Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Surat Dari Praha


“Tidak ada daerah untuk disesali. Kalaupun ada, saya menyesal sudah mengecewakan ibumu.” 

Ketidakelokan kualitas sederet film Indonesia berlatar negeri orang memang berpotensi menjadikan khalayak ramai jera terhadap film sejenis. Kekhawatiran bahwa Surat Dari Praha akan berakhir seperti yang sudah-sudah – dalam artian, sekadar menjual panorama untuk memanjakan mata – pun sempat membayangi diri ini. Satu hal yang menciptakan aku percaya film ini tidak akan bernasib serupa yaitu eksistensi Angga Dwimas Sasongko di balik kemudi. Bisa dibilang sebagai salah satu sutradara terbaik di Indonesia saat ini, Angga telah mencetuskan tiga karya jago dari Hari Untuk Amanda, berlanjut ke Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (membawa pulang Piala Citra untuk Film Terbaik), serta paling anyar ialah Filosofi Kopi. Dengan hanya tinggal menunggu waktu untuk berkata, “In Angga, we trust”, apa yang mungkin salah dari Surat Dari Praha? Dan kenyataannya, kelahiran Surat Dari Praha mampu dikata merupakan momen paling sempurna untuk kesudahannya berseru keras “yes, Angga did it again!” karena ini adalah sebuah surat cinta yang terajut begitu indah, romantis, sekaligus menyimpan kepiluan mendalam. 

Kenangan terakhir Larasati (Julie Estelle) bersama sang ibunda, Sulastri (Widyawati), ialah pertikaian. Larasati merongrong Sulastri untuk meminjamkan akta rumah untuk keperluan eksklusif. Belum sempat permintaan Laras terkabulkan, belum sempat pula keduanya berdamai, Sulastri berpulang. Dalam wasiatnya ia menyatakan bahwa rumah miliknya diserahkan ke putri semata wayangnya tersebut. Hanya saja, ada satu syarat yang harus dipenuhi Laras sebelum menerima warisan. Dia dititahkan bertolak ke Praha untuk menyerahkan sebuah kotak dan sepucuk surat ke Jaya (Tio Pakusadewo), mantan eksil politik yang terdampar di Praha sebagai tukang bersih-higienis menyusul keputusannya menolak Orde Baru. Perjumpaan Laras dengan Jaya untuk pertama kalinya tidak berlangsung mulus terlebih masing-masing masih menyimpan luka dari masa kemudian. Dipicu oleh satu kejadian naas, Jaya pun mau tak mau menerima keberadaan Laras di apartemennya. Selama keduanya hidup berdampingan yang perlahan tapi pasti menciptakan korelasi tak biasa inilah baik Laras maupun Jaya mencar ilmu untuk memaafkan, mengikhlaskan, dan berdamai dengan era lalu. 

Kita memang sudah tidak perlu lagi mewaspadai kemampuan bermain peran dari seorang Tio Pakusadewo. Tapi keahliannya dalam menyelami suatu huruf menunjukkan kelasnya tersendiri dalam Surat Dari Praha. Melalui pancaran mata, air muka, serta lontaran kalimat-kalimat periode berucap, penonton mampu mendeteksi adanya kesedihan berlarat-larat, kemarahan, maupun kesepian dalam diri Jaya. Yup, he’s that good. Adegan di permulaan film era Jaya memberi pelukan akrab pada anjing kesayangannya, Bagong, seraya berkata lirih “Sulastri seda (Sulastri meninggal)” begitu mendengar kabar cinta sejatinya telah tiada memberi tonjokan keras pada emosi. Tenggorokkan serasa tercekat, hati berdesir, sedangkan mata mulai berkaca-beling. Kita pun lantas mafhum dengan caranya yang agak garang memperlakukan Laras, meski tak bisa dihindari ada pula sedikit kejengkelan menyertai yang belakangan sepenuhnya sirna tatkala kita mengetahui alasan sebenarnya dibalik penolakannya terhadap eksistensi Laras beserta sepucuk surat yang dibawanya dari Indonesia. Sosok menyebalkan itu perlahan tapi niscaya mulai mendapatkan cinta dari penonton. 

Kegemilangan Tio dalam menginterpretasikan perannya ini ditunjang pula oleh rekan-rekannya. Julie Estelle tidak kelihatan kagok ketika ‘dipaksa’ adu argumentasi melawan Tio memperdebatkan ihwal kehancuran rumah tangga, cinta, sampai komunis, begitu pula ketika beliau mulai menawarkan gejala menyayangi (atau iba?) kepada pria renta yang sebagian besar usianya diisi kemuraman. Duet Larasati-Jaya membawakan tembang Nyali Terakhir diiringi dentingan piano merupakan salah satu momen terbaik dari film. Begitu manis dan syahdu. Jelas, Julie Estelle mengalami kenaikan kelas disini. Bersama Tio, keduanya mempertontonkan chemistry jempolan sehingga kita pun mampu merasa dekat dengan mereka. Bisa mencicipi pula kepedihan-kepedihan, kekecewaan-kekecewaan, yang mereka rasakan. Butuh tissue? Mungkin belum sampai kamu berjumpa lagi dengan Widyawati. Kemunculannya di Surat Dari Praha memang hanya sekilas kemudian, tapi efek yang diberikannya luar biasa membekas. Beliau ialah aktris paling bertanggung jawab atas basahnya pelupuk mata penonton di penghujung film yang merobek hati. Beliau yakni sumbu ledak bagi Surat Dari Praha

Kekuatan Surat Dari Praha tak semata-mata bersumber dari jajaran pemain. Karya terbaik dari Angga Dwimas Sasongko sejauh ini (ya, bahkan lebih manis ketimbang Hari Untuk Amanda dan Cahaya Dari Timur: Beta Maluku yang memukau itu, setidaknya bagi aku) juga unggul dari sisi pengisahan yang begitu mencengkram dekat pula jitu menyisipkan elemen sejarah pada platonic love story-nya, kemudian penataan gambar yang menawan dengan latar sudut-sudut Praha mampu berbicara banyak daripada hanya sekadar dimanfaatkan sebagai penghias, dan tentunya, dukungan lagu-lagu kepunyaan Glenn Fredly – mirip Sabda Rindu, Untuk Sebuah Nama, Menanti Arah, dan Nyali Terakhir – yang penempatannya tepat sasaran sehingga meniupkan jiwa bagi film. Tersusun atas kombinasi-kombinasi akhir hayat tersebut, sinema Indonesia telah menemukan kontender kuatnya untuk film terbaik 2016 melalui Surat Dari Praha. Buagus!

Outstanding (4/5)



Post a Comment for "Review : Surat Dari Praha"