Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Hijrah Cinta


“Maukah kamu menjadi saksi perubahan hidupku?” 
“Aku mau, hingga kapanpun...” 

Lewat tatapan penuh makna di sebuah dermaga, Uje (Alfie Affandy) melontarkan pertanyaan yang menyiratkan keinginannya membawa Pipik (Revalina S Temat) naik ke pelaminan, untuk mendampinginya dalam menemukan kembali jalan seharusnya sehabis tersesatkan di neraka duniawi yang sekilas memperlihatkan kenikmatan tiada tara. Tanpa ada keraguan, meyakini bahwa lelaki di hadapannya memiliki tekad kuat untuk berubah sekaligus kemampuan menuntun ke arah yang diridhoi Allah SWT, Pipik memastikan kesediaannya. Air mata penonton pun serta merta berlinangan. Inilah salah satu momen terbaik yang mampu Anda kenang di Hijrah Cinta... dan bukan menjadi satu-satunya. Sebuah kejutan telah menanti bagi siapapun yang penuh kerelaan menyisihkan sedikit waktu pula uangnya yang berharga untuk menyimak Hijrah Cinta di layar lebar. Ini tidak mirip bayangan kebanyakan orang yang mengantisipasinya sebagai ‘film biopik berbumbu reliji lainnya, tak berbeda dengan sudah-sudah’, sebab Hijrah Cinta lebih dari itu. 

Seperti halnya cerita biografi seorang termashyur yang pernah Anda simak, maka pencapaian puncak sang tokoh tidaklah digapai dengan mudahnya. Ustad Jefri Al-Buchori – atau bersahabat disapa Uje – pun mengalami pengalaman pahit bagus serupa dalam membangun karir serta reputasinya yang mengesankan sebagai seorang ‘ustad seleb’. Terlahir multitalenta, Uje terperosok ke titik gelap kehidupan dikala meniti karir di dunia hiburan. Pergaulan bebas penuh hura-hura menyeretnya pada seorang bandar, Yosi (Ananda Omesh), yang memperkenalkannya pada barang-barang haram. Dari awalnya sekadar coba-coba belaka, perlahan tapi niscaya Uje mulai kecanduan dan sulit melepaskannya dari genggaman. Kehidupannya pun serta merta awut-awutan. Keluarga mengusir, teman menjauh, dan pekerjaan mengucap selamat tinggal. Ketika segalanya tampak hanya bisa lebih jelek, Tuhan memperlihatkan jalan keluar atas segala derita yang dihadapi oleh Uje lewat seorang model anggun bernama Pipik. Berkat Pipik, kesediaan Uje untuk merubah diri yang semula hanya terucap di bibir saja diwujudkan. 

Ya, Hijrah Cinta tidaklah mirip film kebanyakan bergenre seragam yang banyak bermunculan di sinema Indonesia belakangan ini: kelewat verbal dalam mencorongkan pesan adab, berdampak pada gaya tutur yang terkesan menceramahi seperti tengah mendengarkan seorang Khatib berkotbah. Tidak. Lantunan kisah (yang sebenarnya sarat pesan) disampaikan secara lembut tanpa pernah menjelma layaknya mimbar, apalagi berapi-api, malah memberi kesempatan bagi Hijrah Cinta untuk memiliki momen-momen dengan integritas dan pesonanya sendiri. Tim Dapur Film menggodok naskah dalam tingkat kematangan yang pas untuk lalu disajikan oleh Indra Gunawan – inilah debut penyutradaraannya setelah beberapa kali menjabat sebagai co-director – secara manis. Memastikan telinga penonton tidak gatal lantaran dijejali obrolan-dialog yang (maunya sih) memberi pencerahan. Phew

Hal lain yang bikin film terasa menyedapkan, Hijrah Cinta dipersenjatai performa kelas kampiun dari jajaran pemainnya. Dua jempol layak disematkan untuk tim kasting yang jeli menentukan pemain. Revalina S Temat sekali lagi memperlihatkan kelasnya sebagai salah satu aktris papan atas di Indonesia. Sosok Pipik yang bersahaja, penyabar, keibuan, sekaligus ringkih diproyeksikannya secara sempurna sasaran lewat akting penuh penjiwaan dengan verbal yang berbicara banyak, menciptakan penonton tidak kesulitan terkoneksi dengannya hingga-hingga turut berempati atas segala cobaan yang dideranya. Adegan Uje sakau menjadi ‘big moment’ untuknya. Begitu pula Alfie Affandy yang secara timbre bunyi mendekati almarhum. Coba Anda pejamkan mata dikala beliau melantunkan ‘I’tiraf’, bukankah terdengar sangat Uje? Ditinjau dari air muka pun sebelas dua belas, mempunyai nilai akurasi yang tinggi, sehingga mudah untuk mempercayai bahwa almarhum Uje lah yang tengah berlakon di layar, bukan Alfie. Yup, he’s that good! 

Tentu, sebagai sebuah film yang diformulasikan sebagai film biopik dengan kehebatan cinta sejati di baliknya, Hijrah Cinta membutuhkan satu kata kunci: emosi. Letak kesuksesan film bergantung pada seberapa jauh film mampu mempermainkan emosi penonton sedemikian rupa... dan Hijrah Cinta menyanggupinya. Sepanjang durasi yang mengalun nyaris dua jam, emosi dipompa nyaris tiada henti demi mengikuti jalinan kisah sarat konflik meliuk-liuk mengikuti naik turunnya usaha Uje mencapai tatanan hidup lebih baik. Tidak ada pengkultusan di sini, Uje ditampilkan apa adanya bak insan kebanyakan yang sarangnya lupa dan khilaf. Dengan pola pengisahan semacam ini, para penggemar tontonan tearjerker tentu akan terbahagiakan. Bekal tissue yang disisipkan di kantong celana (atau tas) tak jadi sia-sia, malah sungguh membantu untuk mengusap air mata yang beberapa kali membasahi pipi. Bagusnya, skoring musik yang ditangani oleh Andhika Triyadi pun tidak ‘kejam’ menghajar tanpa ampun, melainkan mengalun dengan halus yang justru efektif menebalkan sisi dramatis pada film. Membuat penonton semakin tidak berdaya untuk menjaga mata tetap kering, termasuk penonton yang pada awalnya meremehkan Hijrah Cinta lantaran alergi film reliji maupun bukan penggemar Uje sekalipun. Sangat anggun!

Outstanding

Post a Comment for "Review : Hijrah Cinta"