Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Alpha


“Life is for the strong. It is earned, not given.”  

Apakah kamu pernah bertanya-tanya mengenai awal mula terbentuknya persahabatan antara manusia dengan anjing? Seperti, apakah manusia di zaman purba telah mempunyai keterikatan emosi dengan binatang berkaki empat ini, atau, apakah relasi unik tersebut baru terbentuk beberapa masa silam? Dokumentasi sejarah di bagian dunia manapun (sangat) mungkin tidak meliputi 'persahabatan pertama insan dengan anjing' mengingat cakupan sumber terlampau luas dan signifikansinya pun kurang faktual, sehingga bila kau pernah (atau masih) dibayangi oleh pertanyaan tersebut, berterimakasihlah kepada Tuhan sebab sudah membuat Hollywood. Ya, kau bukanlah satu-satunya orang yang mempertanyakan tentang sejarah pertemanan lintas spesies ini alasannya Albert Hughes – bersama dengan saudara kembarnya, Allen Hughes, dia mengkreasi From Hell (2001) dan The Book of Eli (2010) – mengajukannya sebagai premis untuk film perdananya sebagai sutradara tunggal, yaitu Alpha. Dijual sebagai “incredible story of how mankind discovered man's best friend,” Alpha mencoba memberikan jawaban mengenai asal muasal dongeng persahabatan tersebut dengan melontarkan kita ke daratan Eropa di 20 ribu tahun silam atau kurun Paleolitik Hulu yang berlangsung pada detik-detik terakhir jelang berakhirnya zaman es. 

Menurut versi Hughes, manusia pertama yang bersedia untuk berkomunikasi sekaligus menjalin ikatan bersama seekor anjing adalah Keda (Kodi Smit-McPhee), putra dari seorang kepala suku bernama Tau (Johannes Haukur Johannesson), yang tengah menjalani perburuan pertamanya bersama kelompok sukunya. Mengingat usianya yang masih sangat muda dan belum adanya pengalaman menjelajah alam liar, tak pelak ada ketakutan serta keragu-raguan yang tersimpan di dalam diri Keda. Ketidaksiapannya untuk mengikuti perburuan ini terpampang nyata tatkala Keda tak mampu membunuh babi celeng yang telah ditangkap oleh anggota suku yang lain. Meski menawarkan kekecewaan, Tau mampu memakluminya dan berkenan memberinya nasehat secara terjadwal termasuk menjelaskan posisi alpha dalam kawanan serigala. Perburuan kelompok suku ini lantas berlanjut lebih jauh alasannya mereka sejatinya mengincar binatang lebih besar sebagai persediaan untuk bertahan hidup selama animo cuek, ialah bison. Upaya mereka dalam menaklukkan bison ini, sayangnya berujung musibah tatkala salah seekor bison menyeruduk Keda dan melemparkannya ke tebing. Posisi Keda yang sulit dijangkau, ditambah lagi tak ada tanda bahwa dia masih hidup, menciptakan Tau beserta kelompoknya menganggap Keda telah bergabung dengan para leluhur dan meninggalkannya. 


Sedari Keda ditinggalkan oleh kelompoknya seorang diri di padang gurun inilah, Alpha mulai terasa menggeliat sedikit demi sedikit. Yang terjadi selanjutnya usai beliau melepaskan diri dari tebing yaitu pertemuan dengan kawanan serigala, termasuk Alpha (dimainkan oleh seekor anjing serigala Cekoslowakia berjulukan Ralph) yang ditinggalkan oleh kawanannya sebab terluka parah. Kedua spesies ini mulanya tak akur satu sama lain mengingat Alpha terluka karena tertusuk senjata Keda yang berusaha mempertahankan diri dari serangan kawanan Alpha. Keda yang masih belum bisa memercayai si serigala pun kerap membuat jarak, bahkan memberikan bahwa ia berada di posisi dominan terkait masakan. Alpha yang tadinya menggeram tiap kali didekati oleh Keda, perlahan tapi pasti mulai melembut hingga jadinya bersedia untuk dipeluk masa kobaran api unggun telah padam. Interaksi keduanya yang meluluhkan hati, apalagi di adegan terjerembab ke dalam sungai es yang menjadi titik balik bagi relasi Alpha dengan Keda, membuat diri ini yang tadinya sempat terjangkit jenuh balasan guliran pengisahan yang cenderung mengalun lambat nan sunyi pun alhasil melek dan terpikat. Hamparan visualnya boleh saja serba putih dipenuhi tumpukan salju dan kedua protagonis kita terus menggigil menyusul datangnya trend hambar, tapi diri ini justru mencicipi kehangatan menyaksikan persahabatan Alpha-Keda yang terus berkembang. 

Chemistry yang terbentuk diantara Kodi Smit-McPhee dengan Ralph sebagai dua sahabat yang saling menaruh respek satu sama lain ditengah kerasnya hidup di alam liar menjadi kunci keberhasilan dari Alpha. Kita melihat keduanya saling membenci di permulaan yang tak bisa disalahkan mengingat situasinya, kemudian secara perlahan muncul percikan rasa sayang diantara mereka. Keda menaruh kepedulian pada 'hewan peliharaannya' yang ditunjukkan dari caranya merawat luka serta memberinya makanan, dan Alpha membalas kepeduliannya dengan melindunginya dari serangan kawanannya serta membantunya berburu materi makanan. Mereka saling melengkapi satu sama lain sehingga saya pun berharap mereka akan bertahan sampai ujung durasi. Menilik pendekatannya sebagai survival story sekaligus coming of age, kita bekerjsama sudah mampu menduga muara dari narasi di film ini. Perjalanan bertahan hidup yang dilalui sang protagonis difungsikan untuk mendewasakan Keda sehingga ia mampu menunjukan kepada sang ayah dan kelompok sukunya bahwa beliau memiliki jiwa alpha di dalam dirinya. Yang lalu menciptakan aku berkenan bertahan sekalipun narasinya amat familiar (well, kamu mampu menjumpainya pula di Life of Pi, The Grey, sampai Eight Below) disamping chemistry meyakinkan kedua pelakonnya yakni sinematografinya yang mencengangkan dan nyaris secantik Life of Pi. Aurora, bintang-bintang bercahaya di langit, lanskap pegunungan, sampai air sungai yang jernih menciptakan Alpha tampak seperti lukisan yang betah kau pandangi lama-lama alasannya kecantikannya. Ada kekaguman menyeruak, dan ada pula kelegaan karena berkesempatan menyaksikannya di layar bioskop terbesar yang mampu aku temukan. Memang tak ada cara lebih baik dalam menonton Alpha disamping menontonnya di bioskop – jika perlu, malah dalam format IMAX!

Exceeds Expectations (3,5/5)


Post a Comment for "Review : Alpha"