Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Ted 2


“There are no chicks with dicks, Johnny, only guys with tits.” 

Terima kasih kepada gagasan edan Seth MacFarlane, citra anggun boneka beruang kesayangan belum dewasa pun sedikit tercoreng. Betapa tidak, ketimbang menggambarkan sang Teddy Bear sebagai sosok manis menggemaskan seperti kita kenal selama ini, dalam Ted yang dilempar ke pasaran tiga tahun silam, MacFarlane mempresentasikannya serba kebalikan. Tingkah lakunya tidak senonoh, mulutnya luar biasa kotor (sampai-hingga sabun basuh paling ampuh sekalipun angkat tangan!), serta waktu senggangnya dihabiskan untuk menghisap ganja dengan sesekali bersenggama (yikes!). Bisa dibilang, menjauhi segala bentuk norma-norma kebajikan. Dan memang itulah kegemaran Seth MacFarlane, melontarkan lelucon-lawakan dengan gaya teramat agresif, jorok dan cenderung ofensif yang bercampur acuan budaya terkenal mirip yang kamu bisa temukan pada film-film arahannya termasuk Ted yang tidak dinyana-nyana menciptakan para kritikus dan penikmat film mencapai akad menyambut hangat kemunculannya. Tentu saja, mengingat Ted laris cantik maka film kelanjutannya bertajuk (errr) Ted 2 pun dilepas dengan cita-cita bisa mendulang kesuksesan yang sama. Berhasilkah atau gagalkah? 

Ted (Seth MacFarlane) semula mengganggap pernikahannya dengan kekasihnya, Tami-Lynn (Jessica Barth), merupakan perwujudan faktual dari ‘bahagia untuk selamanya’. Keadaan berubah setelah goresan-ukiran diantara mereka menjadi kian runyam begitu kehidupan rumah tangga menapaki usia setahun. Tidak ingin bernasib seperti sang sahabat, John Bennett (Mark Wahlberg), yang telah bercerai dari Lori (dalam film pertama diperankan Mila Kunis), Ted berinisiatif untuk memiliki anak sesuai saran rekan kerjanya sehingga pernikahannya mampu terselamatkan. Dengan Tami tidak mungkin mengandung bayi karena kebiasannya mengganja berdampak pada rusaknya rahim, maka satu-satunya cara bagi mereka untuk menimang buah hati ialah mengadopsi. Hanya saja, kasus tidak terselesaikan sesederhana itu alasannya belakangan status Ted sebagai properti alih-alih insan menimbulkan beragam problem lain. Disamping permohonan mengadopsi ditolak dan kehilangan pekerjaan, pernikahannya dengan Tami pun dianulir. Merasa diperlakukan tidak adil, Ted dibantu oleh John mencari pengacara untuk membereskan problem ini yang membawa mereka ke pengacara rookie, Samantha Jackson (Amanda Seyfried). 

Saat mendengar Ted akan memiliki ‘adik’, aku tidak lantas menanggapinya antusias dan malah justru skeptis alasannya well, MacFarlane telah membangun standar tinggi untuk film komedi remaja melalui Ted. Segala kegilaan – dari yang bisa terbayangkan di benakmu sampai sama sekali tidak pernah terlintas – telah diobral habis-habisan di jilid pertama sampai-sampai agak sulit membayangkan lelucon yang dilontarkan oleh MacFarlane dalam Ted 2 akan lebih sinting. Mudahnya, menyelidiki betapa memuaskannya sang predesesor, apa lagi yang bisa ditawarkan oleh jilid ini? Betul saja, Ted 2 tampak tertatih-tatih dalam upayanya menandingi prestasi sang kakak. Banyolan-dagelan hasil anutan trio MacFarlane, Alec Sulkin, dan Wellesley Wild sekali ini tidak ada yang benar-benar memberi tendangan hebat yang memantik tawa berderai-derai. Mereka seolah telah kehilangan inspirasi segar dalam melucu dengan beberapa diantara humor yang coba diapungkan berkesan busuk dan repetitif (alat kelamin pria kulit gelap dan kedipan meminta bersenggama, seriously, guys?). Keberadaan elemen drama yang menyinggung informasi hak asasi pun sedikit banyak berkontribusi terhadap melembeknya humor terlebih si pembuat film pun kebingungan untuk menyeimbangkan kedua elemen ini sehingga menghasilkan kombinasi yang asing. 

Pun demikian, saya membual bila menyebut Ted 2 jauh dari kata lucu. Sekalipun memang kualitasnya mengalami degradasi – mengikuti moral Ted yang kian tidak tahu diri – tetapi Ted 2 tetap memiliki beberapa momen yang akan membuatmu terbahak. Selain parade cameo dan rujukan budaya populer (bersiaplah mendengar salah satu skoring musik legendaris dan berkunjung ke Comic Con!) yang masih tergolong nendang, komponen komedi kurang latih dari Ted 2 yang masih tidak jauh-jauh dari elemen serang-serangan juga sesekali punya daya untuk mendorong munculnya gelak tawa walau sulit dipungkiri seringkali jatuh dingin. Malah tawa saya lebih sering bersumber dari sekuens singkat kolam bagan yang justru dibiarkan berlalu begitu saja dengan salah duanya saat Ted berpakaian bak PSK berusaha menjual dirinya di jalanan atau momen-momen kebersamaan Ted-John yang dipangkas cukup banyak oleh si pembuat film disini. Ya, mencoba memberi lampu sorot lebih pada relasi romansa para karakternya dan drama pengadilan (maunya emosional) yang gagal tergali mendalam pula menarik, Ted 2 mengorbankan elemen buddy movie yang sejatinya kekuatan utama dari film pertama selain aneh-gilaannya. Tidak heran kalau lantas Ted 2 gagal bersinar lebih benderang apalagi bayang-bayang sang kakak masih kuat membayangi.

Acceptable

Post a Comment for "Review : Ted 2"