Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Boy Next Door


“Stay away from me and stay away from my son!” 

Memiliki tetangga brondong lajang yang secara fisik menggiurkan ditambah menaruh minat terhadap tinggi pada karya sastra dan tidak sungkan-sungkan memperlihatkan pinjaman yakni godaan doktrin maha berat bagi perempuan manapun di dunia, termasuk Claire Peterson (Jennifer Lopez). Meski masih resmi menyandang status sebagai istri dari Garrett (John Corbett), relasi keduanya tidak lagi mesra sejak sang suami kepergok menduakan dikala perjalanan dinas ke San Fransisco. Dalam kebimbangan menjatuhkan pilihan antara cerai atau rujuk, Claire memutuskan berpisah sejenak dari Garrett. Di tengah-tengah kekerabatan menggantung tanpa kepastian ini hadir sosok Noah (Ryan Guzman) di sebelah rumah Claire yang seketika merunyamkan masalah. Walau pada awalnya tampak seperti perwujudan laki-laki idaman, perlahan-lahan jiwa psikopat Noah menampakkan diri tatkala permohonan cintanya ditolak mentah-mentah oleh Claire. 

Apakah garis penceritaan The Boy Next Door ini terdengar familiar bagimu? Jika ya, well... kamu bukan satu-satunya yang merasa demikian. Kenyataannya, film dengan bangunan cerita terdiri atas “terpikat, ditolak, balas dendam” telah difotokopi berulang-ulang kali oleh sederet sineas Hollywood, lewat Fatal Attraction, Single White Female, Fear, Unfaithful, Swimfan, Obsessed, dan masih banyak judul lainnya yang akan menghabiskan satu paragraf sendiri apabila dipaksakan buat disebutkan satu demi satu. Guliran konflik semacam ini sudah begitu usang, bahkan telah mencapai titik monoton saking seringnya dipergunakan sebagai landasan bertutur film yang menyentuh ranah erotic-thriller. Mayoritas penonton mungkin tidak ambil peduli soal kesegaran plot, selama masih mencengkram dekat tidak ada dilema sebasi apapun konflik yang dikedepankan. Sedihnya, ketegangan yang seharusnya mencuat juga gagal muncul di The Boy Next Door lantaran film instruksi Rob Cohen ini tidak dibekali skrip berpengaruh pula meyakinkan dengan performa pemain yang tak mengesankan (bahkan JLo seolah hanya mengulangi perannya di Enough). 

Selain disesaki oleh pengulangan-pengulangan adegan – Ugh, fotokopi ini tiada ampun lagi! – The Boy Next Door juga dicelakai oleh barisan obrolan super cheesy, dangkalnya penggalian konflik yang menimpa keluarga Peterson, serta minimnya daya hentak di tengah-tengah alur yang mengalun tidak konsisten. Terkadang film mengalir begitu santainya sampai-sampai kebosanan menepuk-nepuk bahu, terkadang pula film bergerak begitu terburu-buru seolah-olah ingin segalanya tuntas secara cepat. Si pembuat film tidak memperkenankan kita menelusuri lebih dalam permasalahan yang melingkupi Claire dan orang-orang di sekitarnya, hanya sekadar potongan-belahan bercita rasa cuek. Dengan metode penceritaan mirip ini, bagaimana mampu Cohen mengharapkan penonton akan larut pada ketegangan? Karena itu... nyaris mustahil didapatkan. Ada sedikit di penghujung film, tapi berlalu sangat cepat tanpa bekas. Mungkin daya pikat bergotong-royong dari The Boy Next Door terletak pada adegan panas antara Jennifer Lopez dan Ryan Guzman yang sayang beribu sayang tidak bisa kamu saksikan apabila menontonnya di layar bioskop. Gunting sensor telah memangkasnya secara beringas. Beruntung The Boy Next Door dianugerahi duo pemain utama yang rupawan sehingga masih ada hal baik tersisa untuk disimak. Jika tidak, apa yang mau ditonton?

Poor

Post a Comment for "Review : The Boy Next Door"