ternama Agatha Christie berjudul And Then There Were None (atau disini dikenal sebagai Sepuluh Anak Negro)? Apabila tidak, secara garis besar tuturannya berkisar pada sepuluh orang aneh tanpa korelasi satu sama lain yang memperoleh ajakan dari seorang kaya nan misterius untuk berkunjung ke huniannya di sebuah pulau. Berharap memperoleh sambutan gegap gempita, kasatmata-nyatanya undangan ini tidak lebih dari sekadar jebakan yang menuntun kesepuluh tamu tersebut menemui ajalnya masing-masing. Nah, disamping belasan judul penyesuaian resmi bersifat langsung – merentang dari film hingga miniseri televisi – And Then There Were None yang mengusung pola whodunnit (tebak-tebak manggis siapa pembunuhnya) pun telah diutak-atik puluhan sineas untuk diekranisasi secara lepas. Salah satu gelaran terbaru yang menerapkan jalinan cerita senada yakni Hangout, sebuah film bergenre komedi thriller isyarat Raditya Dika. Hangout sendiri tampak begitu menarik hati lantaran tiga faktor; premis, upaya memadupadankan genre komedi dengan thriller, serta fakta bahwa ini pertama kalinya Dika mencoba sedikit keluar dari zona nyamannya yang tidak jauh-jauh dari dilema kegundahan hati.

Dari sisi gagasan utama, Hangout sejatinya memang serupa tapi tak sama dengan And Then There Were None. Pembedanya, hanya ada sembilan aksara yang menjadi korban disini, mereka mempunyai latar belakang mata pencaharian sejenis, serta telah aktif berinteraksi tolong-menolong sebelumnya. Kesembilan karakter tersebut terdiri atas Raditya Dika, Soleh Solihun, Surya Saputra, Mathias Muchus, Titi Kamal, Dinda Virgo Dewi, Prilly Latuconsina, Bayu Skak, serta Gading Marten yang kesemuanya dikenal sebagai public figure. Mereka mendapatkan seruan secara bersamaan dari seorang misterius yang meminta mereka mengunjungi kediamannya di suatu pulau. Tanpa menaruh kecurigaan apapun – malah Mathias Muchus berspekulasi, mereka akan memperoleh ajuan main film – Dika dan konco-konco pun bertolak ke lokasi dengan menaiki kapal. Tak ada sambutan apapun dari si empunya hajat begitu rombongan mencapai daerah tujuan, kecuali hidangan makan malam yang telah tertata rapi di atas meja makan. Kendati ajaib, para artis mencoba untuk tetap berpikir nyata sampai kemudian... Mathias Muchus meregang nyawa secara tidak masuk akal. Terjebak di pulau karena kapal jemputan gres berlabuh beberapa hari kemudian sementara para personil mulai berguguran satu demi satu akibat dibunuh, mereka yang tersisa pun risikonya saling menaruh curiga mengingat besar kemungkinan bahwa salah satu dari mereka yaitu sang pembunuh. 

Dalam upayanya untuk menyuguhkan tontonan menghibur bagi penonton, Hangout bergotong-royong tidaklah bisa dikata gagal. Serentetan humornya masih bekerja secara semestinya dan tidak sedikit diantaranya tergolong efektif mengundang derai tawa. Memang sih ranah kelakar yang dijamah Dika disini masih belum jauh-jauh dari kisaran toilet jokes dan sebangsanya – salah satunya mirip bagaimana Dinda Kanya Dewi digambarkan sebagai artis yang luar biasa joroknya – yang boleh jadi terasa menjijikan pula mengganggu bagi sebagian orang. Bahkan, sifatnya yang cenderung repetitif juga ada kalanya agak menjengkelkan seolah-olah si pembuat film kehabisan wangsit dalam ngelaba. Namun satu hal yang menarik serta jarang dieksplorasi lebih jauh oleh Dika di film-filmnya sebelum ini adalah guyonannya dalam Hangout sarat akan acuan budaya terkenal. Mempunyai barisan huruf dimana kesemuanya merupakan public figure faktual adanya, memungkinkan dirinya untuk lebih bebas melemparkan bahan ngebanyol berkenaan dengan dunia hiburan tanah air. Hampir setiap karakter kena tembak – paling habis-habisan nyaris tanpa ampun ialah Gading Marten – walau tidak kesemuanya juga tepat mengenai sasaran. Yang bagi saya terhitung berhasil yaitu kurun Prilly mengungkit-ungkit soal sinetron Ganteng-Ganteng Serigala atau lebih baik lagi dikala Dinda membicarakan wacana Ada Apa Dengan Cinta? 3

Dan, untuk mencapai tahapan menghebohkan ini agak membutuhkan waktu. Hangout terhitung lambat memanas. Setidaknya pada 30 menit pertama sebelum pembunuhan pertama terjadi, film berlangsung agak hambar. Lawakannya banyak meleset, pengisahannya pun kurang mengikat apalagi membuat kesan misterius seperti dibutuhkan. Usai Marmut Merah Jambu, Single, serta Koala Kumal yang begitu lancar lantunan kisahnya, maka tentu mengecewakan (plus mengherankan) melihat Dika cenderung terbata-bata di Hangout. Apakah ini lantaran Dika masih belum terbiasa dengan sesuatu diluar area kekuasaannya? Bisa jadi. Begitu jatuh korban pertama, film perlahan mulai lezat buat dinikmati meski tidak sampai pada tahapan benar-benar mulus. Perpaduan elemen komedi bersama thriller berulang kali terasa janggal. Sang sutradara tidak tampak kesulitan mengorkestrasi momen-momen pengundang tawa karena bagaimanapun juga inilah keahliannya, tapi berbeda halnya ketika menyajikan daya cekam. Sejumlah adegan yang seharusnya bisa membuat penonton tersentak, memegang dekat bangku bioskop atau mengucurkan keringat hambar, berlalu begitu saja tanpa kesan. Malah memunculkan reaksi, “lho, kok begitu saja?,” khususnya di babak titik puncak yang tensinya terus mengendor dan ini kian dilukai oleh momen pengungkapan si pelaku dengan motif jauh dari kata besar lengan berkuasa. 

Kendati menghadapi serentetan problematika yang menghempaskan Hangout seketika dari jajaran film terbaik Dika, mirip telah disinggung di beberapa paragraf sebelumnya, ini bukanlah tontonan yang layak dilabeli “gagal” apalagi “jelek”. Usahanya untuk menghadirkan warna baru bagi perfilman tanah air (beserta filmografi Dika) tetap perlu menerima angkat topi. Selain masih mampu menunjukkan penghiburan lewat gelak-gelak tawa, Hangout teramat sangat beruntung sebab mempunyai barisan pemain yang menghadirkan performa sangat memuaskan. Setiap pelakonnya terlihat begitu bersenang-bahagia dengan tugas yang mereka mainkan. Dika memang masih tampak lempeng seperti biasa, namun Dinda Sunbulat Dewi, Surya Saputra, Prilly Latuconsina, Gading Marten serta Soleh Solihun menerangkan kelayakan masing-masing untuk menerima tugas di Hangout. Berkat mereka, banyak energi konkret berhasil tersalurkan ke film. Kemunculan mereka memberi keriaan tersendiri khususnya Dinda dan Soleh yang senantiasa dinanti-nanti sepak terjangnya oleh penonton alasannya mampu menunjukkan tawa secara konstan.

Acceptable (3/5)

Post a Comment for "Review : Hangout"