Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Teenage Mutant Ninja Turtles


"Cowabunga!"

Menyapa para manusia pertama kali di dekade 80-an dalam wujud komik, empat kura-kura mutan penggemar berat pizza yang lihai bela diri ciptaan Mirage ini lantas berkembang pesat sebagai salah satu produk pop culture yang popularitasnya merambah ke televisi, permainan video, sampai tiga jilid film layar lebar berbentuk live action. Keberadaannya telah menjadi bab tak terpisahkan dari kurun kecil sebagian masyarakat dunia yang tergabung dalam generasi 80 dan 90’an hingga-sampai keempat reptil yang namanya dijumput dari pelukis Italia periode Renaissance ini dielu-elukan kolam pahlawan. Ah, sungguh kala kecil yang indah. Setelah popularitasnya semakin meredup – seiring berkembangnya zaman (dan teknologi) – percobaan untuk menghidupkan kembali ketenaran para kura-kura pun dilakukan lewat film animasi TMNT (2007) dan serial animasi produksi Nickelodeon yang tidak disangka-sangka memperoleh respon memuaskan dari khalayak ramai. Merasa bahwa tokoh fiksi ini mempunyai kala depan cerah, Nickelodeon pun nekat memboyongnya ke layar lebar. 

Untuk mewujudkan proyek reboot ambisius senilai $125 juta ini, Nickelodeon pun menggandeng Platinum Dunes kepunyaan Michael Bay. Berdasarkan beberapa materi promosi yang memasang nama Bay besar-besar sebagai materi jualan, kita tentu sudah tahu bagaimana seharusnya memutuskan ekspektasi terhadap versi termutakhir dari Teenage Mutant Ninja Turtles. Yang terpenting dari apapun yakni bagaimana mewujudkan kenangan indah para penonton dalam sebuah sajian yang pastinya disesaki efek khusus. Bukan sesuatu yang jelek, memang. Bay tidak pernah mengecewakan jika itu berkaitan soal visualisasi. Serba megah, mewah, dan tidak jarang pula mencengangkan. Tetapi mirip halnya yang terlihat di beberapa seri terakhir Transformers, kesenangannya pun meluntur. Ada kekhawatiran Teenage Mutant Ninja Turtles pun menghadap ke arah yang sama meski pada karenanya itu tidaklah terbukti. Jonathan Liebesman (Wrath of the Titans, Battle: Los Angeles) yang bertindak di belakang kemudi penyutradaraan berhasil menghadirkan Teenage Mutant Ninja Turtles sebagai tontonan summer blockbuster yang mengasyikkan. 

Tapi itu pun tidak lantas dicapai. Menit-menit awal berlangsung janggal, datar, dan sedikit berlarut-larut ketika menyoroti upaya April O’Neil (Megan Fox), seorang reporter televisi, untuk berbagi karirnya dengan menggali gosip-berita panas seputar Foot Clan. Kesalahan bukan berada di bahu Megan Fox yang justru secara mengejutkan memberi penampilan meyakinkan, melainkan pada (tentu saja) skrip dan Will Arnett, kameramen April yang membisu-diam menaruh hati, yang gagal memanfaatkan posisinya sebagai comic relief. Jauh dari kata lucu, cenderung menyebalkan. Tim casting salah pilih pemain rupanya. Untungnya, ini tidak berlangsung lama. Sesaat sesudah April berjumpa dengan Raphael (Alan Ritchson), Michelangelo (Noel Fisher), Donatello (Jeremy Howard), serta Leonardo (Johnny Knoxville), film mulai menemukan iramanya dan bergerak secara cepat. Keempat kura-kura bersama April dan Splinter (Tony Shaloub), tikus bijaksana yang menjadi mentor sekaligus ayah bagi para reptil, ini harus bekerja sama menyatukan kekuatan guna menyelamatkan New York City dari ancaman ancaman Shredder dan Foot Clan yang memiliki misi melepaskan gas beracun ke seantero kota untuk kepentingan kelompoknya. 

Baiklah, Arnett memang begitu garing dan menjengkelkan, tetapi para kura-kura ninja ini mempunyai pesonanya tersendiri. Secara penampilan memang agak angker – jauh dari kesan menggemaskan – namun penggambarannya terlihat autentik, dengan catatan jikalau makhluk mirip ini benar-benar ada. Selayaknya Liebesman mengucapkan terima kasih kepada tim imbas khusus atas penciptaan yang mengagumkan ini selain tentunya kepada para peraga motion capture serta pengisi bunyi yang secara tepat memberikan jiwa ke dalam setiap karakter. Begitu menyenangkan melihat sekawanan kura-kura ini berinteraksi; ribut-ribut kecil, saling ledek, dan saling melindungi satu sama lain. Seperti melihat One Direction dalam bentuk reptil serta gantikan saja pop dengan hip hop. Boom! Lalu, Teenage Mutant Ninja Turtles pun dibekali humor-humor menyegarkan penuh rujukan ke budaya populer dan gelaran agresi nyaris tanpa henti yang secara visual ‘Bay banget’ dengan dua momen terbaik yang akan sulit dilupakan begitu saja dalam waktu bersahabat; 1) rap di dalam lift, dan 2) car chase sequence seru di tebing bersalju. Bagusnya, Liebesman pun enggan berlama-usang dalam menghabiskan durasi hanya untuk menggeber kesenangan sekaligus memamerkan kehebatan teknologi sehingga kandungan hiburan di Teenage Mutant Ninja Turtles pun tidak lantas bikin eneg maupun pegal-pegal di sekujur tubuh. Cowabunga!

Acceptable

Post a Comment for "Review : Teenage Mutant Ninja Turtles"