Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Hateful Eight


“Move a little strange, you're gonna get a bullet. Not a warning, not a question... a bullet!.” 

Delapan orang ajaib dengan latar belakang dipertanyakan terjebak angin puting-beliung salju di sebuah kedai singgah. Apa yang akan mereka lakukan?... atau ganti saja pertanyaannya, apa yang akan terjadi? Apabila satu sama lain tidak ingin membuat huru hara, maka bisa jadi hingga waktu tak ditentukan mereka akan saling bertukar cerita, bersenda gurau, kemudian ngopi-ngopi anggun seraya menghangatkan tubuh di depan perapian yang tak henti-hentinya mengobarkan api. Konflik masih sangat mungkin terpercik yang intensitasnya sangat bergantung pada korelasi antar jiwa-jiwa ‘penuh kebencian’ tersebut – mampu tingkatan rendah, sedang, atau sangat tinggi. Tapi mengingat peristiwa ini berlangsung di film kedelapan dari seorang Quentin Tarantino, maka tentu kamu tidak lantas menduga semuanya akan baik-baik saja, bukan? Ya, gampang untuk dideskripsikan sebagai versi Western dari salah satu karya terbaik sang sutradara, Reservoir Dogs, The Hateful Eight tentu tidak akan memberikanmu pertikaian sederhana antar abjad. Seperti bisa kau harapkan dari Quentin Tarantino, kegilaan berdaya letup tinggi merupakan sajian utama yang ditawarkan ke penonton kurun menyimak The Hateful Eight

Dalam perjalanan menuju Red Rock untuk menggantung seorang buronan, Daisy Domergue (Jennifer Jason Leigh), kereta kuda yang ditumpangi oleh sang pemburu bayaran ternama, John Ruth (Kurt Russell), dihadang dua orang gila. Keduanya ialah Major Marquis Warren (Samuel L. Jackson), mantan tentara serikat, dan Chris Mannix (Walton Goggins) yang mengaku sebagai sheriff baru di Red Rock. Disebabkan oleh beberapa alasan – kebanyakan berupa rayuan bernada ancaman – John Ruth pun terpaksa memberikan sebagian ruangnya di kereta untuk Warren dan Mannix. Perjalanan mereka menuju Red Rock lantas terhambat saat tornado salju mulai menerjang yang membawa keempat penumpang ini untuk singgah di Minnie’s Haberdashery. Tidak ada sang pemilik kedai, mereka disambut oleh Bob (Demian Bichir) yang dipercaya mengurus kedai selama Minnie pergi dan tiga orang asing lain; Oswaldo Mobray (Tim Roth), Joe Gage (Michael Madsen), dan seorang Jenderal Konfederasi, Sanford Smithers (Bruce Dern). Menggigil kedinginan, kedelapan orang asing ini mulanya bertingkah normal sampai percakapan demi percakapan mulai menyibak jadwal terselubung masing-masing yang membuat kita mulai mempertanyakan kebenaran dari setiap ucapan mereka. 

Apabila ada yang melabeli The Hateful Eight dengan “bukan film untuk semua orang”, itu bisa dikata betul adanya. Kunci utama supaya dapat menikmati film instruksi sutradara aktivis Inglourious Basterds ini adalah kesabaran. Merentangkan durasi mencapai 167 menit – versi Roadshow malah mencapai 187 menit, termasuk Overture dan IntermissionThe Hateful Eight memang tidak cepat menggebrak. Malah, tergolong mengalun cukup lambat. Ya, setidaknya pada 100 menit pertama, film yang tuturannya dibagi ke dalam 6 bagian ini hanya berisi obrolan bermacam-macam topik antar karakternya dengan sesekali intensitas mengalami kenaikkan. Perbincangan mereka memang tidak bersinonim dengan kata menjemukan karena ada banyak taburan humor-humor aneh khas Tarantino yang membuat gelak tawa renyah dan mendengarkan celotehan setiap huruf tersebut merupakan kesempatan emas untuk mengenal karakteristik mereka lebih dekat, walau tak bisa dihindari ada kalanya di titik-titik tertentu terasa sedikit mengendur yang memunculkan kesan lelah secara otomatis. Tapi saat kamu dibayangi harapan untuk menyerah, The Hateful Eight kembali menampakkan daya pikatnya yang menjerat kepenasarananmu dalam mengetahui “apa sih yang bahwasanya terjadi?.” 

Dan, penonton pun ditempatkan pada posisi tidak pernah benar-benar bisa mempercayai karakter tertentu. Mulanya kita akan menganggap Warren (atau setidaknya begitu maksud Tarantino) yaitu karakter paling higienis diantara kerumunan begundal-begundal hingga beberapa pertarungan lidah membuat kita ragu-ragu. Begitu pula terjadi ke Mannix dan Ruth yang tidak kalah abu-abunya dibanding Warren. Disokong olah tugas menakjubkan dari ensemble cast; kesemuanya bermain sangat cemerlang, namun tepuk tangan lebih keras patut disematkan untuk kuartet edan Samuel L. Jackson, Kurt Russell, Jennifer Jason Leigh, dan Bruce Dern, hingga-hingga sensasi rasa semacam gregetan, jengkel, dan curiga mampu muncul secara silih berganti. Phew. Air tenang yang keruh di lebih dari separuh durasi pertama perlahan-lahan mulai mengalir deras begitu Warren berkonfrontasi mahir dengan Smithers yang berlanjut pada kegilaan tak pernah terbayangkan sebelumnya melibatkan kata kunci ‘kopi’. Dengan guliran pengisahan lantas menyusupkan pula elemen whodunnit, aroma sedap The Hateful Eight semakin tercium. 

Kesabaran menanti pun balasannya dibayar lunas oleh Quentin Tarantino di tiga bab terakhir yang menyimpan banyak kejutan, kebrutalan, dan kesintingan. Kebencian-kebencian tersembunyi lengkap dengan segala basa-busuk di awal perjumpaan alhasil meledak juga alasannya adalah secangkir kopi yang seketika memerahkan layar. Ketegangan meningkat tajam, terlebih tidak ada jalan keluar sama sekali sebab para huruf terkepung badai salju yang turun lebat. Siapa bersalah atau apa motif di balik segala kekacauan ini memang karenanya tidak dijabarkan secara memuaskan (bila tak mau dikata, cenderung antiklimaks), namun duel kematian pada penghujung film divisualisasikan begitu brilian. Beruntunglah Quentin Tarantino masih mendapat pertolongan dari para pelakon berkualitas jempolan, skoring musik kelas wahid gubahan Ennio Morricone, dan tata kamera mengesankan Robert Richardson yang efektif merekam sudut-sudut kedai sehingga kegilaan berdaya letup tinggi tetap sanggup dihantarkan di The Hateful Eight walau terang ini sama sekali bukan termasuk salah satu mahakarya yang pernah dihasilkan Tarantino.

Outstanding (4/5)



Post a Comment for "Review : The Hateful Eight"