Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Paddington


“In London, everyone is different, but that means anyone can fit in.” 

Di Indonesia, popularitas beruang menggemaskan dari pedalaman Peru bernama Paddington boleh jadi kurang bergema dibandingkan rekan-rekan sejawatnya semacam Winnie the Pooh, Yogi, atau Barney. Tidak banyak yang betul-betul mengenalnya meski Paddington tergolong salah satu huruf fiksi paling digemari di aneka macam potongan dunia lain sejak kemunculan pertamanya di buku literatur anak asal Inggris kreasi Michael Bond pada tahun 1958. Semenjak itu, sosok beruang penggemar selai jeruk ini telah menghiasi puluhan edisi buku yang diterjemahkan ke 30 bahasa, beberapa judul serial animasi khusus televisi, sampai menerima kesempatan untuk beraksi di layar lebar lewat proyek ambisius berbujet mahal milik Studio Canal berjudul yah, apalagi bila bukan Paddington. Sempat terkatung-katung tanpa adanya kepastian selama 5 tahun lamanya, versi bioskop Paddington hasilnya dilepas ke publik pada final 2014 sebagai menu untuk keluarga pengisi libur Natal dan Tahun Baru. 

Memulai segalanya dari awal, kita berkenalan dengan Paddington (Ben Whishaw) yang hidup damai, kalem, serta penuh kebahagiaan bersama paman bibinya yang sudah uzur, Aunt Lucy (Imelda Staunton) dan Uncle Pastuzo (Michael Gambon), di pedalaman Peru seperti tak ada lagi yang bisa diminta lebih dari ini terlebih mereka pun bergelimangan selai jeruk yang menjadi masakan favorit bagi mereka. Akan tetapi, kehidupan ideal bagi Paddington dan keluarga kecilnya ini mendadak direnggut setelah Uncle Pastuzo meninggal dalam sebuah gempa besar yang menghancurkan kediaman mereka. Aunt Lucy lantas mengirim Paddington ke London yang digambarkan oleh seorang penjelajah di abad lampau, Montgomery Clyde, sebagai kota paling ramah di dunia dengan harapan memperoleh tempat tinggal layak. Ketimbang menerima sambutan hangat, kehadiran Paddington di London justru disambut masbodoh yang seketika memupuskan mimpinya memperoleh rumah idaman sampai takdir menghantarkannya pada keluarga Brown. 

Sebetulnya, Paddington dibangun di atas fondasi bercerita yang tidak terlampau istimewa dan sedikit menunjukkan pembaharuan. Kisah mengenai pencarian satu tokoh yatim piatu di wilayah baru untuk menemukan kehangatan kasih keluarga telah berulang kali menjadi pokok utama kupasan di film-film keluarga terlebih jikalau ditujukan sebagai menu Natal sehingga bolehlah kita menyebutnya sebagai sesuatu yang lama. Pun demikian, mirip dikatakan oleh seorang bijak, “barang usang sekalipun mampu bersinar apabila digosok secara cermat.” Itulah yang berhasil dilakukan oleh Paul King kepada Paddington. Menunjukkan sebetulnya film dengan tuturan daur ulang sekalipun masih mampu dipresentasikan dengan tampilan mengesankan alasannya kuncinya, bagaimanapun, terletak pada eksekusi. Paddington memberi penonton nuansa kental ‘holiday movies’ yang menyatukan antara kekonyolan, keseruan, dan kehangatan dalam petualangan penuh kesenangan nyaris tanpa selesai bercita rasa sangat British

Ya, Paddington mencuplik formula kesuksesan yang diterapkan oleh Home Alone, Stuart Little, dan 101 Dalmatians kemudian memberinya sedikit sentuhan a la Wes Anderson pada tampilan visual... and it works very well! Sulit menampik pesona yang dipancarkan oleh Paddington terlebih tim efek khusus mewujudkan sang protagonis dalam wujud sesosok beruang menggemaskan, adorable, dan charming yang diberikan jiwa secara tepat oleh bunyi dari Ben Whishaw. Jajaran pemain di departemen akting pun memberi performa yang tak kalah bagusnya, dari Hugh Bonneville sebagai Mr Brown dengan adegan penyamarannya yang menjadi salah satu bagian terbaik film (sangat kocak!), Sally Hawkins membawa kehangatan pada Mrs Brown, dan Nicole Kidman dalam tugas antagonis yang mengingatkan kita kepada kekejaman Cruella de Vil. Pada akibatnya, Paddington ialah obat rindu bagi siapapun yang mendambakan berlibur beramai-ramai bersama keluarga tercinta seraya menyaksikan holiday movie di bioskop. Ada banyak kesenangan berbalut canda tawa di sini semenjak pemandangan indah hutan Peru terhampar, lalu berlanjut ke kekacauan di rumah keluarga Brown, sampai memuncak di museum. Seluruh hura-hura ini lantas disusupi oleh hati yang memperlihatkan rasa hangat dan feel-good seusai menontonnya.

Exceeds Expectations


Post a Comment for "Review : Paddington"