Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Runaway


Begini. Sebelum Anda menetapkan melenggang manis (atau ganteng) ke gedung bioskop terdekat guna menyaksikan Runaway, tanyakan terlebih dahulu ke lubuk hati paling dalam perihal: 1) apa cita-cita yang ingin Anda genggam usai melahap film ini?, dan 2) apakah Anda yakni penggemar berat Al Ghazali sehingga menganggap melewatkan Runaway adalah sebuah kesalahan tak termaafkan?. Apabila tanggapan atas pertanyaan pertama mempunyai keterkaitan berpengaruh dengan sesudahnya, maka Runaway bukanlah pilihan mencurigai. Malah cenderung bersifat wajib. Tetapi kalau tidak, hanya tergiur pada materi promosinya semata – harus diakui, Maxima Pictures adalah rumah produksi paling jagoan untuk masalah satu ini – bolehlah dipikir ulang. Kecuali, Anda memang sama sekali tidak keberatan melahap film yang isiannya tidak lebih dari jualan Al Ghazali yang tengah berkibar popularitasnya dan panorama indah Hong Kong. 

Dari sisi tuturan cerita, Runaway tampak terinspirasi dari film Mandarin bergenre action-romance pada dekade 80-90’an, Pretty Woman, sekaligus mengaplikasikan ‘damsel in distress’: pertautan asmara antara seorang kaya dan seorang miskin. Sesederhana itu. Si miskin yaitu Tala (Tatjana Saphira), gadis pencopet yang melakoni tindakan kriminal untuk membiayai pengobatan sang ibu (Dewi Irawan) yang sakit-sakitan serta pamannya (Edward Akbar) yang terlilit hutang besar ke salah satu pimpinan gangster. Perpaduan antara paspor bermasalah dan tidak adanya biaya menjadi hambatan bagi mereka untuk balik ke tanah air sehingga mau tak mau ketiganya pun terdampar di Hong Kong. Jawaban atas segala masalah yang merundung Tala lantas datang dari sosok Musa (Al Ghazali), putra pengusaha kaya yang berniat ekspansi bisnis ke Hong Kong. Pertemuan keduanya bermula saat Musa memergoki Tala yang mencopet dompet dan paspor miliknya. Sebagai bentuk ganti rugi, Musa meminta Tala untuk menemaninya jalan-jalan selama seminggu di Hong Kong yang menjadi cikal bakal terbentuknya asmara diantara mereka. 

Ya, Runaway memang hampir saja tidak memberikan kebahagiaan apapun kecuali untuk penggemar berat putra sulung musisi ternama Ahmad Dhani yang mampu dipastikan akan terpuaskan memandangi wajah ganteng Al Ghazali di layar lebar sepanjang 100 menit sekalipun ekspresinya terhadap segala situasi cenderung sama tanpa ada perbedaan sedikitpun. Premis yang diusung – walau klisenya bukan main – bahwasanya mempunyai potensi menjadi menarik, hanya saja dalam pengembangannya malah terseok-seok. Dimulai secara meyakinkan, Runaway tiba-datang ‘ngadat’ setelah Musa berjumpa Tala. Kelewat bertele-tele, obrolan menggelikan, dan porsi adegan aksi pun dipangkas secara signifikan. Kecewa? Tentu saja. Terlebih bila menonton film ini karena terbujuk rayu label ‘action-romance’ yang digembar-gemborkan selama kurun promosi. Dalam hati pun seketika menjerit, “wahai pembuat film, mana adegan aksinya?!”. Selama durasi merentang, hanya ada sekitar 3-4 kekerasan yang tampak lengkap dengan segala kemustahilannya yang konyol. Oh ya, aku pastikan beberapa diantaranya akan menciptakan Anda tertawa. Dengan kata lain, unintentional comedy

Setelah melambat seolah kehabisan bahan bakar, entah bagaimana ceritanya Runaway datang-tiba bergerak kencang di 15 menit terakhir, kelewat kencang malah, mirip ingin buru-buru pulang alasannya hujan topan segera menyapa. Akibatnya, titik puncak yang berpotensi meninggalkan kesan mendalam pula menguras air mata pun terjatuh cuek, asing, dan terlewat dipaksakan. Komentar semacam “lho kok jadi begini? Si itu kok bisa jadi begitu?” pun seketika terlontar dari lisan penonton lantaran penyelesaian konflik yang serasa digampangkan menciptakan kepercayaan terhadap tuturan kisah meredup. Sungguh sangat disayangkan. Tapi beruntung, sekalipun rasa kecewa mendera, Runaway turut pula menyumbangkan kesan anggun berkat keindahan Hong Kong di beberapa titik yang membuai mata dimaksimalkan secara penuh oleh Guntur Soeharjanto, beberapa adegan sabung – walau seringkali serasa sekelebat – yang mengasyikkan, akting apik dari Tatjana Saphira (kecantikannya tak kalah dari Asmirandah!) pula Dewi Irawan, dan penempatan lagu pengiring ‘Kurayu Bidadari’ secara pas menawarkan sedikit rasa pada film. Dengan begini, muka masam bertekuk-tekuk pun tidak menyertai kurun meninggalkan gedung bioskop.

Acceptable



Post a Comment for "Review : Runaway"