Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : No Escape


Kapan terakhir kali kau menyaksikan sebuah film bergenre diluar horor namun sanggup memberi imbas cekam dan teror yang melebihi? Bagi saya, sejauh ingatan bisa digali, saat menyimak The Impossible garapan Juan Antonio Bayona di layar lebar tiga tahun silam. Si pembuat film memotret tragedi tsunami di Asia Tenggara beserta imbas-dampaknya secara riil yang seketika menegakkan bulu roma sekaligus memunculkan letupan-letupan emosi dahsyat berwujud drama keluarga sehingga nyaris mustahil untuk tidak bercucuran air mata sepanjang guliran penceritaan The Impossible. Phew. Menjajal mengaplikasikan formula kurang lebih sejenis – meski kali ini lebih menggali sisi ketegangan alih-alih melodrama – yakni karya terbaru dari sutradara spesialis film menyeramkan, John Erick Dowdle (As Above So Below, Devil), bertajuk No Escape. Persoalan coba dikupas oleh No Escape pun tidak kalah ngerinya, terkait pergolakan politik di suatu negara Asia Tenggara yang memicu para pemberontak menggelorakan kerusuhan besar-besaran menentang kerjasama pemerintah dengan pihak abnormal. Membuat saya sedikit banyak teringat pada peristiwa Mei 1998. 

Jack Dwyer (Owen Wilson) memboyong keluarga kecilnya yang terdiri atas istrinya Annie (Lake Bell) serta kedua putri mereka, Lucy (Sterling Jerins) dan Beeze (Claire Geare), ke sebuah negara di Asia Tenggara – tidak pernah dijelaskan secara spesifik lokasinya, meski lebih mirip Thailand dan Kamboja – sesudah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan air kemas kepunyaan Amerika Serikat. Mengharapkan karir baru ini mampu membawa keluarga mereka ke kehidupan lebih baik, Jack dan Annie lantas memupuskan pengharapan tersebut usai mendapati kondisi kawasan tinggal mereka yang menjauhi ideal; tidak ada koneksi internet, terusan televisi, bahkan jaringan telepon. Belum juga membiasakan diri dengan kondisi serba udik ini, Jack dan keluarga memperoleh ‘shocking therapy’ dari kelompok pemberontak yang menciptakan huru hara termasuk membabi buta menghabisi warga abnormal. Dengan keselamatan keluarganya berada di ujung tanduk, Jack pun tak segan-segan menempuh berbagai cara untuk mengeluarkan mereka dari kekacauan ini. 

Dalam kaitannya menyebabkan mimpi buruk, No Escape justru lebih efektif ketimbang mayoritas (atau malah semua?) film horor rilisan tahun ini. Memang tidak ada sosok memedi yang akan membuatmu berjingkat-jingkat, namun teror yang digelarkan oleh No Escape justru lebih mengerikan daripada sekadar penampakan hantu berdempul tebal lantaran kemungkinan peristiwa yang dialami Jack dan keluarganya ini sangat mungkin kita alami terlebih amukan massa anti pemerintah cukup sering berkobar di beberapa negara Asia Tenggara belakangan ini. Nyaris sepanjang durasi – terhitung sejak Jack terjebak dalam kerumunan para pemberontak yang berkemas-kemas memulai aksinya – penonton dibiarkan pada mode tegang maupun gelisah. Mencengkram akrab kursi bioskop, kesulitan untuk bernafas, atau malah berkali-kali memalingkan muka dari layar yang secara positif (pula keji) memampangkan kebiadaban insan yang mengesampingkan segala bentuk perilaku manusiawi hanya demi mewujudkan ambisi. John Erick Dowdle jelas tidak menujukan film arahannya ini bagi penonton yang lemah jantung. Jelas tidak. 

Kemampuan si pembuat film dalam mempertahankan ritme ketegangan untuk bergerak secara stabil menjadi kekuatan utama dari No Escape yang sejatinya bermasalah pada penceritaan. Ya, naskah racikan John Erick Dowdle dan Drew Dodle membiarkan terlalu banyak lubang menganga yang tidak pernah terjabarkan sabab musababnya. Segala sesuatu yang terjadi dalam film seringkali serba ujug-ujug (baca: mendadak), serba kebetulan, serta serba, well, berlebihan. Memudarkan sekelumit sisi realistis yang seharusnya menguatkan penggambaran teror pada film. Pun demikian, disamping keberingasan John Erick Dowdle dalam mengelola alur dengan kecakapannya menghadirkan suasana serba genting, No Escape berhasil terhindarkan dari status film kelas B berkualitas medioker berkat performa cukup apik jajaran pemainnya. Pierce Brosnan sebagai Hammond, ekspatriat Inggris yang membantu keluarga Dwyer, memang tidak bermain istimewa, namun Owen Wilson (akting terbaiknya di beberapa tahun terakhir), Lake Bell, Sterling Jerins, dan Claire Geare masih sanggup menumpahkan emosi yang dibutuhkan secara sempurna pada karakter yang mereka mainkan dibalik segala keterbatasan yang mengekang sehingga penonton pun dapat merasakan ketakutan yang mereka rasakan.

Exceeds Expectations

Post a Comment for "Review : No Escape"