Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Equalizer


“Progress. Not Perfection.” 

Seberapa jauh kau mengenal orang yang nyaris setiap hari berada di sekelilingmu; rekan kerja, teman seperjuangan dalam menimba ilmu, atau tetangga? Ketika kau menerka telah mengetahui semua tentangnya, sejatinya tanpa disadari... itu hanyalah sebagian kecil. Bahkan mampu jadi bukan kenyataan bekerjsama. Mungkin ia memang mempunyai hati yang lapang dada, tetapi mungkin saja ia pembunuh berdarah cuek. What do we know? The Equalizer yang diubahsuaikan dari serial televisi angkatan 80-an berjudul sama yaitu acuan sempurna bagaimana kita merasa telah mengenal baik rekan kerja yang duduk di meja sebelah, tetapi bahwasanya tidak sama sekali. Dikemas melalui gelaran action-thriller, kerja sama reuni bagi Denzel Washington dan Antoine Fuqua sehabis Training Day (2001) yang menghantarkan piala Oscar untuk Washington ini terang bukanlah sesuatu yang seharusnya kau pandang sebelah mata sebab sajiannya yang begitu seru, menegangkan, serta brutal. Sulit untuk menolak daya pikatnya. 

Sepintas, tidak ada keistimewaan berlebih yang dimiliki oleh Robert McCall (Denzel Washington). Selain perilaku dekat, penuh dedikasi, dan berwibawa yang membuatnya disegani oleh rekan kerjanya di Home Mart – sebuah supermarket khusus perlengkapan rumah tangga – Robert hanyalah seorang laki-laki paruh baya penderita OCD yang tertutup dan kesepian. Untuk melewati malamnya yang panjang, Robert kerap menghabiskan waktu dengan membaca novel-novel hasil rekomendasi mendiang istrinya di sebuah warung makan. Ketika malam dijepit pagi, rutinitasnya sebagai pegawai Home Mart kembali dimulai... begitu seterusnya, setiap hari. Pada titik ini, penonton pun dibentuk bertanya-tanya, apa yang mampu dilakukan pria mirip ini selain memperlihatkan motivasi dan hikmah yang bijak untuk kaum muda? Dengan sedikit mencemooh, nyaris tidak ada. Tentu saja kita belum tahu apapun soal Robert hingga seorang pelacur muda berjulukan Teri (Chloe Grace Moretz) menghampirinya, mengacaukan kehidupan normalnya, dan membangunkan singa dalam dirinya yang terlalu usang tertidur pulas. 

Di menit-menit awal, kita tidak dibekali sedikit pun latar belakang yang memungkinkan untuk mengenal si protagonis lebih mendalam. Apa yang bisa dilihat ialah Robert menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, cenderung monoton, namun dilakoninya dengan penuh semangat – tampak dari caranya bergaul di kawasan kerja. Menjadi mentor bagi Ralphie (Johnny Skourtis) yang begitu mendambakan posisi sebagai petugas keamanan tapi terhalang oleh fisik gempalnya mungkin adalah hal paling menarik yang mampu dilakukan oleh Robert di tengah kesibukannya. Tanpa disediakan petunjuk, penonton dibiarkan menduga-nerka akan kemana film dialirkan. Menimbulkan sensasi kepenasaran yang tinggi, terlebih ada kesadaran bahwa ketenangan ini tidak mungkin bertahan selamanya. Jelas akan ada topan yang hinggap cepat atau lambat. Sekalipun minim lonjakan, performa gemilang Denzel Washington dengan karismanya tak perlu lagi dipertanyakan mampu menciptakan kita bertahan, bersimpati penuh kepada karakter yang dibawakannya walau sama sekali tidak tahu menahu identitas aslinya. 

Ketika Chloe Grace Moretz lewat tampilan berbeda mengalihkan pandangan kita sejenak dari Washington, pada ketika itulah menandakan ancaman muncul. Teri adalah sosok kunci munculnya petaka dalam film. Betul saja, penganiayaan terhadap Teri berbuntut panjang. Robert yang semula cantik dan lembut – terkadang sulit membayangkannya melukai seekor semut – mendadak berubah tangguh, badass nan bernafsu seketika selayaknya tukang jagal. Membantai sekelompok cecunguk Rusia dengan visualisasi bergaya a la miniseri Sherlock tanpa kesulitan sedikitpun. Menimbulkan pertanyaan lain, siapa sesungguhnya beliau? Sebuah pertanyaan yang sama pun membayangi Teddy (Marton Csokas), orang akidah petinggi durjana Rusia, yang dikirim ke Boston untuk membereskan kekacauan yang telah ditimbulkan oleh Robert. Diposisikan sebagai villain, Teddy ialah tandingan sepadan bagi Robert. Seorang psikopat cerdas, acuh taacuh, dan penuh perhitungan. Menghalangi jalannya berarti membuka kesempatan untuk meniduri liang lahat lebih cepat. 

Teddy yang mengamuk merupakan cara bagi Richard Wenk meningkatkan ketegangan. The Equalizer menerapkan tipe slowburn – memanas secara perlahan – ke dalam tatanan pengisahan. Setapak demi setapak, ketenangan yang merajai paruh awal lenyap digantikan oleh badai yang telah dinanti-nanti kemunculannya. Fuqua menghadirkan gelaran kekerasan tanpa basi-kedaluwarsa, menghindari kompromi, sehingga bersiaplah menyaksikan badan insan bergelimpangan lengkap ditemani muncratan darah segar. Sekalipun tensi sempat meredup di pertengahan hingga mendekati titik jenuh, Fuqua bangun secara cepat dari keterpurukannya dan memberi epilog sempurna bagi The Equalizer melalui final showdown seru dengan aksi tanpa henti yang akan membuatmu mencengkram bersahabat dingklik bioskop dan menikmati fase penuh ketegangan. Pada karenanya, meski bukanlah karya terbaik dari seorang Antoine Fuqua, The Equalizer tetaplah menu blockbuster yang memuaskan dan sungguh mengasyikkan untuk disimak. Ada tuturan mengikat di balik gelaran aksinya yang keras, seru, dan mendebarkan. Keren!

Exceeds Expectations

Post a Comment for "Review : The Equalizer"