Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Love, Rosie

“There aren't many sure things in life, but one thing I know for sure is that you have to deal with the consequences of your actions. You have to follow through on some things." 

Di semesta film percintaan, masalah jatuh cinta kepada sobat sendiri telah tercatat di katalog tema semenjak puluhan tahun silam. Kegelisahan yang mendera nyaris senantiasa serupa, berkisar pada pertanyaan, “bisakah laki-laki dan wanita sekadar erat?”, yang berlanjut pada pengkhianatan terhadap hati kecil dengan mencoba berpura-pura menawarkan ruang hati kepada orang lain. Ini telah beralih sebagai salah satu template klasik – jika tak mau disebut klise – di ranah romansa. Love, Rosie garapan Christian Ditter yang merupakan jelmaan dari novel bertajuk When Rainbow Ends hasil olahan penggagas P.S. I Love You, Cecelia Ahern, pun mengedepankan problematika soal sepasang sahabat yang ditempa problem dikala percikan asmara mulai membayangi persahabatan mereka. Walau berputar di bulat serupa, Love, Rosie turut menggandeng permasalahan lebih rumit menyangkut hamil muda yang dibutuhkan dapat membawa daya hentak kuat pada konflik. Berhasilkah? 

Rosie Dunne (Lily Collins) menawarkan pidato ucapan selamat di sebuah resepsi pernikahan. Penonton tidak dibiarkan mengetahui secara niscaya apa yang tengah terjadi, sekadar berspekulasi bahwa ini yaitu hari membahagiakan bagi sobat baik Rosie, Alex Stewart (Sam Claflin). Akan tetapi, jikalau memang benar demikian, apakah ini berarti bahwa jalan terbaik bagi mereka kedua ialah... tidak bersatu? Untuk memperoleh gambaran lebih utuh, film lantas melempar kita ke 12 tahun silam dikala keduanya menapaki usia dewasa. Terbiasa bahu-membahu kemanapun kapanpun, Rosie dan Alex merancang untuk melanjutkan pendidikan lanjutan ke Amerika Serikat guna mewujudkan mimpi besar masing-masing. Sayangnya, segala planning yang telah tersusun matang seketika berantakan ketika Rosie mendapati dirinya tengah mengandung janin hasil berasyik masyuknya bersama Greg (Christian Cooke). Tidak ingin menghalangi abad depan Alex, Rosie pun menetapkan untuk membatalkan perjalanan, melanjutkan hidup dan membesarkan buah hatinya. 

Selesai? Tidak secepat itu. Walau keduanya telah membangun kehidupan ideal bersama pasangan, rasa cinta diantara mereka tidak mampu diingkari masih bergejolak. Dari sini, guliran konfliknya pun bertahap mulai mengusut. Yang menciptakan Love, Rosie (pada awalnya) terasa menyenangkan untuk disimak ialah keputusan Christian Ditter untuk menghindari kemenye-menyean yang melelahkan dengan memotret kemelut yang menerjang Rosie-Alex dalam bingkai bernuansa cerah ceria. Ketimbang meratapi kegagalannya dalam meraih mimpi, Rosie justru menikmati kehidupan barunya sebagai ibu yang sedikit banyak menyerbakkan rasa hangat kepada penonton. Dengan chemistry begitu lekat antara Lily Collins dan Sam Claflin, ditambah pula kenyataan bahwa karakter yang mereka mainkan cenderung likeable, masih ada pengharapan untuk melihat keduanya bersatu. Dengan banyak tawa canda yang dilumuri tembang-tembang pengiring kece yang menambah kedalaman rasa pada beberapa adegan, sisi manis juga cukup sering terpercik disana sini di paruh awal. 

Sayangnya, segala kesan baik yang telah tercipta untuk Love, Rosie ini sedikit demi sedikit mulai tergerus menjelang klimaks dikala pilar drama mulai menampakkan wujudnya. Menjunjung tinggi asas ‘happily ever after’ yang disertai harapan untuk melihat penonton berlinangan air mata, konflik yang menjebak Rosie-Alex mendadak terasa dipaksakan, konyol, sekaligus bertele-tele abad menyapa mereka secara bertubi-tubi tanpa ampun yang memudarkan sisi charming dari film. Kedua tokoh utama yang mudah untuk dicintai (dan didukung) pun turut terkena dampaknya sehingga sosok Rosie-Alex mendadak tampak begitu menjengkelkan karena sikap yang terlalu dipenuhi keragu-raguan berbalut gengsi terlebih cara yang ditempuh oleh si pembuat film di penghujung untuk meredam prahara terasa menjauhi cita rasa romantis mengusut apa yang telah diperbuat oleh satu tokoh kepada tokoh lain. Dengan penyelesaian semacam ini, sulit untuk dibentuk betul-betul jatuh hati kepada Love, Rosie walau tak bisa dipungkiri ini sejatinya tetaplah gelaran manis yang cukup lezat dikudap di ketika bersantai ria bersama orang terkasih.

Acceptable



Post a Comment for "Review : Love, Rosie"