Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Laundry Show


“Kenapa kamu bisa kasih diskon ke Mas Yaya?”

“Kan kata Kokoh pelanggan yakni raja. Lha bila raja minta potongan harga era kita nggak ngasih?”

Setidaknya ada tiga faktor utama yang menciptakan saya tergelitik buat menjajal nonton Laundry Show di bioskop: 1) keterlibatan Upi (My Stupid Boss, My Generation) di penulisan skenario, 2) bahan promosi yang disajikan dalam bentuk trailer tampak menggoda bagi saya utamanya pada bagian Tissa Biani mengucap obrolan “Kan kata Kokoh pelanggan yakni raja. Lha bila raja minta bagian harga periode kita nggak ngasih?” dengan lisan sengak tanpa rasa bersalahnya, dan 3) hey, jarang-jarang ada kan film Indonesia yang menempatkan profesi tertentu sebagai sorotan utama dalam guliran cerita alih-alih sebatas untuk memperkuat latar belakang si tokoh sentral? Dalam Laundry Show yang digarap oleh Rizki Balki (A: Aku, Benci & Cinta, Ananta) ini, penonton disodori narasi soal membangun kerajaan bisnis laundry secara berdikari. Atau dengan kata lain, menekuni dunia wirausaha. Sebuah guliran penceritaan yang sedikit banyak mengingatkan diri ini pada dwilogi Filosofi Kopi yang mengulik soal profesi barista beserta pahit manisnya terjun ke bisnis kafe kopi. Sedikit banyak pula melontarkan ingatan pada Cek Toko Sebelah yang membahas perihal persaingan dalam dunia bisnis (di sini, konteksnya ialah toko kelontong) dan kebetulan juga sama-sama menempatkan abjad keturunan Cina di poros utama pengisahan.  

Meski ada keserupaan dengan kedua film tersebut, huruf Uki atau Kokoh (diperagakan Boy William dalam salah satu akting terbaiknya) dalam Laundry Show tidak diceritakan telah mapan secara finansial, atau sudah bermimpi untuk menjadi pengusaha sedari awal, maupun telah mempunyai bisnis sukses untuk dilanjutkan. Tidak. Dia merintis bisnis laundry “Halilintar” miliknya dari nol. Gagasan untuk menekuni dunia wirausaha ini pun mendadak terlintas di pikirannya usai ia menyadari bahwa karirnya di agensi periklanan cenderung jalan di kawasan. Gagasan ini semakin menguat sesudah dedikasi Uki kepada perusahaan selama lima tahun tak pernah sekalipun diapresiasi oleh sang atasan (Ferry Salim) dan upayanya untuk maju malah membuatnya dilabeli sebagai penjilat. Ditengah kekesalannya, Uki tanpa sengaja menyaksikan sebuah program motivasi di televisi yang kemudian mendorongnya untuk melaksanakan tindakan nekat: mengundurkan diri dari pekerjaan lamanya, kemudian mengumpulkan seluruh tabungannya, dan hasilnya mendirikan bisnis laundry. Tentu saja, Uki tak serta merta mencapai kesuksesan seperti dalam bayangannya. Dalam perjalanannya merintis perjuangan, Uki mau tak mau harus bersabar dalam menghadapi karyawan-karyawannya yang tidak kompeten dan memutar otak demi memenangkan persaingan bisnis laundry dengan seorang perempuan yang membisu-diam ditaksirnya, Agustina (Gisella Anastasia).


Menilik narasinya yang berpusat pada usaha seorang pemuda dalam membangun kerajaan bisnisnya, mudah untuk mengategorikan Laundry Show sebagai “tontonan inspiratif berpesan sopan santun”. Dan memang betul, ini bukan semata-mata hidangan yang mengajak penonton untuk hura-hura dengan lelucon melainkan turut menggelontorkan pesan wacana menentukan pilihan hidup, keberanian dalam mengambil resiko, serta tentunya, entrepreneurship. Seluruh pesan ini diutarakan oleh Boy William menggunakan teknik voice over yang mengiringi sejumlah adegan dengan tujuan menjelaskan ajaran-anutan karakter Uki. Terdengar menceramahi atau tidak, itu tergantung perspektif. Bagi saya sih, penyampaiannya terasa asyik-asyik saja buat diikuti dan pesannya yang meluruskan cara pandang terhadap konsep “sukses dalam berwirausaha” pun mengena ke hati. Toh Rizki Balki beserta Upi mengaplikasikan gaya bercerita ini secara konsisten di sepanjang durasi dengan menempatkan Boy William sebagai narator yang mengutarakan kembali pengalaman-pengalamannya selama merintis bisnis laundry kepada penonton. Makara terasa masuk akal saat lalu dia turut melontarkan sejumlah “pesan budbahasa” dari rangkaian pengalaman buruk yang pernah dialaminya ditengah-tengah ceritanya. Bukan secara ujug-ujug disematkan ke dalam obrolan percakapannya dengan aksara-huruf tertentu hanya demi memfasilitasi munculnya kata-kata motivasi yang tentunya lebih terasa kurang masuk akal.

Secara eksklusif sih, saya menikmati apa yang disajikan oleh Laundry Show. Gelak tawa yang dimunculkannya memang tidak pernah benar-benar meledak atau bakal membekas usang di ingatan, tetapi hampir sebagian besar diantaranya bekerja dengan efektif. Saya menyukai karakteristik dari setiap pegawai Uki yang abnormal, khususnya Tiur yang judesnya amit-amit (dimainkan dengan sangat mengesankan oleh Tissa Biani) dan Joni si “otak kecil” dengan logat Madura-nya yang kental (diperankan oleh Erick Estrada). Saya juga menyukai kemunculan momen musikal dalam misi pengintaian yang dikemas cukup meriah. Dan aku pun menyukai pengarahan lincah Rizki Balki yang berpadu bagus dengan penyuntingan dinamis Ahsan Adrian, pergerakan kamera santai Aga Wahyudi, serta penataan artistik cantik sehingga memungkinkan Laundry Show untuk tampil enerjik sekalipun sebagian besar durasi mengambil latar di satu kawasan: “Halilintar” milik Uki. Dalam penanganan yang kurang sempurna, Laundry Show berpotensi menjemukan dan saya sungguh merasa beruntung sebab tidak menemukan rasa jenuh itu di sini. Satu-satunya keluhan yang mampu saya sematkan bagi film ini yaitu perubahan rasa dalam huruf Uki-Agustina yang kelewat cepat di paruh final. Mereka saling taksir pada mulanya, lalu saling benci begitu mengetahui bahwa mereka yaitu tentangan bisnis seperti Tom Hanks dengan Meg Ryan dalam You’ve Got Mail (1998). Tapi perseteruan diantara mereka diberi penyelesaian gampang sehingga meniadakan satu sensasi di menit-menit akhir Laundry Show: gemas. Andai durasi sedikit diperpanjang demi membuatkan porsi kisah kasih dua abjad ini, mampu jadi film akan menggoreskan kesan lebih besar lengan berkuasa dari ini.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Post a Comment for "Review : Laundry Show"