Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Guru Bangsa Tjokroaminoto


“Setinggi-tinggi ilmu, sepintar-berakal siasat, semurni-murni tauhid.” 

Ada banyak perilaku skeptis yang saya bawa ketika memasuki gedung bioskop untuk menyaksikan Guru Bangsa Tjokroaminoto. Setidaknya dua masalah menjadi sabab musababnya: pertama, ini yaitu film biopik yang mengetengahkan perjuangan dari salah satu tokoh penting dalam sejarah bangsa Indonesia dengan durasi merentang terbilang panjang mencapai 160 menit. Dan kedua, jejak rekam kurang mengenakkan dari Garin Nugroho dalam menangani film sejenis tatkala menguliti sepak terjang Soegija yang dibawanya ke gelaran sarat akan metafora tanpa adanya fokus penceritaan yang jelas untuk merangkum perjalanan sang tokoh. Jika dipadatkan dalam satu kalimat maka kekhawatiran itu akan memunculkan bunyi, “duh... Guru Bangsa Tjokroaminoto tampak mirip film yang susah untuk dikunyah oleh khalayak kebanyakan. “ Tapi lalu sederet kecemasan itu tercerai berai, menguap entah kemana, tergantikan oleh kekaguman berlimpah sesaat setelah lampu bioskop dinyalakan. Melalui Guru Bangsa Tjokroaminoto, Garin Nugroho membuktikan bahwa kekhawatiran aku terlampau berlebihan dengan menggelar sebuah sajian yang tidak saja informatif tetapi juga megah mewah, indah, dan menakjubkan. 

Sekalipun namanya diabadikan sebagai identitas jalan-jalan raya, kenyataannya banyak (khususnya mereka yang kurang dekat dengan sejarah bangsa ini) yang tak tahu menahu soal beragam jasa yang telah ditorehkan oleh Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto untuk melepaskan Indonesia dari cengkraman Belanda yang terlanjur besar lengan berkuasa sekaligus membawanya pada kejayaan. Demi mengenalkan kembali guru dari para pendiri bangsa – termasuk Kusno (Deva Mahenra), Agus Salim (Ibnu Jamil), hingga Semaoen (Tanta Ginting) – inilah Guru Bangsa Tjokroaminoto mencelotehkan sebagian perjalanan hidup Tjokro (Reza Rahadian). Rentang waktu yang dipilih oleh Garin Nugroho dan Erik Supit adalah tatkala Tjokro mengenyam kursi pendidikan di sekolah Belanda yang menjadi awal mula munculnya cita-cita luhur untuk melepaskan rakyat jelata dari penindasan penjajah dan fase-fase terpenting saat tumbuh akil balig cukup akal; menikahi Soeharsikin (Putri Ayudya), berhijrah sesuai amanat dari sang guru, mendirikan Sarekat Islam yang merupakan organisasi bumiputera terbesar masa itu, sampai dijebloskan ke penjara. 

Satu-satunya yang bisa saya lakukan seusai menonton Guru Bangsa Tjokroaminoto adalah menyeka air mata. Sungguh, Garin Nugroho telah melahirkan sebuah tontonan yang sungguh teramat indah dan layak untuk ditahbiskan sebagai salah satu karya terbaik di formasi filmografinya. Sulit untuk tidak dibuat terkesima terhadap film ini mengusut dari cara si pembuat film menanganinya. Ciri khas Garin yang berpuitis ria memang masih menonjol berpengaruh di sini – bahkan mewarnai hampir setiap adegan yang menghiasi durasi – namun untuk sekali ini, dia sedikit berkompromi dengan pasar. Penonton awam tidak dijejali oleh rangkaian metafora yang menuntut penafsiran-penafsiran memusingkan guna membongkar makna bahwasanya, melainkan perpaduan gambar-gambar yang dilensakan secara anggun oleh kamera genggaman Ipung Rachmat Syaiful, tata artistik terhampar detil yang diikuti pula oleh kostum beserta rias wajah menawan, dan (sesuatu yang unik) musical numbers berisi formasi tembang-tembang yang diaransemen secara mengasyikkan menyesuaikan dengan corak musik di awal kurun 20 sekaligus skoring musik Andi Rianto yang menghanyutkan. Kesemuanya ini dirangkai lantas diejawantahkan melalui visualisasi berkesan grande yang jarang-jarang (malahan sangat jarang) ditemui di sinema Indonesia. 

Kemewahan tentu bukan menjadi satu-satunya alasan yang menciptakan Guru Bangsa Tjokroaminoto memiliki cita rasa yummy saat disantap. Kemahiran Erik Supit dalam mengolah data-data yang dikumpulkan oleh tim riset beserta penyusun cerita menjadi guliran pengisahan bersifat informatif, edukatif, sekaligus inspiratif yaitu alasan lain yang sekaligus memposisikan film sebagai medium berguru sejarah yang mengasyikkan. Kita dijejali isu cukup mendalam terkait donasi tokoh bernama Raja Jawa Tanpa Mahkota ini terhadap kemerdekaan Indonesia lebih dari apa yang telah diberikan oleh buku teks sejarah semasa sekolah. Dengan tempo penceritaan melaju pada tingkatan medium, konsentrasi memang sepenuhnya diharapkan untuk menangkap latar belakang problem, keterkaitan antar tokoh, dan tujuan yang hendak dicapai oleh Tjokro. Selayaknya Soegija, ada banyak karakter-abjad sampingan yang diberi panggung di sini dengan fungsi beraneka ragam. 

Ada yang benar-benar krusial menunjukkan imbas terhadap peristiwa di abad lampau mirip Kusno dan mitra-kawan, tapi ada pula yang dikedepankan oleh Garin sebagai penggembira semata-mata untuk memancing emosi penonton sehingga film tidak terasa dingin maupun monoton mirip Stella (Chelsea Islan), si darah adonan yang mengalami diskriminasi, dan Mbok Tambeng (Christine Hakim) yang menyokong pilar drama serta Mbok Toen (Unit) yang keceriwisannya memberi sentuhan komedi. Bagusnya, alih-alih mendistraksi posisi Tjokro sebagai sentral utama, barisan huruf pendukung ini malah justru memperkuat posisi si tokoh utama dan memberi penonton perspektif lebih soal kondisi sosial-politik kala itu yang digambarkan memiliki relevansi dengan apa yang terjadi di abad sekarang. 

Dan harus diakui, letak kekuatan sebetulnya dari Guru Bangsa Tjokroaminoto berada pada ensemble cast-nya yang sungguh (gasp!)... cemerlang. Bisa dibilang seluruh jajaran pemain di sini mempertontonkan lakon yang nyaris tiada cela, bahkan beberapa diantaranya memperoleh status ‘naik kelas’. Tidak peduli seberapa bosan kau kepada Reza Rahadian (ya, ia ada dimana-mana), tapi tak bisa dipungkiri dia yakni bintang film muda terbaik saat ini. Merasuk tepat ke sosok Tjokro dari gestur, dialek, sampai cara berjalan yang begitu meyakinkan sampai-hingga kita dibawa hanyut ke dalam film khususnya adegan di penjara dengan emosi menggelegak tak tertahankan. Juara! Sedangkan pemain lain yang mendampinginya pun tak mengalami kesulitan berarti dalam mengimbangi. Dari kubu senior diwakili oleh Christine Hakim, Sudjiwo Tejo, mendiang Alex Komang, serta Didi Petet yang memberikan konsistensi dalam berakting, sementara para generasi muda mirip Deva Mahenra, Chelsea Islan, Tanta Ginting, Ibnu Jamil, Ade Firman Hakim dan Putri Ayudya juga jauh dari kata mengecewakan dengan beberapa diantaranya – Deva, Chelsea, dan Ibnu – malah mengalami peningkatan cukup pesat. Dan oh, jangan lupakan seniman ludruk asal Jawa Timur bernama Mbak Unit yang sungguh menghibur dalam menghidupkan Mbak Toen sampai-sampai gelak tawa selalu menyertai setiap kemunculannya. She’s so hillarious! 

Dengan kombinasi yang mempertemukan kedahsyatan dalam berolah tugas dari para jajaran pemainnya bersama tata produksi yang terancang begitu megah mewah yang meneriakkan secara lantang besarnya bujet yang digelontorkan, skrip padat berisi sarat info mengenai bantuan dari Bapak Para Pendiri Bangsa, dan pengarahan menawan Garin Nugroho yang sekali ini gaya teatrikalnya yang khas memperlihatkan warna tersendiri pada film, maka sudilah kiranya menyebut Guru Bangsa Tjokroaminoto sebagai salah satu pengalaman sinematis terbaik yang pernah hadir di sinema Indonesia. Tidak sekadar bermain-main pada tampilan visual yang menonjolkan kesan ‘mahal’ tetapi juga mempunyai kemampuan untuk mempermainkan emosi penonton yang secara bergantian membuat tawa berderai-berderai, rasa tegang, sampai meneteskan air mata utamanya pada menit-menit terakhir dikala kalimat termasyhur dari Tjokro dikumandangkan kemudian ditutup oleh penutup berwujud kumpulan foto lawas yang menggetarkan hati. Sungguh, Guru Bangsa Tjokroaminoto ialah sebuah film penting terkemas selayaknya opera anggun yang sebaiknya tidak kau lewatkan begitu saja. 

Outstanding

Post a Comment for "Review : Guru Bangsa Tjokroaminoto"