Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Filosofi Kopi


“Kamu bikin kopi pakai obsesi, tapi Pak seno pakai cinta. Kopimu terbaik, tapi kopi Pak Seno tepat.” 

Butuh usaha ekstra bagi mitra-kawan bersahabat dalam menyeret aku ke kedai kopi modern untuk sekadar nongki-nongki tampan. Mau gimana lagi, saya bukanlah penikmat kopi dan kebetulan juga mempunyai dilema lambung, jadi ada rasa keberatan merogoh kocek cukup mendalam demi meneguk secangkir kopi. Tapi ketika mendengar ‘sang barista’ yaitu Angga Dwimas Sasongko, kekerabatan sulit dengan kopi terlupakan seketika dan digantikan oleh semangat yang membara sampai-sampai pengecualian pun ditetapkan untuk sekali ini. Menilik jejak rekamnya tatkala meramu Hari Untuk Amanda yang anggun-manis pahit (salah satu film romantis kesukaan dari dalam negeri!) serta Cahaya Dari Timur: Beta Maluku yang teramat indah, harus diakui Angga is a really good storyteller. Tiada sedikit pun keraguan sentuhan emasnya akan berlanjut di karya selanjutnya terlebih bahan untuk karya terbarunya dicangkok dari karya Dewi ‘Dee’ Lestari yang berarti pula ada satu pertanyaan penting yang tak bisa dihindari. “Akankah Filosofi Kopi berubah menjadi sebagai bahasa gambar yang tertata apik atau berakhir awut-awutan seperti halnya kebanyakan pembiasaan karya Dee sebelumnya?.” 

Keberlangsungan hidup kedai Filosofi Kopi berada di ujung tanduk ketika tagihan berwujud hutang senilai ratusan juta rupiah menggapai-nggapai pada Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto), duo motor penggagas kedai, meminta dilunasi dalam kurun waktu kurang lebih sebulan. Di tengah-tengah upaya menemukan solusi dalam melepaskan diri dari jeratan hutang, seorang pengusaha (Ronny P Tjandra) datang ke Filosofi Kopi dan memberikan tantangan gila yang menggiurkan. Apabila Ben mampu meracik kopi terenak di Jakarta – bahkan Indonesia – serta membuat seorang penggila kopi kelas wahid mengacungkan dua jempol, maka rejeki nomplok sejumlah satu miliar akan meluncur ke kantong dua sobat ini. Tapi jika tantangan gagal ditaklukkan, maka kebangkrutan pun di ambang mata. Demi menghasilkan formula tepat untuk sebuah mahakarya yang akan menyelamatkan kedai, Ben dan Jody lantas melaksanakan perburuan untuk menemukan biji kopi terbaik yang mempertemukan keduanya dengan pemerhati kopi profesional, El (Julie Estelle). Hadirnya El dalam kehidupan mereka inilah yang menciptakan sederet duduk perkara semakin kusut pula runyam. 

Ada sedikit banyak syok menyaksikan film yang bersumber dari karya sastra rekaan Dee. Betapa tidak, sederet sineas di sinema Indonesia memperlakukan buah karya Dee secara semena-mena sehingga melunturkan nutrisi pada kandungan penceritaannya dan memunculkan kesan ringan tak berisi. Di ketika cita-cita mulai memudar – bahkan menanami alam bawah sadar dengan anutan bahwa medium film dan Dee memang tidak berjodoh – Angga Dwimas Sasongko datang seraya membangkitkan kembali akidah yang telah menguncup perlahan. Melalui Filosofi Kopi, Angga mengambarkan dua hal: pertama, status sutradara kelas A sepatutnya mulai dilekatkan bersahabat-dekat pada dirinya, dan kedua, anutan aku sama sekali keliru. Di bawah penanganan spesialis bercerita, rangkaian kata-kata berwujud prosa yang tampaknya tidak mungkin diterjemahkan ke bahasa gambar yang tertata secara rapi menjadi mungkin. Setidaknya itulah yang dilakukan oleh Angga terhadap Filosofi Kopi. Karya Dee kembali mendapatkan perlakuan yang layak usai (pertama dan terakhir kalinya) Rectoverso

Saat kamu memutuskan untuk mengunjungi Filosofi Kopi, bersiaplah untuk memperoleh salah satu sensasi hidangan terbaik yang pernah ditawarkan oleh sebuah film Indonesia. Sang pemilik kedai, dalam hal ini Angga beserta Jenny Jusuf, tidak semata-mata menyuguhkan makanan ringan dan kopi bercita rasa besar lengan berkuasa nan menggoda selera sebagai jualan utama melainkan juga memberi pelanggan pengalaman menyenangkan saat bertandang ke kedai. Mereka tidak akan membiarkanmu pulang dengan tangan (dan hati) hampa. Ada ‘cinderamata’ yang bisa dibawa ikut serta. Cinderamata ini dimanifestasikan ke perasaan semangat, gembira, dan hangat. Itu pula yang bisa kau rasakan saat bermain-main ke Filosofi Kopi. Apabila diibaratkan dengan beragam jenis racikan kopi yang tersebar di sepanjang film, Filosofi Kopi mirip Kopi Tiwus racikan Pak Seno (Slamet Rahardjo) yang kentara terasa dikerjakan menggunakan cinta alih-alih ambisi. Semenjak tiba, kita telah disambut secara ramah dengan pembagian terstruktur mengenai makna di balik setiap jenis kopi yang berlanjut mulus ke perkenalan cukup mendalam terhadap tokoh-tokoh yang memanggul beban konflik film. Untuk membentuk mood penonton dalam mengikuti film, maka menit-menit awal dijlentrehkan dengan nuansa riang yang ditaburi humor segar pengundang tawa disana sini seraya memupuk konflik perlahan-lahan. Saat dirasa afeksi penonton dengan setiap karakter telah menguat, laju film pun dikelokkan ke ranah drama. 

Di titik inilah kita mencicipi bahwa Filosofi Kopi bukan sekadar film wacana kopi, atau mirip dugaan awal coffee-porn yang membuat indera pengecapmu serasa basah melihat tangkapan-tangkapan gambar cantik uap kopi yang mengepul-ngepul seraya membayangkan aromanya yang menyeruak. Ya, kita memang diajak mempelajari banyak soal kopi dari jenisnya yang beraneka rupa, rumitnya memilih biji kopi, cara meraciknya mencakup pengaturan suhu, hingga disajikan di cangkir mungil. Tetapi lebih dari itu, Filosofi Kopi berceloteh mengenai sekumpulan anak Adam yang mencoba berdamai dengan periode lalu pahit, sepahit rasa kopi. Ketiga tokoh utama di film; Ben, Jody, dan El, mengalami problematika serupa dengan kesemuanya terkait pada korelasi ayah-anak. Persoalan dimulai dari amarah menggelora alasannya adalah kekecewaan teramat dalam, lalu berganti ke kehilangan, penyesalan, dan ditutup oleh kata maaf (serta move on). Dengan tiap-tiap huruf menerima permasalahannya sendiri – termasuk peran pendukung sekalipun – bergotong-royong ancaman njelimet berserakan telah mengintai. Tapi Jenny Jusuf selaku perancang skenario mampu mengatasinya dengan mengurai jalinan pengisahan secara runut, rapi, dan lancar tanpa pernah sekalipun terasa penuh sesak. 

Selain skrip padat berisi yang juga renyah, keberhasilan Filosofi Kopi tidak bisa dilepaskan dari pengarahan telaten Angga Dwimas Sasongko, tata artistik detil yang ditimpali juga tembang-tembang elok dengan penempatan sesuai, serta (ini salah satu paling krusial) chemistry fantastis duo pemain utamanya. Well, sejatinya siapapun yang menyumbangkan keahliannya dalam berolah peran di sini, sekalipun hanya mampir beberapa detik saja, telah menawarkan persembahan yang menarik. Namun, Chicco Jerikho dan Rio Dewanto-lah lokomotif dari departemen akting. Chicco semakin memantapkan posisinya sebagai pemain film hebat yang patut dinanti-nanti kiprahnya usai Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, sementara Rio bagaikan ‘terlahir kembali’ sesudah beberapa kiprahnya yang cenderung gampang dilupakan. Keduanya meresap hebat ke huruf masing-masing yang penuh dimensi dan saling bertolak belakang – Ben idealis, Jody realistis – seraya merajut ‘tali persahabatan’ mengagumkan yang membuat penonton yakin bahwa keduanya memang telah dekat karib sejak usia belia. Kejeniusan mereka dalam menginterpretasi peran merupakan sumber dari percikkan emosi yang memang diharapkan oleh film. Jika ada satu kata paling sempurna untuk mendeksripsikan Filosofi Kopi maka itu yaitu perfecto! 

Note: Jangan terburu-buru meninggalkan gedung bioskop dikala credit title mulai bergulir sebab ada dua sisipan adegan yang sangat layak buat disimak di pertengahan dan penghujung credit title.

Outstanding

Post a Comment for "Review : Filosofi Kopi"