Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Nada Untuk Asa


"Mengapa kita yang harus menanggung semua ini, Ma? Mengapa bukan orang lain saja?"
"Karena kita bisa."

Di khasanah sinema Indonesia, film yang menempatkan tokoh berpenyakit serius sebagai sentral penceritaan seringkali diciptakan melebihi batas-batas manusiawi demi setetes air mata penonton. Tiada ampun, penderitaan digenjot habis-habisan seolah-olah seluruh semesta menentangnya dan solusi terbaik untuk melepaskan seluruh beban berat yang dipanggul yaitu kematian. Lalu... ini terus berulang, berulang, senantiasa berulang. Rumusan eksploitasi kesedihan yang didramatisir sedemikian rupa semacam ini mungkin berhasil belasan tahun silam, tapi dikala ini, masihkah ada yang benar-benar peduli? Karya terbaru dari Charles Gozali usai kecermelangan Finding Srimulat yang menyinggung soal penyakit HIV/AIDS, Nada Untuk Asa, mencoba mendobrak keseragaman tuturan tersebut. Ketimbang menggulirkan celotehan tragis yang disesaki oleh ratapan-ratapan pilu – atau malah bekerja sebagai iklan layanan masyarakat – Nada Untuk Asa yang terinspirasi dari cerita Yurike Ferdinandus hidup menentukan jalur tempuh berbeda yang menyelipkan pesan uplifting soal keberanian menjalani hidup. Menggugah, huh? 

Entah kutukan apa yang menimpa Nada (Marsha Timothy). Seolah belum cukup ditinggal pergi sang suami ke alam abadi, berturut-turut kesialan menyapanya. Dimulai dari Nada mendapati fakta bahwa dirinya terjangkiti virus HIV/AIDS yang ditularkan eksklusif dari sang suami, keluarga Nada yang tiba-tiba membuat jarak, hingga sang bungsu yang turut kecipratan penyakit tersebut. Di sela-sela upaya Nada menata kembali kehidupannya yang berserakan, hadir sosok lain berjulukan Asa (Acha Septriasa) – dalam pengisahan paralel – yang juga terinfeksi HIV +. Tidak mirip Nada yang mengalami kesulitan dalam berdamai dengan kenyataan, Asa justru menjalaninya secara santai tanpa beban bahkan telah terbiasa mendapatkan penolakan-penolakan terkait penyakit yang dideritanya. Seringkali mencecapi pahitnya hidup, tiba-tiba rasa bagus menghampiri Asa saat seorang laki-laki bernama Wisnu (Darius Sinathrya) mengetuk pintu hatinya secara lapang dada tanpa sedikit pun mempermasalahkan ‘status’ yang disandangnya. 

Menilik garis penceritaan, mudah bagi kita untuk khawatir Nada Untuk Asa akan terjebak sebagai tontonan lebay penuh kecengengan. Tidak ada yang menyalahkan sebab itu telah mendarah daging di film sejenis yang cenderung membiarkan sang tokoh utama menyesali cobaannya tanpa sedikit pun memberikan usaha membangkitkan diri dari keterpurukan. Well, bekerjsama Charles Gozali masih menyelipkan tokoh semacam itu di Nada Untuk Asa, hanya saja berada dalam posisi minor dan ditabrakkan dengan tokoh lain yang memiliki asas bahwa HIV + bukanlah tamat dari segalanya. Ada Asa yang sedari awal menolak keras untuk takluk – bahkan berani mengakui ketidakberuntungannya – dan ada pula Nada yang perlahan-lahan memberikan perlawanan saat orang terdekatnya memberi respon bermacam-macam terhadap bencana ini. Dengan eksistensi tokoh bersikap tegar yang menganggap penerimaan diri adalah solusi terbaik, maka deraian air mata yang dikhawatirkan akan menghiasi Nada Untuk Asa pun bisa diminimalisir. Malahan, film tidak keberatan menampakkan nuansa ceria, penuh kejenakaan, sekaligus elok tanpa harus kehilangan sisi sentimentilnya. 

Kecakapan Charles Gozali dalam menyeimbangkan mood kelam dan cerah ditunjang secara apik oleh iringan tembang-tembang menawan dari Pongki Barata yang memaksimalkan rasa di setiap adegan sekaligus parade akting dari formasi pelakonnya yang elok. Ditempatkan di poros utama, Marsha Timothy yang sekali ini ‘naik kelas’ berhasil menjalankan peran beratnya dalam mempermainkan emosi penonton lewat tokoh yang membuat kita turut berempati – merasakan setiap penderitaan yang menghadangnya. Sedangkan Acha Septriasa, seperti biasa bermain bagus, menjalin chemistry berpengaruh bersama Darius Sinathrya sehingga menyerbakkan aroma harum di sisi romansa yang menyentuh. Lalu Inong Nidya Ayu sebagai kakak Nada yang memecah belah perasaan antara jengkel bukan kepalang atas keputusan yang diambilnya sekaligus memahami ada niat baik di belakangnya, serta Wulan Guritno bersinar terperinci sebagai wanita pengidap HIV + yang terganggu jiwanya di tengah terbatasnya porsi tampil untuknya. Kinerja cemerlang dari setiap departemen yang saling melengkapi satu sama lain inilah pada akhirnya berjasa besar menyukseskan tujuan mulia Nada Untuk Asa untuk hadir sebagai tontonan soal penyakit yang ‘berbeda’, mengedukasi secara benar, serta mengapungkan cita-cita alih-alih menjatuhkan lewat eksploitasi penderitaan yang mengerikan. Tanpa perlu dihujani tangis pilu berlebihan, Nada Untuk Asa malah berhasil mencuri perhatian, menghujam emosi sekaligus menginspirasi. Bagus!

Exceeds Expectations

Post a Comment for "Review : Nada Untuk Asa"