Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Alita: Battle Angel


“I do not standby in the presence of evil!”

Apakah kalian tahu bahwa James Cameron (Terminator 2: Judgment Day, Titanic) sudah kasar untuk menggarap Alita: Battle Angel sedari dua dekade lalu? Ya, beliau kepincut dengan bahan sumbernya yang berupa manga beberapa jilid gubahan Yukito Kishiro dan telah beberapa kali berupaya untuk mewujudkannya tapi terus terbentur oleh proyek lain. Salah satu proyek yang menghalanginya ialah Avatar (2009) berikut dengan sekuel-sekuelnya yang tak kunjung juga kita pirsa. Ada perjalanan sangat panjang yang mesti dilalui oleh film ini dimana didalamnya mengandung perombakan naskah beserta perombakan tim. Usai berada di fase development hell (baca: terus dikembangkan tapi tak terperinci kapan akan diwujudkan) selama belasan tahun, Pak Cameron akhirnya menemukan cara supaya proyek kesayangannya ini tak berjalan di tempat dan mampu segera lahiran secepatnya. Solusi yang lalu ditempuhnya yakni menyerahkan kursi penyutradaraan Alita: Battle Angel kepada Robert Rodriguez (Desperado, Spy Kids), sementara dia memantau secara langsung proses produksi dari dingklik produser. Sebuah win-win solution, bukan? Alita: Battle Angel alhasil bisa dihidangkan sebagai tontonan di layar lebar dibawah penanganan sutradara yang selama ini kondang berkat kepiawaiannya meramu adegan berkelahi. Belum apa-apa, film sudah terdengar menggiurkan buat dicoba berkat kolaborasi dua maestro ini yang seolah menjanjikan bahwa ini bukanlah tontonan eskapisme biasa. Ini yaitu pengalaman sinematis yang wajib dijajal. Tapi benarkah potensi sebesar itu memang mampu dicapai?

Dalam Alita: Battle Angel, penonton diboyong jauh menuju ke tahun 2563 lalu diperkenalkan pada cyborg bernama Alita (dimainkan dengan sangat baik oleh Rosa Salazar memakai teknik motion capture) yang tak mampu mengingat kurun lalunya. Alita ditemukan oleh Dr. Dyson Ido (Christoph Waltz) di daerah pembuangan sampah dalam keadaan hancur dan hanya menyisakan otak beserta bab inti yang bekerja. Demi memperlihatkan kehidupan gres bagi perempuan ini, Ido pun memboyongnya ke kawasan kerjanya dan “menyusun ulang” badan Alita dengan menempatkannya pada tubuh mekanik sehingga memungkinkannya untuk beraktifitas secara normal laiknya cyborg. Dalam perjalanannya menggali lebih jauh mengenai jati dirinya di periode lampau, Alita berkenalan dengan Hugo (Keean Johnson) yang membuatnya jatuh hati, berlatih bermain motorball yang merupakan olahraga ekstrem paling terkenal, serta mendaftarkan diri sebagai pemburu bayaran mengikuti jejak ayah angkatnya yang terpaksa menjalani profesi ini sebagai sampingan demi menerima uang. Alita sendiri mempunyai sebuah alasan khusus yang mendorongnya untuk bergabung sebagai pemburu bayaran, ialah beliau bisa melihat kelebatan dari era kemudian setiap kali dia beraksi. Aksi-aksinya yang tergolong menakjubkan tersebut – terlebih Alita menguasai gerakan khusus yang tak sembarangan orang mampu melakukannya –  seketika menarik perhatian penguasa setempat, Vector (Mahershala Ali) – yang lantas merekrutnya sebagai salah satu pemain di liga profesional motorball. Kepolosan Alita membuatnya mendapatkan tawaran ini dengan senang hati tanpa pernah sekalipun mencurigai Vector yang membisu-membisu menyiapkan sebuah planning jahat.


Berhubung Alita: Battle Angel ditangani oleh Robert Rodriguez serta memperoleh uluran sumbangan dari James Cameron, tentu bukan lagi sesuatu yang mengejutkan tatkala saya mendapati bahwa film ini mempunyai elemen tubruk yang rancak nan impresif. Bukankah memang elemen tersebut yang diperlukan paling menonjol dari Alita: Battle Angel? Dan bila pengharapanmu saat melangkahkan kaki ke dalam gedung bioskop ialah semata-mata mendapatkan tontonan eskapisme yang mengasyikkan, maka segala pengharapanmu akan terpenuhi dengan gampang di sini. Film memperlihatkan sisi terbaiknya saat Rodriguez tak segan-segan menyodori kita dengan baku hantam, baku tembak, maupun agresi-aksi sarat kekerasan lainnya. Dari pertama kali Alita mengonfrontasi para pemburu bayaran (disebut sebagai ‘Ksatria Pemburu’) dimana ia menyadari bakat terpendamnya, penonton sudah dibentuk berdecak kagum oleh suguhan koreografi laganya yang asyik sekali. Terlebih lagi, si pembuat film pun enggan berkompromi dengan rating 13+ sehingga adegan kekerasan yang ditampilkan bisa cukup gamblang mirip bagaimana ia memperlihatkan tubuh-tubuh dipreteli meski tentu saja konteksnya adalah cyborg dan tidak menampilkan darah berwarna merah. Pun begitu, Rodriguez sanggup menghadirkan kesenangan tersendiri bagi Alita: Battle Angel menyusul keputusannya untuk tidak melunak termasuk bagaimana cara dia mengkreasi pertikaian di dalam bar yang intensitas (plus gayanya, tentu saja!) akan mengingatkan pada film-film dia terdahulu dan kebrutalan permainan motorball yang sedikit banyak melayangkan ingatan ke Rollerball (1975/2002).   

Ya, ada banyak hal yang mengingatkan kita pada film lain dikala menyaksikan Alita: Battle Angel. Ini meliputi penggambaran kota Zalem yang tertambat melayang di atas Iron City yang menciptakan saya bernostalgia dengan Elysium (2013), sosok Alita yang menyerupai Motoko dari Ghost in the Shell (2017), sampai narasinya yang mungkin terdengar “kueren!” di era 1990-an tapi untuk ketika ini terasa tak ada bedanya dengan rentetan judul film pembiasaan young adult novel berlatar periode depan. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah ini menjadi ganjalan utama bagi Alita: Battle Angel untuk tampil menonjol seperti pernah dibayangkan oleh James Cameron? Well, saya eksklusif tidak menganggap familiaritas sebagai titik lemah film ini – bahkan saya pun tak duduk perkara dengan keserupaan asal digarap dengan baik. Gangguan pada film muncul saat dirinya menyingkir sejenak dari arena pertarungan Alita dan menentukan untuk fokus pada kehidupan pribadinya termasuk urusan asmaranya yang luar biasa cheesy. Saya masih baiklah-oke saja dengan interaksi Alita-Ido walau berharap mampu digali lebih mendalam lagi, tapi aku sungguh pengen ngacir saking gelinya setiap kali Alita mencoba bermesraan dengan Hugo memakai obrolan-dialog yang astaganagaaa (dialog soal “ambillah hatiku” itu bikin speechless sih) ditambah chemistry yang hambar. Apabila diterjemahkan ke anime mungkin subplot ini masih berhasil, tapi live action… duh, tingkat mengganggunya sudah cukup untuk menyerap energi film yang telah dilontarkan oleh elemen laganya. Seketika, film terasa menjemukan. Beruntunglah Alita: Battle Angel dikaruniai visual beserta tata adu yang aduhai sehingga bisa mengobati rasa jenuh (dan puyeng) akhir sempilan cerita kasih dua sejoli tersebut.  


Exceeds Expectations (3,5/5)


Post a Comment for "Review : Alita: Battle Angel"