Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : 2014


“Ini bukan duduk perkara satu atau dua kurun, ini duduk perkara puluhan tahun untuk memperbaiki bobroknya sistem aturan kita.” 

Setidaknya ada dua alasan yang membuatku menempatkan 2014 di daftar teratas film paling diincar untuk ditonton minggu ini; 1) 2014 bermain-main di ranah political thriller yang begitu langka dijumpai di perfilman Indonesia (atau malah belum ada?), dan 2) tagline “siapa di atas Presiden?” mendongkrak kepenasaran ke level tertinggi. Tapi di atas semua itu, adanya keingintahuan untuk mengintip seberapa jauh keberanian si pembuat film – ditangani oleh duo Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra – mengeksplorasi tema politik yang cenderung dihindari oleh para sineas mengingat imbas sampingnya memungkinkan untuk menyinggung pihak-pihak tertentu. Terlebih lagi, sebab film ini secara terbuka mempergunjingkan soal bobroknya bangunan sistem sosial, politik, dan hukum yang dimiliki oleh negara ini melalui event berskala nasional, Pemilihan Umum Presiden, yang gres beberapa bulan kemudian dihelat. Well, semuanya tentu masih berada di koridor fiktif namun premis yang diusung oleh 2014 ini terdengar mau-tidak-mau cukup sulit untuk ditolak memeriksa betapa carut marutnya kondisi sospol Indonesia ketika ini. 

Ambisi berlebih dari salah satu kandidat Presiden Indonesia kala 2014-2019, Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy), yang begitu dielu-elukan oleh rakyat untuk memperbaiki setiap lini yang awut-awutan di negara korup ini berdampak fatal. Di detik-detik terakhir menjelang Pemilu, Bagas datang-datang terseret ke dalam skandal pembunuhan salah satu pejabat negara dan tercatat sebagai tersangka utama. Mencurigai bahwa ini merupakan jebakan dari pesaing utama Bagas, Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam), yang berniat menjatuhkan reputasi Bagas, putra sulung Bagas yang bahwasanya tidak terlalu menaruh minat pada dunia politik, Ricky Bagaskoro (Rizky Nazar), pun mencoba menelusuri. Dalam upayanya mengungkap kebenaran, Ricky meminta sumbangan kepada pengacara idealis, Khrisna Dorojatun (Donny Damara), dan putrinya, Laras (Maudy Ayunda), untuk membebaskan sang ayah. Keputusan mereka menyelidiki kasus ini yang dibantu pula oleh Iptu Astri (Atiqah Hasiholan) menyeret keempatnya dalam permainan kucing-kucingan penuh bahaya di dunia politik yang tidak ragu-ragu meminta imbalan berupa nyawa. 

Jika hanya diperkenankan untuk mendeskripsikan seperti apa 2014 hanya melalui satu kata, maka tidak ada yang lebih tepat dari... seru! Tanpa berbasa-busuk kesana kemari, duo sutradara secara membabi buta menjerat penonton ke guliran dongeng yang menuntut perhatian lebih. Ya, alurnya bergerak begitu cepat sehingga bila kau hendak menontonnya lebih baik tuntaskan segala urusan berkenaan dengan toilet (maupun telepon genggam) sebab meninggalkannya dalam beberapa kedipan mata akan membuatmu sedikit tersesat. Skrip bentukan Ben Sihombing dan Rahabi Mandra secara mengasyikkan – dan juga mendebarkan, phew! – mengajak kita menyelami proses investigasi rumit untuk menumpuk bukti-bukti pembelaan yang dilengkapi sentuhan forensik sampai berujung pada saling serang di pengadilan dan menciptakan kita bertanya-tanya, “siapa di atas Presiden?”. Sesuatu yang sangat jarang kita jumpai di sinema Indonesia, bukan? Dan mirip telah menjadi ciri khas seorang Hanung Bramantyo, maka beragam sentilan-sentilun berani turut diapungkan di sini dengan sasarannya berkisar pada tindak korupsi, haus kekuasaan, agama sebagai atribut politik, gambaran jelek kepolisian, janji-akad elok politikus, hingga Presiden boneka. Berkaca pada kumpulan gosip politik yang menyesaki media di tanah air, kupasan ini sangat terasa relevansinya – meski film sejatinya telah digarap semenjak dua tahun silam. 

Intensitas pada 2014 bukan saja dipicu dari bagaimana si pembuat film menggelar pengisahan, melainkan turut bersumber dari rangkaian adegan aksi yang melingkunginya. Pencapaiannya memang tak sedahsyat dwilogi The Raid, namun selama itu bisa membuatmu beberapa kali menahan nafas, mencengkram akrab dingklik bioskop, dan enggan memalingkan pandangan dari layar bioskop, maka misi telah tertunaikan secara sukses. Lewat sederet adegan kejar-kejaran kendaraan beroda empat, baku hantam, maupun tembak menembak ini, Hanung dan Rahabi menjabarkan definisi dari kata ‘asyik’ dan ‘seru’ walau tidak mampu dipungkiri beberapa diantaranya berkesan berlebihan. Salah satu yang paling meninggalkan kesan dari serentetan gelaran laga di 2014 ialah performa apik Atiqah Hasiholan dalam memeragakan koreografi tarung yang tidak disangka-sangka tergolong luwes. Sungguh menyegarkan melihatnya keluar dari zona nyaman peran-tugas berbau ‘cewek banget’ untuk menjelma sebagai badass heroine dan pertarungan sengitnya di penghujung film bersama (uhuk!) sang suami, Rio Dewanto, menjadi highlight dari film ini. Mungkin sudah saatnya menawari Atiqah dengan sebuah tugas lain di film adu? 

Berbincang soal kemampuan berlakon, Atiqah Hasiholan bukanlah satu-satunya yang menonjol di sini. Rizky Nazar, Ray Sahetapy, Donna Harun, Rudy Salam, dan Rio Dewanto memang bermain mengesankan, namun kredit khusus layak diberikan kepada Donny Damara yang memancarkan wibawa serta kharisma besar lengan berkuasa sehingga menciptakan karakternya begitu mudah untuk dicintai dan didukung. Sosok Khrisna Dorojatun memegang peranan sangat penting dalam menggerakkan film dan berkat akting Donny Damara, karakternya menjadi hidup. Memberikan sentuhan emosi kepada guliran kisah. Kita benar-benar dibuat peduli terhadapnya, keluarganya, maupun perkara yang ditanganinya hingga-sampai terpercik impian untuk melihatnya melibas jaksa penuntut melalui kemenangan gemilang di pengadilan. Ketika penonton berhasil terkoneksi ke satu (atau malah beberapa) tokoh dalam film, pada ketika itulah kita menyadari bahwa film tersebut telah sukses menjalankan tugasnya. Dan, 2014 melakukannya secara cukup mulus. Bangunan besar lengan berkuasa untuk plot dan abjad yang menjadi syarat utama terlaksananya film political thriller bagus tersaji di sini. 2014 bisa suguhkan olahan cerita penuh intrik yang memadukan cita rasa seru, berani, menegangkan, sekaligus menyenangkan. Walau sedikit dilemahkan oleh babak ketiganya yang, well... cenderung dipaksakan, 2014 tetaplah sebuah produk unggul yang yummy buat disantap. Jarang-jarang kita bisa menyimak film soal politik buatan dalam negeri yang tergarap sebaik ini.

Exceeds Expectations

Post a Comment for "Review : 2014"