Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Haji Backpacker


“Ketika kamu mengharap sesuatu, kamu merasa Tuhan mendukungmu. Ketika impian itu tidak kunjung tercapai, kamu menganggap bahwa Tuhan meninggalkanmu. Itu bukan cinta.” 

Tidak sedikit yang memperkirakan Haji Backpacker yaitu perwujudan gambar dari buku panduan bertamasya dengan bujet secekak mungkin – secara spesifik, naik haji tanpa merogoh kocek dalam-dalam – yang tamat-tamat ini banyak kau jumpai tersusun rapi di rak-rak toko buku. Dugaan ini beralasan mengingat buku berjudul sama rekaan Aguk Irawan pun berceloteh kurang lebih serupa, walau memoar ini lebih mengisahkan pada usaha seorang mahasiswa Indonesia berekonomi lemah yang tengah menimba ilmu di Mesir untuk menyempurnakan rukun Islam lewat cara ‘ngebolang’. Jika kamu benar-benar berharap Haji Backpacker akan memberikanmu tips bagaimana caranya beribadah haji murah meriah, maka bersiaplah buat kecewa alasannya terperinci bukan itu yang ingin diutarakan oleh Danial Rifki (La Tahzan). Ini lebih kepada perjalanan spiritual seorang Hamba Allah dalam menemukan kembali keimanannya yang sempat terenggut oleh luapan amarah yang tak terbendung. 

Hamba Allah yang dimaksud oleh Haji Backpacker adalah Mada (Abimana Aryasatya), seorang pemuda yang secara sengaja menelantarkan kewajiban beribadahnya sehabis Tuhan enggan mengabulkan undangan terbesarnya. Diliputi kemarahan terhadap Tuhan maupun sang ayah (Ray Sahetapy), Mada pun memutuskan hengkang dari rumah dan mempraktekkan gaya hidup hedonis di Thailand yang berujung pada dilema besar. Tidak ingin garis kehidupannya berakhir tragis, berbekal santunan dari Marbel (Laudya Cynthia Bella), TKI yang berprofesi sebagai tukang pijat, dan sang kakak (Kenes Andari), Mada pun melarikan diri ke Vietnam. Tanpa membawa bekal mencukupi, Mada justru terkatung-katung dengan nasib tidak jelas juntrungnya. Untuk menyambung hidup, pekerjaan serabutan dilakoninya yang kemudian membawa Mada ke China dan mempertemukannya dengan gadis Muslim berjulukan Su Chun (Laura Basuki) yang mengubah perspektif sempitnya soal beragama. Di sinilah jalan hidup Mada menemui titik baliknya. 

“Apakah kau pernah begitu marah terhadap Tuhan karena kebahagiaan yang telah didambakan semenjak lama direnggut paksa tanpa permisi? Meluncurkan somasi kepada Sang Khalik dalam rupa bermacam-macam sampai berani meninggalkan jauh-jauh ajaran-Nya sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang dialami?” yaitu pertanyaan yang diajukan oleh Danial Rifki bersama penulis skrip, Jujur Prananto (Ada Apa Dengan Cinta?), kepada penonton untuk dijadikan sebagai materi pijakan dalam berkontemplasi selama (dan setelah) menyaksikan Haji Backpacker. Hal ini tentu menarik terlebih bagi penonton yang pernah mengalami fase diuji keyakinan ini sehingga tuturan yang disampaikan oleh Haji Backpacker mempunyai cita rasa intim, erat di hati, sekaligus menggugah emosi. Bagusnya, si pembuat film tidak menyuarakan gagasannya ini secara meletup-letup, bahkan cenderung tenang, yang sedikit banyak menghindarkan film dari kesan menceramahi. Sesuatu yang kerap menjadi problematika utama bagi film reliji. 

Hanya saja, keputusan untuk enggan mengeksplor lebih dalam konflik yang dihadapi oleh Mada – termasuk minimnya batu sandungan selama melancong yang boleh jadi diminimalisir supaya durasi lebih erat – bisa jadi akan dikeluhkan oleh penonton yang mengharap bersimbah air mata ketika menonton Haji Backpacker. Well... suasana dramatis dengan grafik konflik berliku-liku memang nyaris jarang muncul di sini, tapi bukan berarti tak ada yang menciptakan matamu berkaca-kaca atau merinding dibuatnya. Adegan Mada melantunkan ayat suci Al-Qur’an di tengah keadaan menentukan hidup mati, kilas balik ke kurun kecil si tokoh utama, atau dikala Mada memandangi ratusan batu nisan tanpa nama di Mekkah merupakan highlight dari film ini. Mendapat iringan musik yang indah dari Indra Q beserta tembang ‘Aku Pulang’ milik Dewi Sandra dan ‘Pergi Haji’-nya (alm) Uje bersama sang istri, Pipik Dian Irawati, yang menghantui menunjukkan suntikan nyawa berlebih pada adegan menghindarkan film dari kemonotonan yang berpotensi menyergap di tengah tipisnya lapisan konflik yang ditawarkan. 

Haji Backpacker pun layak memperoleh sanjungan berkat kinerja Yoyok Budi Santoso dalam memberi tangkapan-tangkapan gambar a la Instagram yang menggiurkan. Membingkai lanskap sejumlah negara dengan indahnya, tidak terbatas pada panorama alamnya tetapi juga ritual keagamaannya, berakibat pada sulitnya untuk menahan hasrat menginjakkan kaki di Cina, Tibet, Nepal, Thailand, maupun Saudi Arabia. Memberi dorongan kepada para mereka yang berjiwa petualang untuk segera bersiap-siap... dan berangkat! Tapi tentu saja Haji Backpacker ini akan terasa kering tanpa sokongan jajaran pemain yang berlakon bagus. Abimana Aryasatya merefleksikan kekosongan jiwa dan hati Mada secara meyakinkan tanpa pernah kelewat over-dramatis, menciptakan penonton memberikan simpati kepadanya. Ketiga wanita yang ditempatkan di posisi pemain pendukung; Dewi Sandra, Laudya Cynthia Bella, dan Laura Basuki, pun berhasil mengimbangi permainan Abimana dengan masing-masing mempunyai momen untuk bersinar khususnya dua nama terakhir yang memberi permainan natural lewat dua tokoh menarik yang seharusnya memperoleh jatah tampil lebih besar. Apakah kau tidak ingin tau dengan cerita kehidupan Marbel? Sejujurnya, saya penasaran dan ingin tahu lebih banyak. 

Pada karenanya, walau tak menjelma seemosional Le Grand Voyage kode Ismael Ferroukhi - tidak juga menjadi film panduan naik haji secara murah meriah, Haji Backpacker tetap bisa memberikan menu yang menghibur, mencerahkan pula menyentuh dengan tuturan kisahnya yang menghangatkan hati melebur secara baik bersama tatanan visualnya yang memanjakan mata.

Exceeds Expectations


Post a Comment for "Review : Haji Backpacker"