Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Imitation Game


“Sometimes it is the people who no one imagines anything of who do the things that no one can imagine.” 

Seorang filsuf kenamaan dari Barat, Ralph Waldo Emerson, pernah berujar, “to be great is to be misunderstood,” ketika mengutarakan gagasannya tentang ‘Self Reliance’. Lontaran pernyataan ini disertai beberapa bukti melibatkan sejumlah tokoh penting mirip Yesus, Phytagoras, maupun Socrates yang melewati jalanan berliku-liku untuk memperoleh legalisasi dari khalayak ramai atas kontribusi besar – sulit dipahami oleh manusia lain di zamannya – yang mereka sumbangkan bagi peradaban manusia. Konsekuensi ‘menentang arus’ yang diterima beraneka ragam wujudnya, dari sekadar dihujani perundungan, pengucilan, sampai menerima eksekusi mati. Seorang jago matematika sekaligus kriptoanalisis, Alan Turing, pun menghadapi nasib kurang lebih serupa tatkala memperjuangkan terwujudnya sebuah alat pemecah arahan Enigma yang membantu kemenangan Sekutu pada Perang Dunia II. Penolakan diperolehnya dari lingkungan sekitar – terlebih Turing digambarkan sebagai sosok hambar dan besar kepala. 

Memilukannya, kendati sumbangsih yang ditorehkan oleh Turing kepada Inggris bukan lagi sepele, keberadaanya nyaris tak terlacak di sejarah... bahkan sempat ditutupi selama puluhan tahun lamanya oleh pemerintah Britania Raya! Tidak mengherankan bila lantas banyak dikemukakan pertanyaan, “siapa bantu-membantu Turing? Mengapa kisah hidupnya begitu penting untuk diketahui?,” saat sineas asal Norwegia, Morten Tyldum, mengangkat sosoknya lewat film berbahasa Inggris perdananya, The Imitation Game – menyusul kegemilangan Headhunters – berpijak pada buku biografi kreasi Andrew Hodges berjudul Alan Turing: The Enigma yang boleh jadi salah satu karya paling berjasa dalam memperkenalkan Turing ke mata dunia. Melalui The Imitation Game, Tyldum mengajak penonton menelusuri sekelumit jatuh bangkit Alan Turing pada tiga abad terpenting di kehidupan Turing meliputi fase akil balig cukup akal, bekerja untuk pemerintah, dan detik-detik menjelang kematiannya, dalam tuturan yang mengoyak emosi, mengikat, sekaligus mendebarkan. 

Penceritaan di The Imitation Game dimulai dari interogasi Detective Nock (Rory Kinnear) terhadap Alan Turing (Benedict Cumberbatch) usai perkara pendobrakan yang mencurigakan di rumah Turing. Pengakuan-pengakuan Turing membawa kita terlempar ke beberapa tahun lampau saat Turing mendedikasikan hidupnya untuk bekerja di fasilitas rahasia pemecahan aba-aba milik pemerintah Inggris, Bletchley Park, bersama sejumlah jenius terbaik di Inggris dari beragam bidang keahlian termasuk calon tunangannya, Joan Clarke (Keira Knightley). Diburu oleh sempitnya waktu sementara korban perang dari serangan Nazi terus berguguran, Turing merasa upaya mereka dalam memecahkan isyarat Enigma yang senantiasa berganti tiap hari sia-sia belaka. Sebagai solusi, Turing pun menanggalkan kerjaannya dan fokus pada penciptaan alat pemecah Enigma yang memicu timbulnya konflik diantara sesama. Di tengah-tengah situasi serba panas ini, sekali lagi kita dibawa mundur ke belakang mengusut masa sekolah Turing yang memiliki peranan krusial dalam membentuk kepribadiannya mirip yang kita lihat sepanjang film. 

Tentu, Benedict Cumberbatch yakni kunci atas keterlibatan emosi penonton pada The Imitation Game. Menghantarkan performa konsisten yang sedari awal begitu impresif, kita merasakan kepedihan dan kehampaan yang menggelayutinya di balik tembok penuh sikap tak ramah yang dibangunnya. Pun begitu, keberpihakan berbentuk perilaku tenggang rasa untuknya tak serta muncul – melainkan cenderung berproses – menyelidiki Turing bukanlah sosok yang, yah... gampang dicintai. Sama sekali tidak. Seperti halnya Hugh Alexander dan Joan Clarke (dimainkan dengan menawan oleh Matthew Goode dan Keira Knightley) ada satu titik keinginan menonjoknya keras-keras muncul ke permukaan, namun seiring berlalunya durasi – ketika lapisan-lapisan era lalu mulai terkuak – penonton alhasil menyadari pemicu dari dinginnya laku Turing. Keengganan menjalin kedekatan bersama Turing seketika bergeser digantikan oleh perasaan kagum bercampur iba. Ada keinginan untuk melihatnya merayakan kebahagiaan sesudah kehilangan besar, walau indikasi sulitnya buat terwujud terpampang terang. 

Ketidaktahuan mengenai perjalanan hidup Alan Turing menjadi berkah tersendiri sepanjang menyimak The Imitation Game. Seusai menit pembuka yang menyelipkan obrolan, “are you paying attention?”, ada ketertarikan untuk memberi perhatian lebih terhadap guliran perjalanan hidup Turing – alasannya adalah nyaris tidak ada citra soal serentetan peristiwa yang akan melingkupi. Morten Tyldum pun mencoba mengenyahkan anggapan publik soal “well, film biopik... pasti menjemukan” lewat alur yang melaju lancar, cukup kencang, dan menghindari metode penceritaan konvensional. Dan daya pikat film pun semakin menguat sesaat setelah The Imitation Game turut menapaki ranah study character dan memperbincangkan moralitas berkenaan orientasi seksualitas Turing yang dianggap terlarang abad itu. Lalu, dengan bermunculannya momen-momen genting selama Perang Dunia II, beberapa diantaranya bahkan memaksa Turing dan tim kecilnya untuk mengambil keputusan sangat penting tentang hidup mati warga Inggris, cenderung mustahil dapat duduk tenang di dingklik bioskop tanpa merasakan getaran apapun pada emosi. Tyldum secara lihai mampu menghantarkan suasana yang mengombinasikan sensasi harap-harap cemas penuh ketegangan dengan kesedihan yang akan membuat matamu berkaca-beling. The Imitation Game was so inspiring, thrilling, and heartbreaking.

Outstanding



Post a Comment for "Review : The Imitation Game"