Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Inside Out


“Take her to the moon for me, Joy.” 

“Pixar is back!” yakni permintaan pertama yang aku lontarkan seusai melahap Inside Out di layar lebar. Rasa-rasanya, siapapun yang beranggapan empat tahun terakhir film keluaran Pixar tidak berada dalam kondisi prima pun akan melaksanakan hal serupa. Ya, paska Toy Story 3, studio animasi berlogo lampu meja ini seperti kehilangan pegangan – bahkan perlahan tapi pasti dihempaskan oleh rekannya, Disney, yang semakin menggila produksi animasinya – dengan melempar proyek film-film kelanjutan yang secara kualitas terbilang medioker untuk ukuran Pixar. Di saat Pixar mulai meredup, Pete Docter, otak dibalik kecemerlangan Monsters, Inc dan Up, mengajukan gagasan ambisius untuk divisualisasikan di film teranyarnya bertajuk Inside Out. Hanya dengan mendengar premisnya saja, “bagaimana bila ada makhluk-makhluk kecil yang mendiami tubuh manusia saling berafiliasi untuk mengontrol emosi dan tetek bengeknya?” antisipasi seketika meninggi yang berarti masih ada cita-cita untuk studio penelur trilogi Toy Story ini kembali bangun. Dan memang, Inside Out merupakan sebuah langkah awal tepat bagi Pixar guna merebut lagi posisi penguasa dunia film animasi yang sebelumnya sempat mereka genggam. 

Seperti telah digeber di bahan promosinya, setidaknya ada lima emosi utama yang bekerja di pikiran sadar seorang wanita berusia 11 tahun berjulukan Riley (Kaitlyn Dias), yaitu Joy (Amy Poehler), Sadness (Phyllis Smith), Fear (Bill Hader), Anger (Lewis Black), dan Disgust (Mindy Kaling). Telah hadir sejak Riley dilahirkan, kelimanya berhasil menjaga kekompakan dengan menjalankan peranannya masing-masing secara baik dibawah kepemimpinan Joy yang menjadi emosi paling mayoritas dalam diri Riley. Segala keteraturan di ruang pengendali – disebut Headquarters – mendadak goyah saat Riley dan keluarganya pindah rumah ke San Fransisco. Well, awalnya memang tidak terlalu buruk karena Joy berusaha keras untuk menjaga pikiran Riley terhadap kehidupan barunya senantiasa konkret, namun sebuah kejadian kecil yang melibatkan Sadness merobohkan segalanya. Dalam upaya memperbaiki kekacauan yang disebabkan Sadness, Joy dan Sadness malah justru tersedot memasuki labirin penyimpan ingatan jangka panjang Riley. Dengan menghilangnya dua elemen emosi ini, secara otomatis emosi Riley pun mengalami ketimpangan yang menciptakan keadaan semakin memburuk. Satu-satunya cara untuk menuntaskan masalah yakni Joy dan Sadness harus berhubungan untuk kembali ke Headquarters

Terdengar njelimet? Memang terkesan demikian dikala dijlentrehkan di atas kertas – khususnya bagi penonton cilik – namun tak perlu risau sebab Pete Docter terbilang piawai dalam menerjemahkan konsep jeniusnya ini ke dalam bahasa gambar sehingga alih-alih membingungkan Inside Out malah justru mempermainkan emosi sedemikian rupa. Ada perpaduan tepat antara emosi penuh kesenangan (dalam hal ini, tawa canda dan perasaan bersemangat) dengan kesedihan yang menjadikannya sebagai film buatan Pixar paling emosional sejak Toy Story 3. Dan tidak mirip halnya film sang sineas terdahulu, Up, yang sekonyong-konyong membawa penonton pada suasana muram melalui adegan pembuka yang memilukan, Inside Out menentukan untuk mengawalinya dengan riang. Pada paruh awal, kita seolah-olah tengah mengikuti perkuliahan singkat di kelas Psikologi yang tergolong menyenangkan bertabur humor segar disana sini. Penonton dibawa menyelami bagian-bab vital yang berkontribusi terhadap berfungsinya emosi insan seraya berkenalan dengan sejumlah huruf penting aktivis roda dongeng. Seusai afeksi penonton dengan huruf dirasa sudah mulai sedikit terbentuk, Pete Docter menggelindingkan bola konflik satu persatu yang dimulai dengan kesalahan Sadness menyentuh memori inti di hari pertama Riley bersekolah. 

Konflik yang tampaknya sepele ini lantas meletupkan sejumlah konflik lain yang menyeret Joy dan Sadness untuk terlibat dalam petualangan seru menjelajahi ingatan jangka panjang Riley. Sampai disini, emosi penonton masih dikontrol sepenuhnya oleh Joy terlebih ada visual penuh warna memanjakan mata, celetukan-celetukan lucu pengundang tawa (termasuk dari Sadness yang kegundahannya sering menciptakan saya terbahak) dan keingintahuan besar untuk mengetahui insiden apa saja yang menghadang keduanya dalam menyelesaikan misi menyelamatkan kenangan-kenangan penting pembentuk kepribadian Riley yang dalam film diibaratkan berwujud pulau. Di tengah perjalanan ini, mereka juga berjumpa dengan Bing Bong (Richard Kind), sobat khayalan Riley yang telah lama dilupakan, yang bersedia menawarkan santunan demi kebahagiaan sang teman. Kemunculan sosok Bing Bong – seketika merebut spotlight dari Joy maupun Sadness – merupakan menit-menit penanda peralihan emosi dari ‘hijau’ menuju ‘biru’ atau ini berarti, Joy mulai menyerahkan tongkat estafet ke Sadness. Ya, Bing Bong tidak saja menyuntikkan serum kebahagiaan pada film dengan segala tawa candanya tetapi juga menginjeksi serum kesedihan lewat salah satu momen paling mengharu biru di sinema dalam beberapa tahun terakhir yang kemungkinan besar akan menjebol pertahanan air matamu. 

Berhenti sampai disitu saja? Tidak juga. Di dua puluh menit terakhir, Pete Docter semakin kejam dalam membuat perasaanmu campur aduk dan mirip halnya Toy Story 3, menyentuh sisi personal dari para penonton akil balig cukup akal dengan sekali ini ditujukan untuk mereka yang pernah mengkhianati iktikad orang tua. Untuk mereka yang pernah sekali waktu mengecewakan orang renta. Dan untuk mereka yang ketakutan menghadapi perubahan mendadak dalam hidup. Paruh tamat ini sekaligus menguatkan pernyataan bahwa film animasi tidak melulu diproduksi sebagai konsumsi bawah umur, karena hey, sekalipun grafisnya terbilang berwarna warni, Inside Out mempunyai penceritaan yang bukan juga sepenuhnya gampang dikunyah dan kandungan permainan emosinya pun pekat tidak semata-mata soal bersenang-bahagia. Pixar terbukti tidak membual ketika menjual Inside Out dengan label ‘a major emotion picture’ alasannya adalah selama durasi mengalun, emosi penonton dibawa naik turun selayaknya tengah menunggangi roller coaster dari semula tertawa-tawa, bersemangat, hingga mengusap bulir-bulir air mata. Seruan ‘Pixar is back!’, pada kesannya, memang tidak terdengar berlebihan karena Pixar benar-benar kembali patut diperhitungkan berkat Inside Out yang tampak kentara dibentuk menggunakan hati ini. 

Note : Ada bonus film pendek berjudul Lava sebelum penayangan film utama yang cukup cantik. Sebaiknya kamu tidak terlambat memasuki gedung pemutaran.

Outstanding

Post a Comment for "Review : Inside Out"